Sejak Minggu (9/8) siang hingga subuh Senin (10/8) hujan dengan syahdu mengguyur kota Banjarbaru. Rinai-rinai hujan ini seperti suara mesin tik yang sedang menuliskan sebuah pesan. Tentu saja banyak orang yang kemudian menduga-duga atas turun hujan ini.
Jawaban yang ditunggu itu kemudian terpampang jelas melalui pesan berantai yang hadir di gawai kita masing-masing. Pesan itu, sebuah kabar duka yang tidak terduga sama sekali; Walikota Banjarbaru Drs. H. Nadjmi Adhani, M.Si berpulang keharibaan Allah SWT.
Pak Nadjmi begitu saya biasa memanggil beliau. Mungkin saya salah satu seniman yang beruntung bisa mengenal dan dekat dengan beliau selama di Kota Banjarbaru ini.
Kedekatan saya dan Pak Nadjmi bermula dari keinginan beliau agar pada peringatan Hari Jadi Kota Banjarbaru Tahun 2018 ada pagelaran megah sebagai hiburan untuk masyarakat Banjarbaru. Tokoh seniman, pengamat budaya hingga budayawan dikumpulkan beliau. Hebatnya, bukannya kami semua yang mendatangi beliau di kantor atau kediaman beliau, justru beliaulah yang menyambangi tongkrongan kami di Mingguraya.
Pak Nadjmi seperti bukan pemimpin kota, beliau justru ketika itu lebih seperti masyarakat biasa yang mendengarkan bagaimana keinginan masyarakat lainnya. Pagelaran itu kemudian dijalankan, dan saya diminta untuk menjadi konseptor sekaligus sutradaranya.
Pertunjukan itu kami beri judul “Mozaik Banjarbaru”. Pak Nadjmi dan Pak Jaya (Wakil Walikota Banjarbaru) juga menjadi aktor dalam pertunjukan itu. Benar-benar membaur, saya kira entah pada belahan dunia mana lagi ada walikota yang seaktif beliau menghadiri bahkan terlibat langsung dalam berbagai acara kesenian di wilayah yang dipimpinnya.
Tidak banyak orang tahu, Pak Nadjmi juga merupakan kolektor lukisan. Jika kita punya kesempatan berkunjung ke kediaman hingga ruang kerja di Balai kota Banjarbaru beliau, maka pada sudut-sudut ruangan begitu banyak lukisan yang menghiasi dinding-dinding ruangan tersebut. Mayoritas lukisan karya Sulsitiyo Hilda, almarhum. Daya cinta beliau terhadap seni begitu besar terutama terhadap karya-karya seniman yang bermukin di kota Banjarbaru. Beberapa ruang seperti Kampung Pelangi, tower PDAM di taman Van Der Vijl dan trotoar di depannya, dinding pagar Kolam Renang Idaman menjadi beberapa titik yang beliau berikan kepada para seniman Banjarbaru untuk melukisnya.
Tahun 2018 juga menjadi tahun yang begitu berkesan bagi saya. Waktu itu Hutan Pinus Mentaos seperti mati suri, hanya menjadi tempat orang-orang untuk bersantai saja. Saya membuat sebuah pertunjukan lintas media seni dengan merespon Gurindam karya Iberamsyah Barbary. Tidak tanggung-tanggung, lebih dari 25 seniman terlibat. Pertunjukan ini disupport oleh Pak Nadjmi melalui pemerintah Kota Banjarbaru dan UPDT Taman Budaya Kalimantan Selatan. Pada hari berlangsungnya pertunjukan itu, saya tidak menyangka bahwa beliau akan hadir dan bertahan sampai acara berakhir. Beliau rela berjalan setapak demi setapak melihat alur pertunjukan bahkan selalu mengajak bicara seniman-seniman yang terlibat.
Pak Nadjmi bahkan meneteskan air matanya. Saya masih ingat ucapan beliau kala itu kurang lebihnya seperti ini, “Pertunjukan ini adalah cita-cita saya 25 tahun yang lalu, terima kasih untuk semua yang telah mewujudkannya.”
Pertunjukan itu akan selalu menjadi kenangan terbaik saya bersama pian Pak, tanpa sengaja mewujudkan mimpi pian. Betapa tidak, tunai janji pian atas hutan pinus itu. Semoga menjadi amal kebaikan untuk Pak Nadjmi.
Pengalaman saya yang lainnya adalah betapa kagetnya saya ketika tahu bahwa Pak Nadjmi juga akan hadir pada pementasan saya di Festival Payung Indonesia yang berskala Internasional itu. Pada momen itu, Pak Nadjmi bahkan didaulat untuk memberikan anugerah empu kepada salah satu empu terpilih. Beliau dengan senyum khasnya naik panggung dan menjadi tamu kehormatan festival tersebut. Beliau menyampaikan dengan bangga bahwa seniman Banjarbaru bisa menjadi bagian dalam festival internasional.
Selain dukungan terhadap saya, tentu Pak Nadjmi juga selalu mendukung seniman-seniman lainnya. Berbagai festival, event kesenian, hingga undangan-undangan lainnya beliau hadiri bahkan beliau inisiasi agar ada di Banjarbaru.
Terkini kita bisa melihat bagaimana megahnya Tadarus Puisi yang berlangsung setiap tahunnya di bulan Ramadhan, Rainy Days Banjarbaru’s Literary Festival, Misbar Banjarbaru, Mess L, hingga Murjani dan Balaikota yang kembali semarak dengan festival kebudayaan. Beliau selalu mempercayakan tata pengelolaan, konsep event bahkan siapa yang akan tampil kepada kawan-kawan seniman. Pernah beliau berkata bahwa, “Seniman itu punya cara penangannya sendiri kalau bikin acara. Tugas pemerintah ini mensupport apa saja yang bisa disupport dan harus total.”
Begitu Banyak festival sastra dengan kemampuan dialog serta visionernya seorang Nadjmi Adhani sehingga mampu membuat Banjarbaru menjadi gerbang Budaya Kalimantan Selatan, bahkan lebih spesifik menjadi Kota Sastra di Kalimantan. Aktivitas seni pertunjukan dan sastra seperti anyaman purun yang saling mengisi hingga membentuk sebuah wadah yang indah. Banjarbaru disulap beliau menjadi kota yang indah, taman-taman dihidupkan, bundaran-bundaran mendapatkan setuhan estetik.
Athalla, anak sulung saya, setiap lewat bundaran simpang empat selalu menunjukan gemerlap lampu tugu itu dan selalu berkata, “Ba, Lampu Ka’i (Pak Nadjmi).”
Tidak banyak pemimpin yang begitu peduli terhadap tumbuh kembang kebudayaan di daerahnya, saya kira Pak Nadjmi adalah salah satu yang terbaik dalam membangun ekosistem kebudayaan itu. Jika kita melihat apa yang telah beliau kerjakan, maka layak kiranya jika “Bapak Kebudayaan” di Banjarbaru itu diberikan kepada beliau.
Akhir kata saya ingin mengutip kata-kata Rumi, “Di balik benar dan salah, ada sebuah padang terbuka. Kutemui kau di sana.”
Sampai berjumpa lagi, Pak. “Miss You Banjarbaru” menjadi kenangan kita bersama.@