SUMIR tidur membelakangi istrinya. Sinar lampu teplok di berugak terlihat dari lubang dinding. Di dekat lampu itu, Puq Kurta terbaring. Seluruh tubuhnya penuh luka.

“Padahal sudah sering anjing itu lihat dia,” ucap Kirsip, istrinya.

Sumir diam.

“Kepala saya tambah sakit,” ucap Kirsip lagi.

Sumir masih diam. Kirsip menekan kain yang membebat kepalanya dan cepat berhenti ketika ia menyadari ada puluhan lalat yang masih hidup di balik lipatan kain itu. Dukun sakti yang mereka datangi mengatakan itulah obat yang dapat menyembuhkan penyakitnya.

“Kemarin dukun itu bilang lalat-lalat ini obatnya, kenapa semakin sakit,” keluh Kirsip. Nadanya meninggi seperti ketika ia tengah mengeluhkan harga barang-barang yang naik atau ketika ia tidak menemukan uang selembar pun di bawah tikar pandan lusuh tempat ia biasa menyimpan uang.

“Kamu tidur, jangan ngomong, berhenti sih sakit.” Sumir akhirnya bicara.

“Saya ndak bisa tidur!”

“Gimana bisa tidur kamu ngomong aja.”

“Sakit!”

“Makanya tidur!”

Kirsip diam. Ia memiringkan tubuhnya, membelakangi Sumir yang sekarang tidur telentang. Lampu teplok tergantung di dinding; di atas kepalanya. Kemereng yang sejak tadi terbang ke sana-kemari membenturkan diri ke dinding kemudian terbang lagi dan mendarat di tumpukan pakaian yang menggantung di tali, persisnya di atas celana Sumir yang telah berwarna cokelat karena getah. Ketika Puq Kurta merintih, kumbang itu terbang lagi dan membenturkan diri ke dinding dekat lampu. Karena terganggu Sumir menarik kain yang teronggok di dekatnya dan berusaha menampar binatang lancang itu. Tidak kena.

“Kok sakit sekali, ya? Aduh,” rintih Kirsip, seolah ia ingin menyaingi rintihan Puq Kurta.

“Makanya tidur, astaga!” Sumir jengkel. Ia jengkel karena kemereng dan rintihan istrinya.

“Kamu lupa kata-kata dukun itu?” bantah Kirsip keras, “Ini sakit kepala bikinan orang!”

Sumir berusaha menutupi kedua kakinya dengan kain apak yang telah begitu lama ia pakai tanpa pernah dicuci. Setelah berhasil, bayangan sang dukun yang ia datangi kemarin mengisi kepalanya.

“Ini karena orang yang sering datang menginap di rumah kalian,” kata dukun itu. Tidak butuh waktu lama bagi Sumir untuk mengetahui siapa yang dimaksud oleh sang dukun. Hanya satu orang yang sering menginap di rumahnya: Puq Kurta.

“Coba kita biarkan anjing itu tadi,” ujar Kirsip lagi.

“Bisa kamu tidur?!”

“Sakit! Kamu apa, ndak rasain apa-apa.”

“Terus kamu mau saya juga sakit? Biar ndak ada yang cari uang, begitu?”

“Coba kamu biarkan anjing itu gigit dia tadi, biar dia mati,” Kirsip kesal.

“Kamu mau dia mati di sini?”

“Anjing itu biasanya ndak galak.” Kirsip memelankan suaranya.

Sumir setuju dengan istrinya. Anjing mereka tidak pernah menggigit siapa pun.

Tadi, ketika Puq Kurta masuk jebak dengan terbungkuk-bungkuk, mengeluhkan kopi, cokelat, laos, dan apa pun yang telah hilang dari kebunnya, tiba-tiba saja anjing yang tengah meringkuk itu bangkit dan menerjangnya. Kancing kebaya lusuh Puq Kurta terlepas, memperlihatkan dua susu kisutnya. Anjing itu, seperti menemukan makanan setelah lapar berhari-hari, begitu ganas mencabik-cabik tubuh Puq Kurta. Kirsip yang tengah duduk di pintu, mengeluhkan sakit kepalanya, berteriak sekerasnya. Sumir yang tengah memperbaiki dinding rumah langsung mengambil sepotong kayu dan memukul anjing peliharaannya itu; tepat di kepalanya.

Anjing itu berlari keluar jebak sambil melolong kesakitan.

Sekarang Sumir memikirkan apa yang telah dilakukannya. Diam-diam ia membenarkan kata-kata istrinya; seharusnya ia membiarkan anjing itu menghabisi nyawa orang yang telah mengirim penyakit kepada mereka.

“Ya, biasanya dia ndak galak,” ucap Sumir pelan. Kata-kata itu diberati penyesalan. Satu pikiran muncul, membuatnya semakin merasa seharusnya ia tadi tidak menghentikan anjing itu. Nenek-moyangnya telah mencoba menyelamatkan mereka. Memberikan pelajaran kepada orang yang telah mengganggu mereka. Namun ia telah menghentikan usaha itu dan musuh mereka selamat. Sekarang musuh mereka tengah terbaring di berugak.

Facebook Comments