Diceritakan ketika Timur Lenk, pendiri Dinasti Timuriyah, yang kejam berhasil menduduki kawasan Anatolia (Turki kini) segera ia memanggil semua ilmuan dan tokoh-tokoh masyarakat di wilayah kekuasaan barunya tersebut. Ia ingin menguji loyalitas penduduk terhadap penguasa baru mereka, dan membunuh orang-orang yang tak memberinya jawaban yang memuaskan.

Pertanyaannya sederhana, “Apakah aku (Timur Lenk) raja yang adil ataukah raja yang lalim?” Tapi konsekwensinya yang meresahkan. Yang menjawab “adil” dijatuhi hukuman mati, sedangkan yang menjawab “lalim” segera dihukum gantung.

Korbannya sudah sedemikian banyak, sehingga para tokoh meminta Nasruddin (yang dianggap bijak) untuk maju mewakili sisa mereka yang masih hidup. Dan Nasruddin, dengan sisa-sisa ketakutannya pun maju menghadap sang tiran.

“Nasruddin, apakah aku raja yang adil atau lalim?!” Hardik Timur. Sang guru (mulla) berusaha tenang dan menjawab, “Kami-lah yang lalim, wahai paduka. Dan engkau, adalah pedang keadilan yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa kepada kami.”

Timur yang agung terdiam sejenak. Dan ternyata ia senang mendengar jawaban Nasruddin. Tapi ia ingin menguji sekali lagi.

“Aku dengar sebelum ini, engkau adalah seorang sufi yang mengerti hal-hal di luar pengetahuan umum manusia lainnya. Sekarang, buktikan padaku kebenaran berita itu!”