Bagi generasi walashri alias berusia di atas 50an, tentu masih ingat dengan ting-ting jahe. Permen yang diproduksi oleh Pabrik Kembang Gula Sin A Pasuruan Jawa Timur ini, ternyata masih ada di pasaran meski terbatas di tempat-tempat tertentu semisal di pusat jajanan di Pasar Genteng Surabaya atau, jika anda tinggal di Bandung, anda bisa mendapatkannya di supermarket Setia Budi di Jl Setia Budi, arah menuju Lembang.

Permen jahe memang tergolong permen zaman dulu. Membicarakannya mau tak mau kita tidak hanya kembali ke masa puluhan tahun, tapi ratusan tahun ke belakang.

Dalam catatan perjalanan yang ditulis oleh petualang Inggris, John Joseph Stockdale yang terbit dengan judul The Island of Java (1811) disebutkan, bahwa pada tahun 1778 terdapat sejumlah komoditas dari koloni Batavia yang diekspor ke Eropa, salah satunya adalah candied ginger alias kembang gula jahe yang dikirim dalam jumlah 10.000 pon per-tahun dan menghasilkan keuntungan yang cukup besar. Permen jahe laku keras di Eropa karena berkhasiat menghangatkan badan dan menghilangkan kembung.

Produksi permen dalam skala besar kala itu memang memungkinkan karena ditopang oleh budidaya dan aktivitas penggilingan tebu yang dilakukan orang Tionghoa di sekitar Batavia sejak awal abad ke-17. Dalam Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid II, sejarawan Perancis Denys Lombard mencatat, pada 1750 terdapat 80 penggilingan tebu di sebelah barat dan timur sungai Ciliwung.

Memasuki abad ke-20, pasar permen makin meluas, dan banyak pemilik modal yang tertarik menerjuni bisnis ini.

Di Semarang, misalnya, ada Venus Chemical Co yang semula adalah perusahaan pembuat minyak wangi namun menambah usahanya dengan memproduksi permen dan cokelat pada tahun 1929. Di buku Semarang als Industrieel, Commercieel en Cultureel Centrum (1941) disebutkan, pada awalnya Chemical Co. hanya menyasar pasar lokal. Akan tetapi pada 1934, perusahaan dengan motto “Sekali dicoba selalu disuka” itu berkembang hingga merambah pasar Eropa.

Sastrawan sekaligus tokoh pergerakan kemerdekaan, Mas Marco Kartodikromo, dalam novel Mata Gelap (1914) yang ditulisnya mengisahkan bahwa permen merupakan salah satu jenis kudapan yang dijual di tempat makan di Stasiun Pekalongan. Salah seorang tokoh di dalam novel tersebut digambarkan Marco tengah menikmati bir, es, permen, dan cokelat saat kereta yang ditumpanginya berhenti sejenak dalam perjalanan dari Semarang ke Cirebon. Permen-permen itu juga terpajang rapi di toples cantik di toko-toko kue dan restoran seperti toko kue Maison Delicacy yang merupakan cabang toko roti dan kue Nyonya Goei Sam Ho di Jalan Doewet (sekarang Jalan Gajahmada), dan toko permen Gwan Hwa di Jalan Mataram (sekarang Jalan MT Haryono).

Kembali ke permen jahe. Dulu pembungkus kembang gula ini berasal dari kertas minyak. Belakangan kemudian menggunakan plastik tetapi masih sederhana. Sekarang kemasan permen jahe telah menggunakan plastik cetakan. Permen jahe juga ditemukan dengan pembungkus bagian dalam seperti agar-agar yang bisa dimakan.

Pabrik Kembang Gula Sin A sendiri didirikan oleh Njoo Thjay Kwee pada 15 Juni 1935. Beralamat di Jl Sumatera 24-28 Pasuruan, sejak pertengahan tahun 1937 sudah mampu menghasilkan 34 macam kembang gula dalam berbagai jenis dan telah dipasarkan ke Jawa, Lampung, Palembang, Sibolga, Medan dan Banjarmasin. Pada tahun 1957, Sin A dirombak status hukumnya menjadi Perseroan Terbatas dengan memakai nama baru yaitu Perusahaan Dagang dan Industri PT Sindu Amritha dengan akte Notaris No. 139 tanggal 31 Desember 1956, dan surat ijin H.O. No. 204/14/KD/1960 tanggal 25 Mei 1960.

Tahun 1973, Ting Ting Jahe mulai diekspor ke Holland dan 1975 ke Hong Kong. Kemudian pada tahun 1983, masuk ke Australia dan Timur Tengah, dan pada 1984 hingga saat ini telah merambah pasar Amerika. Pada tahun 1985 PT Sindu Amritha memperoleh penghargaan “International Commerce Award” yang diselenggarakan oleh Edicoin di Madrid, Spanyol. @