Seorang lelaki begitu memasuki pintu neraka ditanya salah satu penghuninya, “Apa yang memberatkan amal burukmu sehingga kamu dimasukkan ke sini?”

“Pentol.”

“Pentol?”

“Ya, aku selalu memakan pentol saat Jumatan.”

“Kenapa itu bisa menjadi amal buruk?”

“Karena aku selalu membayar kurang dari jumlah pentol yang kumakan.”

 “Oh… Kalau begitu silakan, sana bakar bentol yang belum kamu bayarkan.”

 

Tenang. Itu hanya karangan belaka. Fiksi. Tidak ada riwayatnya sama sekali.

Fenomena “mementol” di kawasan masjid jelang Jumatan atau salat Jumat, bisa kita lihat di banyak masjid di banua Kalimantan Selatan ini—entah di daerah atau kota lainnya di Indonesia. Orang-orang, terutama anak muda dan anak-anak berdiri merubungi gerobak atau kendaraan tempat membawa pentol, dengan tangan memegang lidi untuk menusuk pentol dan kemudian mencelupkannya ke saos merah manis atau pedas.

Mereka, dengan perlengkapan salat Jumat, tampak khusyuk menusuk pentol berkali-kali sebelum salat dimulai. Tanpa banyak bicara, karena mulut sibuk menguyah. Dan pemandangan serupa biasa kita lihat lagi begitu salat usai. Dari dua kali peristiwa menusuk pentol jelang dan sesudah Jumatan  ini, ada yang tetap menjadi misteri bagi saya hingga saat ini yang nanti akan saya ungkapkan, atau saya tanyakan kepada Anda—barangkali Anda mengetahuinya, dan itu mungkin lantaran Anda termasuk dari jemaah yang suka “mementol” Jumatan. Ya, siapa tahu..

Sebelum hal misteri itu, andai ada mahasiswa yang mau membuat skripsi; meneliti hubungan pentol dengan Jumatan, mungkin salah satu judul yang bisa coba diajukan adalah; “Pentol di Hari Jumat dan Perubahan Perilaku Religiusitas Jemaah Jumatan di Dalam Suatu Masyarakat.”

Kenapa pentol di hari Jumat? Atau lebih spesifik pentol Jumatan, karena penelitiannya hanya terbatas pada jualan pentol menjelang dan sesudah salat Jumat. Dan bagaimana, atau perubahan apa yang terjadi dalam perilaku jemaah Jumatan suatu masyarakat dengan keberadaan pentol di sekitar masjid itu.

Apakah penelitian semacam itu penting? Tidak tahu. Tapi, bukankah revolusi pun bisa terjadi hanya karena sepotong roti? Hal ini pernah terjadi di kota Bahía Blanca Argentina, pada musim semi 1920, di mana sekitar 173 pekerja di kota itu memutuskan membentuk “Koperasi Pekerja” untuk memerangi kartel roti yang kian menggurita. Sejak itu, seperti ditulis majalahpeluang.com, Cooperativa Obrera berkembang menjadi koperasi konsumen terbesar di Argentina dan terbesar kedua di Amerika Latin, dengan 107 toko di 52 kota, 4.400 karyawan dan lebih dari 1.300.000 anggota.

Cooperativa Obrera Argentina ini pun akhirnya menjadi simbol perlawanan kelas proletar terhadap kaum borjuis yang memonopoli usaha roti.  Nah, kenapa tidak dengan sebiji pentol? Kalaupun tidak dalam kelas sosial dan ekonomi, setidaknya revolusi mental orang per orang.

Begini. Bisa saja, seseorang yang dulunya jarang Jumatan belakangan rajin Jumatan setelah tahu ada pentol enak yang jualan depan masjid. Atau malah sebaliknya, seseorang yang dulu selalu duduk di dalam masjid sebelum khatib naik ke atas mimbar, kini baru masuk masjid setelah khatib turun dari mimbar—dan itu setelah ia menghabiskan sekian biji pentol.

Lalu, kira-kira apa kesimpulan dari implikasi keberadaan pentol di sekitar masjid saat Jumatan? Tentu terlalu dini kita simpulkan sebelum melakukan penelitian yang komprehensif, termasuk mewawancarai jemaah Jumatan yang rajin “mementol” dan mungkin juga harus terlebih dulu mengalami langsung pengalaman “mementol”—karena barangkali ada suasana yang berbeda antara “mementol” berjemaah dengan sendirian. Ingat, ada teori “crowd” yang membuat suatu kerumunan berada dalam suasana dan perasaan yang sama.

Ala kuli hal, sesuatu yang tetap masih misteri dari semua itu—setidaknya bagi saya, di manakah paman pentol berada di saat salat Jumat berlangsung? Dan, mengapa di antara jemaah yang “mementol” itu, entah kebetulan atau tidak, selalu ada sosok gempal?

Seorang lelaki begitu memasuki pintu surga ditanya salah satu penghuninya, “Apa yang memberatkan amal baikmu sehingga kamu dimasukkan ke sini?”

“Pentol.”

“Pentol?”

“Ya, aku selalu memakan pentol saat Jumatan.”

“Kenapa itu bisa menjadi amal baik?”

“Karena aku selalu membayar lebih dari jumlah pentol yang kumakan.”

 “Oh… Kalau begitu silakan, rupanya pentol-pentol yang telah disediakan di sana itu khusus untuk kamu makan.”

Seperti cerita di awal, ini juga karangan belaka. Fiksi. Tidak ada riwayatnya sama sekali.Tapi apakah mungkin kisah semacam itu bisa benar terjadi? Tentu itu juga misteri. Wallahu’alam.@