TAK PERLU BERTANYA
tak perlu kau bertanya kapan embun
datang dan bila pula pergi. karena
daun sudah tak lagi punya tubuh
untuk menerima kehadirannya
apalagi pergi — bahkan tanpa
pamit — saat kau singkap matahari
di lembar jendela
daundaun sudah tak punya hasrat
dicintai embun. embun sudah tidak
lagi menepati janji untuk datang
maupun pergi. ia runtuh bersama
hujan, ia pergi lewat pintu belakang
— dari belakang punggungmu —
yang kerontang dan berlubang,
sebuah lorong untuk siapapun
berlalu; embun, semut, dan cahaya
matahari
tak perlu kau tanyakan bila embun
datang dan kapan pula pergi. tak ada
guna, kenapa ia tak lagi singgah
di tubuh daun akhirakhir ini
DI JALAN SANGAT KAU BENCI
di jalan yang pernah sangat
kau benci, kita bertemu lagi
tapi dengan lagu dan musik
yang berbeda. “amat lain,
aku mau,” katamu ingin
menegaskan agar aku turut
maumu
hujan, seperti pernah kita
rasakan dulu, juga belum
berubah. di bulan yang sama,
tubuhmu mana yang basah
tapi, mengapa kau ada di sini?
di jalan yang pernah sangat
kau benci. kau berjanji tidak
ingin mengulang kebencian
yang sama. maka kau hapus
jalan ini dalam kepalamu
tapi, aku coba merayumu
kembali ke jalan ini. sesekali
– anggap saja – menapak tilas
atau – mengulang masa lalu –
“siapa tahu kau bisa riang?
mungkin saja musim dalam
dirimu sudah berganti.”
sekadar mengingat di bagian
dadamu mana pernah basah?
di kakimu mana pernah berdarah
di jalan ini atau sesudah di rumah?
AKULAH LELAKI ITU
RINDU TETEK IBU
akulah lelaki itu yang tibatiba
kau usir dari rumahmu. kemudian
aku urban, jadi eksil yang pulang
cemas dan diam di tanah baru jadi
orang yang terlunta,
aku asing dari tetek ibu
aku terbata mengingat bahasa
ibu; “di mana aku kini? pulang
terancam, menetap tiada jalan
ke rumah.”
akulah lelaki itu yang kau usir dari rumahmu
–juga rumahku–tibatiba,
sebelum kukenal matahari. aku pun
mengembara, kucari satu tulangku
yang dibawa orang. entah menuju
mana,
aku jadi orang terasing, rindu
susu ibu. terbata mengingat
bahasa yang dulu ibu ajarkan
“pada bahasa yang baru kuterima?
sungguh sulit mengenal diksi,
selain katakata kasar dan kotor.”
sebagai lelaki yang terasing
aku tak lagi perlu jendela
yang biasa kubuka tiap pagi
melihat kedai selalu menyebarkan
aroma kopi dan tawa
di kota ini aku lupa kedai mana
bisa mendiamkan gejolak rindu
pada tetek ibu, cacinya saat
kutolak permintaanya.