Suatu waktu, kami berdua di dalam kabin mobil. Sembari menyetir, Nanda bilang ke saya, “Nda, kadang aku merasa yang kulakukan ini sia-sia. Seolah, hanya aku yang melakukannya sendirian!”

Kami tertawa berbarengan. Nanda memamerkan giginya yang rapi dengan mata yang sedikit menyipit. Kamu pasti bisa membayangkannya. Padahal, dia baru saja usai menangis karena sesuatu. Seingat saya, gara-gara gagal lobi salah satu titik baliho promosi event kami.

“Ya lo?” Lanjutnya.

Saya bilang, gak ada yang sia-sia, cuy. Kita memang belum ketemu endingnya saja!

Itu ketika event Waktunya Sangkabaik yang kedua di Q Dafam Syariah. Dan memang sudah berakhir. Lebih dari setahun yang lalu.

Nanda, sepanjang ia berhubungan dengan siapa pun, seperti menanamkan kenangan-kenangan. Memori yang terjerat hinggap di antara kami semua. Semua, ya. Tanpa terkecuali.

Saya pribadi yang teman biasa, bisa merasakan ini, suara-suaranya ketika mengobrol, gesture tubuh berguncang, gelak canda tawa dan tingkah konyol, seolah terbayang selalu. “Rasa masih ada aja lagi, kam, Nda!”

Terlebih lagi keluarga, anak, istri, para sepupu, sahabat karib, sahabatnya yang bertiga itu, rekan bahkan partner kerjanya, lebih malah. Pasti melebihi yang penulis rasakan ketika ini.

*
Dear Ananda Rizky Pratama, kutulis ini di hari ketiga setelah kau meninggalkan dunia yang fana.

Apakah catatan ini mengambil porsi orang-orang yang lebih tahu tentang Ananda Rizky Pratama? Gak begitu konsepnya, nunna dan hyung.

Nanda, demikian kami akrab menyapa, seperti pandai sekali menanamkan rasa senang serta memori tak terperikan di masing-masing sahabatnya.

Masing-masing orang, punya kisahnya sendiri-sendiri bersama almarhum. Yang saya tuliskan, tentu sangat subjektif. Hanya ketika almarhum membersamai penulis. Thats’it!

Saya sedang berusaha menyelesaikan catatan ini sesederhana dan seringkas mungkin. Semoga bisa, ya!

Misi Kelahiran

Tak kurang dari 32 tahun yang lalu, ia lahir dari rahim Maya Diah Miranda. Ananda Rizky Pratama akrab dalam ruang lingkup keluarga dengan sapaan ‘Anda.’ Ia lahir dengan misi menanamkan keceriaan-keceriaan di benak orang-orang.

Seiring tumbuhkembangnya sebagai seorang lelaki yang tangguh dan tunggal. Tanpa saudara kandung. Ia menjadi buah dari kasih sayang dan bentuk dari kasih sayang itu sendiri.

Masa Remaja

Sembari bersekolah, Nanda bermain musik. Ia lebih sering tampil sebagai drumer. Dengan beberapa rekan yang masih membersamainya sejak itu hingga mengantar ke liang lahat, kemarin.

Saya, menemuinya ketika episode ini, di GOR Tuntung Pandang Pelaihari di sekitaran tahun 2004/2005. Perihal ini kamu bisa tengok di catatan saya di sini.

Nanda, seperti tak puas meraih prestasi. Berkali-kali meraih penghargaan the best. Hingga selesai lah masa pendidikan dan pergaulan di era remaja menuju usaha pra dewasa.

Oh iya, orang tuanya berpisah saat SMP. Dan ia lebih sering berkumpul dengan ibunya (Miranda) hingga wafat mendahuluinya, 2015 lalu.

Pra Dewasa ke Dewasa.

Sesudah membangun usahanya, dari studio sampai Event Organizer (EO), ia seperti dianugerahi yang maha kuasa skill mengumpulkan massa dan menjalankan segala bentuk usaha.

Mengumpulkan banyak orang, sebagaimana lazimnya, setiap event yang ia garap berhasil mendatangkan jumlah manusia yang tidak sedikit.

Ribuan hingga puluhan ribu. Dari segi hiburan, hingga ke arah dakwah untuk islam. Berbagai macam event telah terlaksana, terlebih lagi di Kabupaten Banjar, Banjarmasin dan Banjarbaru. Atau skala yang lebih luas, provinsi.

Masih ingat bagaimana gemuruhnya Banjar Bershalawat di waktu itu, almarhum adalah orang di belakang semua layar-layar yang besar itu. Suasana gemuruh kerinduan kepada sang pujaan adalah bonus dari apa yang ia kerjakan di tengah lapangan itu, dia adalah otaknya, cuy!

Sepulang Umroh, Ngopi, dan Sangkabaik

2 Tahun Terakhir

Nanda menyiapkan sebuah perkumpulan yang bagus sekali. Anggap saja sebuah komunitas, yang endingnya diwariskan untuk temannya menjelang masa pemilihan dewan, ketika itu.

Setelahnya, kami membicarakan soal bagaimana anak muda bisa berperan banyak di Industri Kreatif di Kalimantan Selatan, terkhusus Kota Banjarbaru dan juga masuk dalam struktur pemerintahannya.

Pembicaraan ketika itu dihadiri sedikitnya 10 orang di W Kopi samping KFC. Dari konferensi meja segi empat tergabung, saya menerka, Nanda punya misi dan rencana positif yang besar sekali ke depannya.

Kegiatan berkesinambungan yang luar biasa, meriah sekali, sebagai pemegang kendali 9 Organizer, Nanda total memberikan dan mensuport banyak hal. Awesome!

Pertengahan tahun, semua itu berakhir. Pada akhir Oktober 2019, sebuah ajakan ada di panggilan masuk ke hape saya. Sebuah ajakan dakwah untuk kalangan anak muda, tapi di puncak gunung, cuy. Tahura Mandiangin yang menjadi lokasi perdana ketika itu. Riding.

1 Tahun Terakhir

Saya turut serta, bertemu lagi dengan kawan-kawan sebelumnya. Mengikat lagi silaturahmi, dan bergabung dengan komunitas Ngobrol Perkara Islam, Ngopi.

Moment perdana itu juga setelah Nanda pulang dari umroh. Saya bertemu di lokasi parkiran ketika ia memarkirkan vespa.

“Hmmm. Bau mekkah imak, Nda!”

Kami saling tertawa, bersalaman kemudian berpelukan. Sesaat saja.

“Auk maambil berkat makkah, nah” ucap saya.

Teman-teman yang lain naik ke puncak Tahura. Dan saya berdua dengan Nanda menggunakan vespanya. Berat cuy, perjalanan begitu menyenangkan. Sepanjang jalan penuh canda. Sesekali kami termiring-miring menjaga keseimbangan.

Salah saya ikut-ikutan! salah saya juga tidak bawa motor sendirian. Secara, vespa itu harusnya cuma untuk dibawa seorang.

Kawa, Nda. Kawa! Buat ja!” Katanya ketika itu. Saya membawakan sajadahnya. Dasar saya yang tidak siap.

Kegiatan selesai, kami menuruni gunung menggunakan vespa, begitu menegangkan. Untung Nanda lihai sekali. Tapi gugup juga, sih.

Oke, fine. Setelah foto bersama, kegiatan itu berakhir. Saya lupa malam kapan persisnya. Tapi setelah kegiatan itu terlaksana, kami selalu berkumpul hampir di tiap malam.

Membicarakan dakwah, kapan Ride to Jannah, membentuk sebuah tempat, menggelar kegiatan, menentukan tema dan persiapan demi kebaikan.

Ia ingin, agar kegiatan itu meluas, melebar, menasional, dengan nama yang lebih enak didengar dan diangkat ke permukaan.

Dengan jamaah yang bukan dari kalangan santri, tapi secara umum saja. Secara Ngopi sudah dipakai oleh seorang artis untuk program televisi.

Masing-masing kami menyodorkan nama. Lucu, konyol, aneh-aneh malahan. Hingga sampai pada:

“Baik sangka ja”

“Sangka baik bisa jua”

“Nah. Sangkabaik bagus lo!” Kata Nanda.

“Sangkabaik.id. Bisa jua, sebagai ciri aja bahwa itu suatu nama!” sahut saya menimpali.

Nama itu disepakati setelah melalui rapat dan pertemuan yang cukup panjang. Bolak-balik tempat, berkali-kali malahan. Perihal Sangkabaik ini, saya beberkan di catatan yang lain, nanti.

Dalam pergantian nama dan penyusunan struktural sebuah organisasi, saya dilibatkan. Banyak sekali yang berperan ketika itu. Ini juga menjadi momen konyol ketika salah seorang teman memanggil nama kami. “Nanda!” otomatis kami berdua menoleh, dong.

Ah, saya terlalu perasa. Akhirnya teman-teman memutuskan memanggil saya dengan tambahan A di depannya. “Ananda” sebagai pembeda. Seiring waktu berjalan, saya mulai terbiasa.

Pada satu moment Waktunya Sangkabaik yang pertama berlokasi di Mess L, kami seringkali 1 mobil berdua. Ketika itu, keperluannya adalah mencari tutup galon yang automatic bisa dicharge. Saya menyetir.

“Nda, hal sesederhana ini kenapa harus imak, cuy? Perasaan ada aja yang lain yang mau!”

“Ya kada papa. Buhannya yang lain banyak sibuk jua, sound system, layar, penjemputan, maatur jadwal. Naaa, ikam kawani aku di urusan yang lain,” jawabnya.

Dalam moment itu ia berujar, event yang sifatnya hiburan, biasa sekali baginya. Tapi kali ini event yang berbau dakwah, berbau agama, mengumpulkan orang untuk mendengarkan kajian yang skalanya market anak muda, adalah perihal yang tidak mudah. Dan abstrak. Di Kalsel pulak. Yang sudah kental dengan Majelis Ta’lim guru-guru tuha.

Baginya, ini seperti pilot project. Tidak ada angka pasti berapa orang yang akan datang. Moment itu, seperti percobaan, berhasil atau tidak, tidak ada yang mampu memprediksi.

Nanda, menjadi sosok lemah lembut yang mudah tersentuh hatinya. Dalam setiap doa para ulama yang akrab kami sebut narasumber, ia selalu menangis. Nanda selalu menangis. Ia selalu menangis, hatinya mudah sekali menangis. Saat berdoa, saat bersama, saat kebaikan-kebaikan perlahan menjadi cerminan di setiap lakunya.

Pada Juni 2020 tadi, Ananda Rizky Pratama resmi dilantik sebagai Ketua Hipmi Kabupaten Banjar Periode 2020-2023. Ia membawa program Sinergi Banjar. Saya sempat mewawancarainya ketika ia membeberkan perihal ini, namun tak sempat terpublikasi. Rekaman suaranya masih tersimpan hingga kini.

Ok, fine!

Yang jelas, almarhum adalah salah satu pencetus. Satu dari beberapa pendiri Yayasan Sangkabaik. Yang setiap program dan bentuk kegiatan lahir dari pemikirannya. Segala persiapan teknis serta beberapa tema adalah buah dari renungannya. Galau, Look Down, Yakin Besok Masih Ada?

Nanda, juga menjadi salah satu penggerak sejumlah perkumpulan charity atau sosial semisal donasi di Kalsel. Di antaranya ada ‘Lentera Banua’ sebagai wadah untuk menyalurkan donasi apa pun bentuknya kepada yang tidak mampu.

Di dalamnya banyak sekali program. Yang sempat berjalan adalah Sedekah Jumat, 1.000 Iqro, 1.000 APD untuk tim medis Kalsel (pandemi), 100 Paket Makan Untuk Tim Medis (pandemi) ia salurkan bersama Tudung Saji yang juga ia kelola.

Ditambah lagi ‘Besok Makan Apa?’ bentuknya seperti menyantuni orang di pelosok-pelosok yang memang perlu bantuan. Saking banyaknya program-program kedermawanan itu, saya tidak mengingatnya dengan rinci. Banyak sekali.

Ia jadi penggerak “Kuat Kita Bersama” sebagai bentuk dukungan kepada kawan-kawan di era pandemi. Dalam setahun terakhir juga banyak bentuk usaha-usaha yang terbangun, yang niatnya merangkul banyak teman-teman untuk bekerja, turut serta menghidupi banyak karyawannya. Baik yang berpartner dengan sahabatnya, atau ada yang dengan timnya.

Mungkin saya boleh sebutkan sedikit saja seperti Tudung Saji Mamalita, Ruang Saji, Apple Team Care, de el el deh. Nanda, seperti mengerahkan semua timnya, yang juga kawan-kawannya, membantu sahabat-sahabatnya, yang memerlukannya.

Awal pandemi

Jika tak hilaf, dimulai pada Mei hingga New Normal diberlakukan. Hampir semua usaha teman-teman drop. Terlebih lagi EO, yang secara fungsi mengumpulkan orang banyak. Nanda, selalu menguatkan kami, yang sebenarnya ia juga memerlukan penguatan-penguatan dari externalnya.

Kada papa. Hadapi aja! Sandang!” Kata-katanya sambil tertawa. Matanya menyipit sembari sesekali melucu. Gak bisa ditolak, Nanda adalah orang yang paling lucu, ia pandai memecah suasana kaku.

2 bulan terakhir

Nanda, adalah orang yang pertama kali mencari saya baik melalui pesan teks atau menelpon langsung. “Dimanaaa yu?” “Kemana niiiih!” “Dimana intang!” “Kemana imak?” Adalah kalimat-kalimatnya yang tak terlupakan.

Kadang saya malu sendiri, waktu semakin tumpang-tindih gara-gara semua tawaran pekerjaan yang saya acc dewasa ini.  Betapa tidak, momentum semua orang mulai sulit mencari pekerjaan, saya sebaliknya. Kayak gak tau diri, tapi sudah “dihakuni”.

Finally membersamai para kawan-kawan mulai tergerus waktu. Saya pribadi jadi jarang sekali hadir dalam perkumpulan.

Buku kolaborasi pertama saya launching, Nanda adalah orang pertama mengapresiasi. Dia merepost beberapa postingan saya pribadi, menawarkan salah satu usahanya menjadi tempat launching. “Ramaikan, Nda. Hamburkan ja, bebas!”

1 Bulan Belakangan

Bulan Maulid tiba. Semua tim di Sangkabaik yang disebut pejuang mempersiapkan banyak hal. Mungkin di sebulan terakhir ini juga ia seperti berurusan dengan banyak hal.

Kadang dari satu titik, ia berada di titik yang lain dalam sehari. Awal-awal Waktunya Sangkabaik Edisi Maulid. Ia sibuk sekali.

Moment ketika Taqy Malik datang ke Banjar, ia yang paling pertama mengontak. Menjemput, mengantar, menjemput, mengantar. Yang padahal bisa saja ia limpahkan kepada yang lain. Karena ia juga mengurusi pekerjaannya yang lain. Tapi Nanda mengerjakannya sendiri.

Episode saat Taqy Malik berucap ini dalam Teras Sangkabaik malam itu. “Siapa yang ingin menjadi pengapal Quran angkat tangannya!”

Saya membuat IG story sembari memandangnya dan mengingat gesturenya. Ia mengangkat tangannya malu-malu, melirik saya, kami berpandangan, saling tertawa.

“Semoga setelah ini, kita semua menjadi generasi cinta Quran dimudahkan Tuhan menjadi para penghapal Quran!” lanjut Taqy.

Kami serentak mengaminkan. Nanda memandang saya, saya memandangnya. “Ya Allah, sampai jua kah lagi umur!” sahutnya menghadap saya dan saya menjawab seperti berbisik saja. “Sampai cuy, sampai!” Kami berpandangan menebar senyum.

Di malam yang sama setelah salat isya, Ia beranjak mengatar Taqy ke Banjarmasin, yang kami semua tahu ada kegiatan politik di sana. Saya bertanya:

“Berangkat sekarang, Nda?”

“Hi ih kasi, kam umpatkah. Iringi aku ke bawah!”

Tapi saya ingat betul ketika itu sedang menyelesaikan editing berita yang masuk. Saya menyelesaikan sekitar 10 menit dan keluar melihat situasi, mobilnya sudah berjalan menuju jalan raya.

Fine, saya pikir, jika saya ikut, di sini juga akan gelabakan karena setelah pengajian ada selamatan kecil-kecilan untuk peringatan 1st Annyversary Sangkabaik. Ya, sudah. Moment ini sayang juga dilewatkan.

Alhasil, malam itu kami dengan semua tim foto bersama. Namun tanpa Ananda Rizky Pratama.

2 Pekan Terakhir

Nanda seperti melakukan ketumben-tumbenan yang sebelumnya jarang ia lakukan. Semisal berolahraga. Ia sempatkan bergabung bersama Konten FC bermain sepakbola, yang padahal, ajakan olahraga jarang sekali ia amini.

Nanda, seperti sering menemani teman-teman dan karyawannya begadang. Menyanyi bersama dan menciptakan keceriaan-ceriaan yang jarang ia lakukan.

Sepekan Terakhir

Menurut kabar, Nanda sempat stroke ringan. Bagian ini tentu sahabat dekat dan keluarganya yang paling mengetahui. Kemudian membaik, ia memporsir tubuh dan tenaganya lagi mengurusi banyak hal.

Termasuk Kabupaten Banjar dan Banjarbaru. Nanda, seolah menghabiskan energinya untuk memastikan program berjalan dan kegiatan-kegiatan yang ia telah atur bersama para rekan.

Nanda dirawat rumah sakit bukanlah hal asing bagi kami, terutama keluarga dan sahabat. Jadwal di RS seperti rehat baginya. Ini juga pernah disampaikan almarhum kepada penulis di satu waktu.

Aku, Nda ai, bila sudah kelimpatan uyuh, istirahat di rumah, kada keluar seharian sampai isuk. Atau di rumah sakit, suntik, infus. Sudah. Mun pina sigar, begawian pulang!” katanya.

Namun kali ini, hawanya berbeda. Pada instastory Nanda, ia berkali-kali menyugesti menulis teks agar tubuhnya sendiri kuat. Sudah banyak kantong infus yang ia habiskan, dan oksigen yang mulai menurun.

Menurut informasi keluarga, Nanda mengahabiskan masa total 10 hari di RS dengan 2 kali pindah dari RS yang satu ke RS yang lain.

Kabar Duka, Jumat, 28 November 2020

Malam sebelumnya, yakni malam Jumat, ada doa bersama di Teras Sangkabaik, untuk kesembuhan Nanda. Saya baru pulang dari toko home decor bersama istri. Dalam kabin saya bicara kepadanya.

“Aku ni mengganang Nanda, ih, Liebe ai. Sudah banyak tabung oksigen dan banyak kantong infus yang inya habiskan,” itu juga setelah saya melihat IG storynya yang terakhir. Beberapa malam yang lalu.

“Di Teras Sangkabaik kekawanan lagi doa bersama nih, Aku rawan kam. Sehat aja Nanda ni, cuma kita kada tahu kapan keluarnya,” saya melontarkan kalimat itu memang tidak tahu sama sekali separah apa kondisi Nanda malam itu di RS.

***

Pagi Matahari redup sekali. Saya ingat betul, hujan begitu deras. Deras, ribut, deras sangat. Sedikit membuat malas beraktifitas.

Dering telepon mengejutkan. Seorang teman, ia berbicara, menanyakan, mengkonfirmasi apakah kabar yang ia terima benar. Karena ia menilai saya tahu karena berteman.

Kada ah, kada cuy. Memang inya lagi di rumah sakit. Tapi kada, jaka iya aku tahu dari grup-grup yang ada ni!”

“Coba kam takuni, check lagi! Telpon kawanannya!”

Telepon ditutup. Saya membuka semua grup WA yang berkaitan. Dan membaca kabar duka di sana. 11.53. Hmm, isu ja nih. Lagian saya menganggap ini masih rumor, belum akurat. Dan saya menelpon.

“Bib… Nanda?”

“Iya.”

“Pian di mana?”

“RS”

“Yawda ulun ke sana sekarang!”

Telepon ditutup. Saya terduduk. Tapi gak ngapain-ngapain juga. Seperti orang bingung. Gak mungkin, ah. Saya belum percaya jika tidak melihat secara langsung. Tapi saya linglung. Atau lebih tepatnya, kami linglung. Apa? Maksudnya kayapa, nih?

***

Salam terakhir,

Menghamburlah semua duka di segala lini media sosial dan dunia nyata. Semua proses dilakukan. Air mata rasanya sudah habis di awal-awal. Kami semua, kawan, sahabat, keluarga, mengiringi sampai ke liang lahat. Doa telah terpanjatkan. Semua merasa kehilangan. Tanpa terkecuali.

Ananda Rizky Pratama, dimakamkan persis di sebelah makam ibunya, Miranda. Ibu dan anak itu telah berkumpul di sekarang.

Saya harus segera mengakhiri tulisan yang sedikit ini. Pertanyaannya adalah, mengapa semua terkesan berlebihan mengungkapkan rasa duka?

Bagi saya, Nanda terlalu cepat. Langkah masih panjang. Namun, ya, meski ini adalah yang terbaik. Tapi kami semua masih membayangkan masing-masing telah tua renta, bernostalgia. Itu juga setelah rencana-rencana dan programnya terjalankan.

Kemajuan di bidang ekonomi yang ada dalam blueprint kepalanya, dunia pendidikan, santunan anak yatim berbadan yayasan, rumah tahfidz, dan… ya Tuhan, banyak sekali niat mulianya. Saya cukupkan sampai di sini, ya. Fine, kita doakan yang terbaik untuk almarhum.

Di antara kami masih membayangkan anak-anak menggendong cucu-cucu kami yang lucu. Sembari mengenang, “Kai ikam ni, bahari cu, ai Naaaaa,” saya memberikan empat jempol. Semuanya kalau ada tambahan lagi, Naaaaa👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻.

Ananda Rizky Pratama, wafat di hari mulia dengan kemulian-kemulian yang sudah dijanjikan Rasul di dalam hadits.

Cerminan kita semua yang membaca, cuy, kita gak bisa request mati di hari apa dengan cara apa? Gak ada yang tau. Gak ada yang bisa ngejamin. Kehendak yang maha kuasa, kan?

Jika kelak ada yang bertanya apa kontribusi Ananda Rizky Pratama sebagai pemuda milenial terhadap kemajuan islam, kebaikannya terhadap agama, pembangunan daerah, industri kreatif, pembangunan kota ini, bahkan negara ini?

Maka jawablah dengan santun penuh dengan rasa memuliakan dan kasih sayang, “Ke mana aja pian?” []