Ekpektasi ekspresif dari karya sastra menitikberatkan pada hubungan antara karya dan sang kreatornya. Karya yang dihasilkan dari sang penulis bertolak dari kehidupan, papakerma jalan hidup yang ditempuh dan dipilihnya. Pernak-pernik jalan hidup baik ideologi, agama, persepsi yang terpilih akan mempengaruhi apa yang menjadi hasil karya. Termasuk kumpulan puisi Akar yang ditulis oleh Djazlam Zainal (DZ). Buku Akar sendiri adalah kumpulan puisi keempat, sebelumnya Kilir-Kilir Makna (1992), Ya, Bageh (1997), dan Rasa Terpanggang (2013).

DZ yang pernah berprofesi sebagai Penolong Pengarah Kanan, Jabatan Kebudayaan dan Kesenian Negara, Melaka sepertinya paham betul akan arah puisi-puisi yang ditulisnya dalam Akar mesti dibawa ke mana.

Ada 97 puisi dalam kandungan Akar yang ditulis DZ dalam rentang waktu 2014-2015. Ini sungguh mengejutkan, karena kepenyairan DZ semacam diuji dan diburu waktu. Menghasilkan puisi-puisi yang ditulis secara estafet menguras energi kebatinan. Dari sisi inilah penyair DZ kerap menggali puisi, berlarian dan berkejaran ke dalam dirinya sendiri.

Sebagian besar puisi-puisi suasana batiniah, keinsyafan, dan kesadaran dibumbui dengan hangat. Tuhan hadir dalam lirik-lirik sajak DZ dengan penuh penghayatan. Kehidupan tercipta dan mencipta dalam baris sajak, kesadaran sebagai insan khauf, dengan segenap rasa tercurah dengan hangat dalam Akar

melewati ke dalaman tanah yang pengap dan gelap
tangan ini mengapung doa yang tak berhujung
kiranya ini adalah jalan pencerahan daripada ribuan makna
yang berselirat di putaran akal dan kalimat

hujan berderai dan cahaya mati
terkumpul naluri pada dua daging kudus dan jari
matilah olehmu sehala puji yang tak pernah
kauramahi sehingga kini

Puisi Akar di atas, pencapaian hakikat diri merepresentasikan penyairnya dalam persepsi yang meresepsi kehidupan dan pengetahuan batin secara mutlak menjadikan fondasi pemikiran lahiriah, terlepas dari ekperimen dan kontemplasi DZ dalam berkarya. Akar yang dimafhumkan akan menjalar sebagaimana kodratnya, pada kenyataannya menampik persepsi pembaca bahwa karya-karya penyair Negeri Jiran hanya sibuk dengan retorika majas personifikasi saja.

Setidaknya ada sejumlah puisi-puisi dalam Akar yang menapik itu, mari simak puisi Kucurahkan Sepi (hal.38):

masih adakah cinta
kala hati terluka
kau kuburkan waktu siangku
malamku kau curah sepi

atau puisi Tiba-tiba Malam Memanjang (hal.7)

tiba-tiba malam memanjang
kaca berantak pecah
hujung jariku berdarah
menyisakan keluhan paling dalam.

engkaukah itu yang merejam batu
sehingga berkocakan air kali
engkaukah yang memusnahkan
segala mimpi?

Sensasi pengalaman penyair DZ dalam sepi diungkap dalam puisinya secara datar dan sepertinya sengaja dihadirkan untuk bisa dinikmati semua lapisan. Ada kalanya kata penyair DZ … malam memanjang/ kaca berantakan pecah. Kita tahu, antara malam yang kemarin dan malam besok sebenarnya tidak ada bedanya. Tetapi karena satu hal yang privat maka suatu malam begitu panjang, ada kejadian yang tidak begitu takzim terjadi sehingga simbol yang ditayangkan menjadi hujung jariku berdarah.