Tak menunggu lama setelah korban mengirimkan foto-foto “berani” mereka, bandit-bandit itu akan menyeret mereka ke dalam lingkaran setan tanpa jalan keluar. Ketika Baksa atau Godgod menunjukkan kepada para budak tentang kecanggihan hasil penelusuran mereka terhadap kontak, foto, dan alamat orang-orang terdekat mereka, korban pun tak punya pilihan selain diisap oleh permainan mengerikan.
Anda akan terkejut melihat koleksi foto dan video para budak yang Baksa atau Godgod bagikan di grup-grup Telegram itu.
Mulai dari foto para gadis yang sengaja memamerkan bagian-bagian tubuh yang semestinya tertutup; para gadis yang berpose erotik, nakal, dan liar; para gadis yang, tentu saja atas perintah, menggunakan jarum, gunting, cutter, atau pisau, untuk membentuk tulisan Budak dalam bahasa Korea di anggota tubuh mereka; para gadis yang memasukkkan kemaluan mereka dengan segenggam pena; para gadis yang sengaja melukai leher mereka dengan tali yang dikaitkan ke gagang pintu; dan lain-lain, dan lain-lain.
Lebih jauh lagi, Baksa atau Godgod bisa memaksa para budak untuk bunuh diri (terjun dari gedung tinggi, misalnya) demi memuaskan para pelanggan sekaligus menggertak pihak-pihak, termasuk jurnalis dan kru televisi, yang ingin membongkar aktivitas mereka atau mengusut siapa sebenarnya sosok di balik akun Baksa dan Godgod dengan menyusup ke dalam ruang obrolan tersebut.
Sebenarnya kengerian-kengerian serupa-tapi-tak sama bisa kita saksikan dalam film-film lain yang dirilis sebelum CH: EaIH, seperti, yang masih hangat dalam perbincangan, adalah kisah para gadis lintas negara yang menjadi korban penipuan seorang laki-laki tampan berlagak pemilik perusahaan berlian bernama Simon Leviev dalam Tinder Swindler besutan Fellicity Morris (2022) atau hilangnya putri seorang single father yang justru membabar rahasia sosiologis putrinya yang aktif di media sosial, tapi tak memiliki satu teman pun di dunia nyata, termasuk di sekolahnya sendiri, dalam film Searching yang disutradarai Aneesh Caganty (2018)—sekadar menyebut beberapa judul.
Sebagian dari kita mungkin tidak menyangka bahwa Cho Ju Bin alias Baksa dan Moon Hyung Wook alias Godgod Baksa–yang muncul di muka publik di akhir film–ternyata “hanyalah” dua remaja SMA bertampang menggemaskan dengan pipi chuby mereka. Tak sepatah kata maaf pun mereka layangkan kepada para korban dan orangtua mereka. Dingin dan kejam.
Kalau pengakuan Baksa dan Godgod bahwa mereka tak saling mengenal adalah benar, dapat kita bayangkan, apa jadinya masa depan anak-anak perempuan di Korea Selatan (baca: di belahan dunia mana pun) kalau kedua kekuatan iblis ini bersatu?
Merelevansikan film dokumenter berdurasi 1 jam 45 menit itu dengan kehidupan anak-anak (perempuan) hari ini yang nyaris tak bisa lepas dari gawai, semestinyalah mengantar kita ke hadapan layar mahabesar yang menayangkan gambar-gambar masa depan yang mengerikan.@