Aku sering membaca atau mendengar berbagai kisah perihal awal mula kehidupan. Dalam kisah-kisah yang menakjubkan itu ada sosok-sosok penting yang mengalami peristiwa-peristiwa besar, dan dalam peristiwa-peristiwa itu tersebutlah berbagai benda. Rasanya aku tak begitu takjub pada kapal besar atau tongkat kayu yang punya kekuatan gaib. Keduanya memang menakjubkan, namun kedua benda itu terlampau praktis; kapal dipakai untuk berlayar dan tongkat kayu setidaknya dipakai untuk meringankan beban orang berjalan. Aku takjub justru pada benda yang tak mempunyai fungsi praktis, dan salah satu dari benda-benda semacam itu adalah terompet.

Di sebuah pulau yang sangat jauh ada seseorang yang mempunyai terompet. Sebetulnya aku ingin membayangkan bentuk terompet itu sebagaimana yang aku lihat sekarang, tapi untuk memberi spektrum yang lebih luas aku memilih terompet bulan-bintang kepunyaan Miles Davis. Bentuknya tentu seperti terompet pada umumnya, namun ada motif bulan dan bintang yang memenuhi batang terompet itu. Pada malam-malam tertentu di pulau yang sangat jauh itu siapa saja dapat menyaksikan, tidak cuma satu, melainkan banyak sekali bulan berpendaran di angkasa raya. Jumlah bulan nyaris sama dengan jumlah bintang.

Ketika aku sampaikan gagasan itu pada Hililyah, ia berkomentar, “Saya pikir itu terlalu mengada-ada. Sulit menjelaskan secara logis bagaimana itu bisa terjadi. Kalau di pulau itu orang bisa melihat banyak bulan, kenapa di tempat lain tidak? Bukankah langit hanya selembar dan siapa saja dan di mana saja sebenarnya hanya melihat langit yang sama?”

Hililyah tokoh rekaan, aku yang menciptakannya. Dia sedang mengenakan rok dan baju berkancing yang membuatnya terlihat seperti anak sekolahan. Aku menciptakannya sebagai kawan bicara. Bagaimana pun juga ide tentang terompet di sebuah pulau yang sangat jauh bukanlah ide yang mudah diuraikan.

“Betul juga. Tapi terus terang aku tak mau menghilangkan terompet dan menggantinya dengan benda lain. Dan jangan sekali-kali –ini kuingatkan saja- kau usulkan mengganti terompet dengan pistol,” balasku.

Hililyah tertawa. Karena aku yang menciptakannya, mudah saja membuatnya tertawa. “Tentu tidak. Saya cuma mau bilang kalau menggunakan terompet Miles Davis, kita membutuhkan banyak hal untuk membuatnya masuk akal. Itu merepotkan. Saya pikir terompet di pulau yang sangat jauh itu pasti dibuat dari tanduk binatang.”

“Tanduk Binatang? Itu terdengar kuno. Lagipula kenapa sih segala sesuatu harus masuk akal?”

“Kalau tidak masuk akal, orang akan terhalang untuk mencari apa yang mereka butuhkan.”

“Memang apa yang mereka butuhkan?”

“Ah, kamu kura-kura dalam perahu. Tentu saja mereka membutuhkan pesan moral,” ujar Hililyah.

Aku tertawa. Hililyah tak ikut tertawa. Karena aku yang menciptakan Hililyah, gampang saja membuatnya tak ikut tertawa.

“Menurutmu apakah masuk akal suara terompet bisa mematikan semua manusia?” Aku bertanya sembari berpikir kira-kira akan membuat Hililyah bereaksi seperti apa. Kalau Hililyah langsung menjawab,  aku akan repot melanjutkan pembicaraan dengannya. Jadi aku bikin saja Hililyah terdiam. Sepertinya perlu juga kutambah bahwa dia juga manggut-manggut memikirkan pertanyaanku.

Di pulau yang sangat jauh itu ada kehidupan dan dalam kehidupan itu ada seseorang yang mempunyai terompet dan terompet itu terbuat dari tanduk binatang. Itu bukan tanduk binatang sembarangan, melainkan binatang yang sungguh misterius lantaran tak memiliki rupa, hanya memiliki suara. Si pemilik terompet yang -sebagaimana seluruh penghuni pulau yang sangat jauh itu- tak memiliki nama, bukanlah orang yang berhasil memburu binatang misterius itu lalu mengambil tanduknya. Seperti yang kukatakan tadi binatang itu tak memiliki rupa, hanya suara. Tapi setelah binatang itu mati, tubuhnya yang berupa suara itu malih bentuk jadi sebatang tanduk. Cerita tentang bagaimana binatang itu mati sangatlah panjang. Aku serius soal ini. Tanpa bermaksud mau menghindar dari logika, aku rasa akan bijaksana jika  menceritakannya di lain waktu saja. Informasi yang perlu kusampaikan di sini ialah bahwa yang membunuh binatang itu adalah seorang perempuan.

Hililyah (mesti kubuat) mendebatku habis-habisan soal ini. Tapi faktanya memang begitu; si perempuan mendapat ilham dari mimpi untuk membunuh binatang itu, dan binatang itu mati setelah mendengar suatu suara yang tidak lain dan tidak bukan adalah suaranya sendiri.

Setelah membunuh si binatang, yang kisahnya akan aku ceritakan kapan-kapan, si perempuan membawa tanduk binatang itu ke tengah-tengah masyarakat. Di luar dugaan –sebetulnya aku tak tahu di luar dugaan siapa- si perempuan langsung mendapat hukuman. Dan karena si perempuan memiliki pasangan, maka pasangannya pun turut mendapat hukuman. Rasanya perlu aku katakan bahwa pasangan si perempuan adalah seorang lelaki tampan yang gemar memberi nama pada benda-benda yang ditemukannya. Keterangan ini cukup perlu karena dari lelaki tampan inilah nama binatang yang sekaligus menjadi sebutan untuk terompet itu pertama kali muncul.  Ah, sepertinya aku harus menghapus kata ‘tampan’ sebagai penambah keterangan bagi si lelaki, aku tak mau Hililyah berada dalam situasi logis untuk menafsir hal yang bukan-bukan soal kepribadianku.

Hukuman untuk pasangan itu adalah mereka harus dipisahkan dan dibuang dari pulau. Si perempuan dibuang ke timur dan si lelaki dibuang ke barat. Mereka luntang-lantung mencari jalan untuk bertemu kembali. Mungkin terdengar tak masuk akal kalau kukatakan bahwa saat mereka bertemu, gunung-gunung akan diangkat lalu dibenturkan sekaligus, hingga hancur. Beberapa saat sebelum itu akan terdengar bunyi terompet mengalun sendu. Itulah bunyi terompet yang ditiup oleh pemiliknya dari pulau yang sangat jauh. Perpaduan bunyi terompet dan suara gunung yang dibentur-benturkan melahirkan musik yang luar biasa indah. Suatu musik akhir zaman.

“Seperti gambaran kiamat,” kata Hililyah. “Lantas siapa yang meniup terompet itu?” tanyanya kemudian. Karena aku yang menciptakan Hililyah, gampang saja membuatnya bertanya seperti itu.

“Itu fakta yang belum terungkap,” jawabku. “Memang aku bilang terompet itu ada pemiliknya. Si pemilik terompet adalah pemimpin masyarakat. Tubuhnya tinggi besar dan matanya rusak sebelah. Dia menyimpan terompet setelah peristiwa pembuangan itu. Namun belum ditemukan bukti kalau dia yang telah meniup terompet itu.”

“Saya pernah mendengar sosok dengan ciri-ciri semacam itu. Tapi saya tak ingat namanya. Dan kenapa kamu bilang kalau dia telah meniup terompet itu? Bukankah itu peristiwa yang belum terjadi, maksud saya, dunia belumlah kiamat?”

Karena aku yang menciptakan Hililyah, gampang saja membuatnya lupa nama si pemilik terompet. Namun pertanyaan yang disampaikannya itu membuatku terjebak. Aku perhatikan wajah Hililyah yang berubah-ubah. Aku sungguh kagum dengan ciptaanku ini, kadang-kadang wajahnya seperti wajah seorang bintang film, kadang-kadang seperti wajah seseorang dari masa kecilku. Rasanya aku juga bakal bersepakat kalau ada yang bilang wajah Hililyah ada kecocokan dengan wajah si perempuan dalam kisah di atas.

“Jika peristiwa sudah dikisahkan, maka pada hakekatnya peristiwa itu sudah terjadi,” jawabku. Aku tak yakin, namun merasa puas, dengan jawaban itu. Karena ketidakyakinan itu, mestinya Hililyah harus bertanya kembali. Namun karena akulah yang menciptakan Hililyah, maka tak kubuat ia bertanya lagi. Lagipula, aku mulai bosan dengan semua ini.

“Singkat cerita,” kataku, “di pulau yang sangat jauh itu ada sebuah kehidupan dan dalam kehidupan itu ada cerita.”

Mendengar penjelasanku, Hililyah manggut-manggut. Setelah merenung sebentar, Hililyah berkata. “Oh, kalau begitu semuanya sudah jelas. Saya bisa menangkap pesan moral dari cerita ini. Kita harus menjaga kelestarian lingkungan. Satwa langka harus dilindungi. Jika tidak, manusia juga yang akan menanggung akibatnya. Begitu, kan?” @

Mataram, 9 Mei 2021