ARWAH KUCING

sepasang matanya mencakar cuaca
mengusap detakku
pada temu tatap sore itu
semacam perkenalan yang tak direncanakan
menaut ke sulur gerimis
yang dikirimkan cemas remang
berasa teramat perlahan mengiris
jelajah lengang demikian panjang

ngeong itu terus menjadi bunyi, menjadi nyanyi
menjadi suara, menjadi tengara
ia yang terus berlarian di ruang kepala
semacam alarm bagi doa yang tertidur
dan yang terdengar hanya dengkur
di bilik bilik yang dilembabkan haru
dan selalu mempertanyakan malam yang piatu

mungkin demikian bahwa yang telah berlalu
selalu terdaur mengakrabi pada detak waktu
seperti lincah kibasan ekornya yang sulit diam
isyaratkan bahwa ada yang mengikuti di belakang
hingga bertumbuhan waswasku di kegelapan
sementara jejak cakar dan gigitan menjadi jalan kecil
untuk mengingat kedekatan percakapan
yang pernah berupaya dikekalkan

Bekasi, 2019


BUKAN PARAS MONALISA

ia datang tiba tiba, seperti jatuh dari lubang hitam
antariksa yang tetap saja jadi buruan mewah para
ilmuwan. rambutnya seperti bauran kesibukan
percakapan di media sosial kini, kegembiraan
yang ambigu di antara ambang bersama dan sendiri.
tak ada sepotong pizza, akan tetapi gedung gedung
tua di roma tetap menyimpan epos dan romantika,
tak mau surut dilumat usia.

di wajahnya tumbuh kota kota yang doyan
mengiklankan kemakmuran, pesta pora, pelukan
masa depan, sekaligus acap diusap oleh ingatan
untuk merancang taman taman puisi yang nyaman.
dan kota kota itu berjalan bak majikan berwajah
tegang, tak bisa menghindar dari kejaran kejam
utang. semacam potret diri yang lebam dan tak
sanggup sembunyikan cemas yang kusam.

memang seperti ada yang ditahan bibir dalam
gigitnya, karena gigilnya. kadang salju puncak eropa
merembes dan menembus ke ruang mimpi, meski
tidur tak mudah disiasati. barangkali demikian alibi
mimik misteri yang sengaja menyimpan partikel
rahasia tentang siapa, getar getar yang memerangkap
bagi kerumunan khayal dan tak kuasa menolak
ajakan tanya.

Bekasi, 2019


KOTA KOTA YANG BERANGKAT TERLALU PAGI

seperti kata kata yang terburu hendak menyampaikan
pesan, kota kota pun tak pernah benar benar tidur,
khawatir bangun kesiangan. gelisah begitu lucu
bergantung di kawat listrik dan telepon, atau berjela
di puncak puncak gedung. menjadi kecamuk dalam
gumam, pertentangan terus dilahirkan dan menjadi
demam. memang ada yang begitu kerap mendesak
dan harus segera dituntaskan, seperti kebelet pipis
yang sudah meruncing di ujung pertahanan.

maka kota kota seperti saling sepakat untuk tak
menunggu matahari, mereka menyalakan lampu
lampu di tubuhnya sendiri. suhu tubuh pun menanjak
naik tinggi, merayapi jalan yang merupakan rute ke
peta mimpi. mereka gegas berlari di antara tatapan
melompong embun dini hari. memburu karena
diburu, karut menjadi rakus di kalender, pengejaran
dilakukan hingga ke ceruk ceruk terdalam dari
lembab dan pengap persepsi.

kota kota itu selalu menjaga gairahnya di segala
jentera era, layaknya anak muda yang doyan
bercinta. tak dirasa, meski ada kaki lecet, memar dan
bengkak, jatuh karena tersandung trotoar atau kena
lubang jalanan yang anggarannya disunat berkali kali.
mereka seperti berucap: bukankah luka pada akhirnya
akan menjadi penghuni ruang lupa, dan bisa jadi
memang sebenarnya tak pernah terjadi apa apa, di
sempit dunia yang tak menjanjikan apa apa.

Bintaro, 2019