Generasi muda memiliki peranan penting dan strategis untuk menyuarakan keberagaman, kedamaian, dan toleransi antar umat beragama di tengah arus informasi yang semakin meluber melalui saluran media sosial. Menyadari hal itu, Lembaga Kajian Keislaman dan Kebudayaan (LK3) Banjarmasin menggelar kegiatan Nonton Bareng & Diskusi Film Kasumbi serta Workshop Literasi Media Pemuda Agen Perdamaian di Kotabaru, Rabu – Kamis (7-8/4/2021).

Menghadirkan pembicara Noorhalis Majid dan Sandi Firly, kegiatan yang digelar di Balai Gunung Jambangan, Politeknik Kotabaru, ini diikuti sekitar 30 peserta terdiri dari mahasiswa Politeknik, STIT Darul Ulum, STKIP, dan anggota Forum Ragam Sa-ijaan (Frasa).

Pada Rabu (7/4/2021) malam dilakukan pemutaran dan diskusi Film Kasumbi. Film yang disutradarai Budi Dayak Kurniawan dengan penulis naskah Intan Kusuma Ningrum yang saat itu sekaligus sebagai host. Film berdurasi sekitar 27 menit ini bercerita tentang budaya “kasumbi” kajian atau bakajian dalam bahasa dan budaya Banjar untuk mendapatkan ilmu tertentu, utamanya menggaet perempuan dan ilmu kebal benda tajam.

Nah, dalam film itu, tokoh utama bernama Cupi berusaha mendapatkan seorang perempuan cantik yang ditemuinya di sebuah kafe. Film komedi romantik ini menggambarkan bagaimana Cupi menjalani ritual bakajian ilmu “menggilai binian” sampai kemudian ia mempraktikkannya.

Dibalut dengan komedi yang terbilang sukses membuat penonton tertawa dan terhibur, pada bagian akhir cerita Cupi ternyata gagal menjampi perempuan yang ditaksirnya—divisualkan dengan hadirnya lelaki lain yang digambarkan sebagai pasangan perempuan. Cupi mengempaskan catatan jampinya dan meninggalkan kafe dengan wajah kecewa.

Setelah selesai pemutaran film dilanjutkan dengan diskusi, yang selain menghadirkan Noorhalis Majid dan Sandi Firly, juga bicara Direktur Politeknik Kotabaru M Rezki Oktavianoor, serta seorang perwakilan dari Frasa.

“Film ini mencoba menggambarkan bahwa di masyarakat Banjar ada budaya atau ritual mantra, yang oleh generasi muda saat ini mungkin sudah tidak dikenal lagi atau tidak diketahui. Sebab saat ini, zaman telah semakin berkembang dengan kemajuan ilmu dan teknologi,” ucap Rezki.

Sementara Noorhalis Majid menyebutkan, ritual budaya itu kental pada era 80-90an. “Namun di balik budaya yang ditampilkan di film itu, ada pesan khusus yang hendak disampaikan. Yakni soal keberagaman yang ditunjukkan dengan adanya visual gereja dan masjid.  Simbol-simbol itu menjadi penting untuk dipahami bahwa kita beragam namun tetap satu dalam kehidupan bermasyarakat,” terangnya.

Facebook Comments