SAHABAT Asyik yang budiman, puisi-puisi edisi kali ini adalah karya Mahmoud Darwish yang diterjemahkan oleh Saut Situmorang. Mahmoud Darwish (1941–2008) merupakan penyair terbesar Palestina. Darwish memakai Palestina sebagai metafor hilangnya Taman Firdaus, kelahiran dan kelahiran-kembali, dan derita kehilangan dan eksil. Dia digambarkan sebagai inkarnasi dan refleksi dari “tradisi penyair politik dalam Islam, manusia aksi yang memakai puisi sebagai aksinya”. Dia juga pernah jadi editor beberapa majalah sastra di Palestina.
Darwish menerbitkan kumpulan puisi pertamanya Daun-daun Zaitun pada 1964, waktu berusia 22 tahun. Sejak itu, dia telah menerbitkan tigapuluh buku puisi dan prosa yang telah diterjemahkan ke lebih daripada duapuluh dua bahasa. Buku-buku puisinya antara lain Beban Kupu-kupu (2006), Sayangnya, Sorga: Seleksi Puisi (2003), Pengepungan (2002), Adam dari Dua Firdaus (2001), Mural (2000), Tempat Tidur Orang Asing (1999) Kenapa Kau Biarkan Kuda Itu Sendiri? (1994), dan Musik Daging Manusia (1980).
Mahmoud Darwish juga penerima berbagai penghargaan internasional, antara lain Lannan Cultural Freedom Prize dari Lannan Foundation, Lenin Peace Prize, and the Knight of Arts and Belles Lettres Medal dari Prancis.
DI JERUSALEM
Di Jerusalem, dan maksudku di antara tembok-tembok tuanya,
aku berjalan dari zaman ke zaman tanpa ada kenangan
memanduku. Para nabi di sana memiliki
sejarah yang sama tentang yang suci . . . naik ke surga
dan kembali dengan lebih berani dan melankoli, karena cinta
dan damai adalah suci dan datang ke kota.
Aku berjalan menuruni lereng bukit dan berpikir: Bagaimanakah
para tukang cerita bisa saling tidak akur tentang apa yang dikatakan cahaya kepada batu?
Apakah dari sebuah batu bersinar suram yang dinyalakan perang?
Aku berjalan dalam tidur. Aku memandang dalam tidur. Tak
ada orang di belakangku. Tak ada orang di depanku.
Semua cahaya ini untukku. Aku jalan. Aku jadi ringan. Aku terbang
lalu menjadi orang lain. Berubah. Kata-kata
muncul seperti rumputan dari mulut
nabi Yesaya: “Kalau kau tidak percaya maka kau tidak akan selamat.”
Aku berjalan seolah aku ini orang lain. Dan lukaku
sebuah bunga mawar putih biblikal. Dan kedua tanganku seperti dua ekor merpati
di salib melayang-layang dan membawa bumi.
Aku tidak berjalan, aku terbang, aku jadi orang lain,
berubah. Tanpa tempat dan waktu. Jadi siapakah aku ini?
Aku bukanlah aku dalam peristiwa kenaikan ke surga. Tapi aku
berpikir: Sendiri, nabi Muhammad
bicara dalam bahasa Arab klasik. “Lalu apa?”
Lalu apa? Seorang serdadu perempuan berteriak:
Kau lagi? Bukankah aku telah membunuhmu?
Kataku: Kau membunuhku . . . dan seperti kau, aku lupa mati.
KARTU IDENTITAS
Catat!
Aku orang Arab
Dan nomor kartu identitasku limapuluh ribu
Aku punya delapan anak
Dan yang kesembilan akan lahir setelah musim panas
Apa kau akan marah?
Catat!
Aku orang Arab
Bekerja dengan sesamaku di sebuah tambang batu
Aku punya delapan anak
Aku beri mereka roti
Pakaian dan buku
dari batu…
Aku tidak mengemis bantuan dengan mengetuk pintu rumahmu
Atau merendahkan diriku di tangga kamarmu
Jadi apa kau akan marah?
Catat!
Aku orang Arab
Namaku tanpa gelar
Bersabar di negeri
Yang penuh orang-orang marah
Akarku
Tertanam di sini sebelum lahirnya waktu
Dan sebelum dimulainya zaman
Sebelum pohon-pohon pinus dan pohon-pohon zaitun
Dan sebelum rumput-rumput tumbuh.
Bapakku… keturunan keluarga pembajak tanah
Bukan dari kelas priyayi
Dan kakekku… seorang petani
Bukan orang kaya ataupun orang sekolahan!
Diajarkannya aku tentang harga diri matahari
Sebelum mengajariku membaca
Dan rumahku seperti gubuk penjaga malam
Terbuat dari ranting pohon dan tebu
Apa kau sudah puas dengan statusku sekarang?
Aku punya nama tanpa gelar!
Catat!
Aku orang Arab
Telah kau curi kebun-kebun buah nenek moyangku
Dan tanah yang kugarap
Bersama anak-anakku
Dan tak ada lagi sisa bagi kami
Kecuali batu-batu ini…
Apa Negara pun akan mengambilnya juga
Seperti kata orang?!
Jadi
Catat di bagian atas halaman pertama:
Aku tidak benci
Atau akan menyerang orang
Tapi kalau aku kelaparan
Daging penindasku akan jadi makananku
Hati-hatilah…
Hati-hatilah…
Dengan lapar
Dan marahku!
1964
UNTUK IBUKU
Sangat kurindukan roti ibuku,
Kopi ibuku,
Sentuhan belaian ibu.
Masa kanak bangkit dalam diriku,
Hari demi hari dalam diriku.
Dan sangat kuhargai hidup
Karena kalau aku mati
Air mata ibuku akan membuatku malu.
Tempatkan aku, kalau aku kembali suatu hari nanti,
Seperti selendang di bulu matamu, biarkan tanganmu
Menyebarkan rumput di atas tulang-tulangku,
Dibaptis oleh langkah kakimu yang tak bernoda
Seperti di tanah suci.
Kencangkan kami dengan seikat rambut,
Dengan benang yang dirangkai dari bagian belakang gaunmu.
Aku bisa tumbuh jadi ilahi
Menyerahkan jiwaku kepada keilahian
Andai saja kusentuh lubuk hatimu yang terdalam.
Tempatkan aku, kalau aku benar-benar kembali,
Dalam oven-mu sebagai minyak untuk membantumu memasak,
Di atap rumahmu sebagai tali jemuran yang memanjang dari tanganmu.
Lemah tanpa doa-doa harianmu,
Aku tak mampu lagi berdiri.
Aku sudah tua
Berikan kembali bintang-bintang masa kanakku
Biar bisa kugambar jalanku pulang
Kembali dengan burung-burung migran.
Kembali ke sarangmu yang menunggu.
1966