Ada ketidaklaziman yang terjadi di kampung kami. Maybe ini akan lumrah di kampung lain. Tapi kami (sebagai warga komplek) merasa sangat tidak nyaman. Sangat mengganggu. Dan hari kemerdekaan ini adalah puncaknya. Bentuk gangguan yang sangat tidak elegan itu adalah: penyalahgunaan fungsi speaker musala untuk ajang joget dan karaoke. Dan tidak ada corona di sini.

Lagu dangdut apa yang kalian hapal? Ini amang-amang punya listnya, cuy! Terkadang setiap siang di waktu masyarakat komplek tidur sebentar untuk istirahat, speaker langgar a.k.a toa musala berbunyi lagi.

Lagunya bisa bermacam-macam. Ada Nissa Sabyan sampai emak-emak rebana alias perdamaian… perdamaian. Huft, lagu yang sangat tidak mendamaikan kami yang kadang baru mulai berpejam.

Saya mungkin sangat apresiasi, musala sedang diliputi keberkahan, uang sumbangan yang sudah melimpah misalnya. Lantas, si merbot dan pengelola memutuskan untuk memperbarui speaker, merenov bagian lantai, mempercantik tampilan luar, namun lupa mempercantik bagian hati.

Hampir setiap hari, terlepas dari azan rutin dan solat 5 waktu berjamaah, musala akan diselingi dengan nyanyian-nyanyian yang menggoda. Saya tak bilang Nissa Sabyan itu buruk, fren. Bagus sih, salawat, tapi kalau memutarnya setiap waktu seusai salat, ini jadi wiridan rutin.

Sebenarnya tidak masalah, betulan, kalau memutarnya pelan. Apa lagi saat mereka bekerja, menyemen lantai misalnya, menyusun beberapa keperluan persiapan hari peringatan besar islam, itu lagu sudah kayak konser di GOR.

Mungkin para tetua kampung di sini ingin menteladani sejarah Nabi Muhammad bersama sahabat yang bersenandung, bersyair saat membangun masjid Kuba, masjid Nabawi, dan masjid lainnya yang ada dalam riwayat tarikh. Tapi boi, lu yakin kan suara para sahabat ajib punya! Dan mereka tidak memutarnya melalui speaker seperti sekarang.

Belum lagi “Suasana di Kota Santri” setiap sore menjelang magrib. Mau ngejelasin kalau ni kampung kita bukan kota santri, tapi ya itu kan cuma lagu. Lagian, jika memang beliau-beliau itu senang dengan lagi Kota Santri, ya perdengarkan sendiri saja gitu loh, tidak usah disetel dan disiarkan lewat toa, lewat speaker yang baru itu. Iya kami tahu kualitasnya bagus. Walau tidak balance.

Dear para pembaca, speaker di musala kampung saya aktif sekali. Lebih aktif dari speaker aktif di pasar parabola. Jika anda sering mendengar kabar duka lewat speakernya, musala kami adalah kabar bahagia. Sesekali ada kabar duka, setelahnya, kami berdangdut ria.

Toleransi? Akh apa itu toleransi, tidak ada edukasinya di sini. Mereka pikir islam cuma untuk dia dan golongan musalanya. Gak peduli orang lain, mereka seperti mencontohkan islam yang brutal, bar-bar, dan senang dengan nyanyian-nyanyian artis di siang-siang terang.

Sesekali saya berdoa dalam hati, Ya Tuhan, jika ini kompek dan suasana kampung begini-begini saja, tidak ada ketenangan, maka mudahkanlah saya hijrah a.k.a berpindah dari komplek ini, ke wilayah yang lebih tenang, agar islam begitu damai di hati orang-orang. Apa pun agama dan kepercayaannya. Hal yang demikian saja sudah tidak menenangkan sesama islam, entah bagi mereka yang non islam. I don’t know!

Mungkin komplek perumahan di kampung kami dianggap jauh dari pusat perkotaan. Otomatis jauh juga dari jangkauan corana serta virus dan pandemi lainnya. PPKM apa? Tidak ada yang nama PPKM-PPKM, apalagi PPKN. Gak ada protkes dan lainnya. Gak ada pembatasan-pembatasan lain apalah itu namanya. Kampung kami penuh dengan kebebasan. Di saat kampanye #Dirumahaja gencar diteriakkan, kami yang di rumah saja seperti termarginalkan oleh golongan musala kampung yang beraktifitas semaunya aja.

Eh, jangan salah loh ya. Musala di kampung kami rajin sekali menggelar pengajian-pengajian rutin, bahkan peringatan-peringatan yang dalam beberapa bulan banyak sekali. Ada ustadz-ustadz yang mengisi ceramahnya. Ya mesti tidak ada penjelasan begitu buruknya perangai orang yang memutar musik dan berjoget menggungakan fasilitas musala. Ah, musala kami absurd sekali, musala kelas campur. Gado-gado.

Ya Tuhan, saya hanya ingin curhat saja, lindungilah dari rasa menyalah-nyalahkan makhluk lainnya. Tapi sudah ditulis sih ini, ya maaf Tuhan. Mau gimana lagi.

Tidak ada keberanian warga komplek yang memberikan teguran secara lisan apa lagi tertulis. Secara, kampung di sebelah komplek beserta musalanya lebih dulu ada dari rumah-rumah di komplek ini.

Kalian tahu, kan bagaimana jawaban para tetua kampungnya: “Tadahulu unda kalo diam di sini pada bubuhan nyawa ni,” itu jawaban misalnya saja. Sudah akrab kan di telinga masyarakat kita.

Musala yang namanya berbahasa arab begitu elok jika diartikan ke bahasa Indonesia. Namun keelokan tersebut seperti tidak sinkron dengan situasinya. Kami gak masalah dengan aktifitasnya. Hanya saja, mereka para penggemar solawat ini seperti lupa waktu dan lupa diri.

Facebook Comments