Pada suatu hari Nasruddin menaiki keledainya dengan membawa sebilah parang dan sebuah senapan. Ia bilang ke istrinya ingin berburu di hutan. Seperti layaknya seorang pemburu berpengalaman, ia menendang pantat keledainya, yang membuat hewan itu terkejut dan melompat. Nasruddin jatuh secara memalukan.
Tapi Nasruddin tak ingin ditertawakan, maka dengan gagah ia berjalan menyusul keledainya.
Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seorang lelaki yang membawa golok besar. Ketika mereka sudah berdekatan, tiba-tiba lelaki itu mengancam Nasruddin, dan memaksanya menyerahkan barang-barang bawaannya. Nasruddin tak berani melawan, ia menyerahkan semuanya, parang dan senapan, serta perbekalannya. Untunglah keledai satu-satunya miliknya tak diminta perampok itu, karena kasihan pada Nasruddin.
Ia sampai di rumah dengan wajah kuyu. Istrinya menanyainya, apa yang sudah terjadi dengannya. Ia pun menceritakan kejadiannya dengan sebenarnya. Istrinya yang bingung kembali bertanya, “Bagaimana bisa, seseorang dengan parang dan senapan digarong oleh orang yang hanya memegang sebilah golok?”
Nasruddin menjawab, “Sebab kedua tanganku waktu itu sedang ‘sibuk’ memegang kedua senjata, sehingga aku tak dapat berbuat apa-apa. Lalu, apakah kau mengharapkan aku menerjang orang itu dengan gigi-gigiku? Lagian, aku telah membakar hatinya!”
“Membakar hatinya? Apa maksudmu?”
Nasruddin mengucap dengan bangga, “Setelah orang itu pergi jauh dan tak kelihatan lagi, aku pun mencaci-makinya habis-habisan dengan segala makian yang ada di dunia ini, dan aku mendoakannya celaka di dunia dan akhirat kelak.”@