Tak ada hal yang paling menyenangkan selain apa yang sedang terjadi persis sebagaimana yang kita rencanakan. Itu yang terjadi pada opening ceremony Banjarbaru Rainy Day’s Literary Festival (BRDLF), tadi malam. Dan ini adalah tahun kedua penyelenggaraannya. Mungkin pembaca nggak tau kali ya, apa yang diperdebatkan rainmakers –panggilan untuk mereka yang pontang-panting menyiapkan acara ini- beberapa hari sebelum hari ‘ha!
“Kok gak pake tenda!”
“Ehhh…, kamu gimana sih, ini, kan festival musim hujan, ya hujan-hujanan lah!”
“Ehhh. Ngerjain gue nih!”
“Tenang. Gak akan ada hujan di sore hari! Nanti jelang petang, mendung datang. Nanti pas pembukaan atau pas walikota naik panggung, hujan kita turunin, disett dikit aja, sekitar 20% persen lah. Atau kurang lagi, 15% boleh deh!”
Gila gak tuh! Saya sebagai orang awam yang bukan siapa-siapa dan tidak sebagai apa-apa seperti terkesima melihat perbincangan kawan-kawan para rainmakers ini. Emang bisa, ya, diatur kayak gitu? Kita lihat nantilah, pikir saya.
Dan moment itu pun tiba.
Senja. Mendung tiba. Malam. Rintik datang. Hujan sedikit saja. Payung-payung dibagikan. Semua membukanya. Dan boom! Fotografer beraksi! Hasilnya? Lihat saja beranda media sosial anda.
Persisnya sih, gak hujan, tapi gerimis! Itu juga yang terjadi pada gelaran tahun pertamanya. Sebagai agenda tahunan yang tematik konsist pada bulannya hujan, BRDLF berhasil mengumpulkan tak hanya karya-karya para sastrawan dari berbagai daerah di Indonesia dalam satu buku antologi, tetapi juga mengumpulkan para manusianya di bawah langit yang gak beratap pada street stage kawasan Mingguraya.
Sebagai orang biasa, saya duduk di belakang sound engine, hanya untuk memastikan semua berjalan lancar. Sesekali cek hape nunggu notif orderan, sesekali lagi berdiri ngambil kopi, Soto Banjar, dan juga cemilan. Saya lihat semua aman, setidaknya tidak ada yang kelaparan kecuali mereka yang memang malu-malu dari awal buat ngambil makanan.
Setelah dibuka langsung oleh Walikota Banjarbaru H Nadzmi Adhani, ada pembacaan beberapa puisi dari beberapa penyair dan sastrawan. Kegiatan terus bergulir sampai forum antar forum di sudut-sudut meja tercipta. Ada yang kangen-peluk-cium teman lamanya. Ada saudara sepupuan dan sekandungannya. Ada teman jauh lamo ta’ jumpo. Ada pula yang baru kenal pengen langsung pacaran aja. Ya, setidaknya acara ini sukses mengumpulkan beberapa orang lintas generasi dan genre dalam satu kenangan.
Saya mepet-mepet ke beberapa kawan yang agak samar antar kenal saya atau tidak sama sekali. But, alangkah terkejutnya ketika mendapatkan cubitan di lengan kiri. Saya menoleh, ternyata ada bunda, Ratu Intan dari Kota Baru, ibu Helwatin Najwa dengan sorot mata bulatnya berkacamata. Mimiknya serius sekali. Seperti tidak bercanda. Saya cium tangan beliau sebagai penghormatan dan penghargaan seperti anak kepada ibunya. Beliau tepuk-tepuk belakang saya. Lalu tertawa sedikit saja. Dan kami saling bersapa dan tetap menyenangkan. Semoga ini bukan karena catatan terkait ASKS Kotabaru kemarin, ya, Bunda. Amin.
Kemudian pada puncaknya, Dialog Dini Hari sebagai band tamu dari Bali menjadi hiburan puncak di malam pertama, mesra berlirik sastrawi membalut rintik yang membuat pantat basah karena kursi yang lupa dipayungi. Satoshi seorang Art performer from Japan bersama anak istrinya pasca SBAF belum juga pulang ke Jepang karena visanya masih panjang di Indonesia, maju ke depan dengan beberapa orang teman untuk berjoget bersama. Tentu kegiatan menjadi ramai dan enjoy sampai last song!
Acara berakhir dengan rintik hujan yang masih konsisten. Para sastrawan bergeser ke perpustakaan untuk Midnight Discussion bersama Jamal T Suryanata dari Pelaihari. Dan diskusi ini ternyata cukup banyak dihadiri para peserta, gak nyangka, dikira udah pada lelah dan pada mau balik ke penginapan untuk istirahat. Sebab kabarnya, ketika tulisan ini tayang, mungkin anda-anda ini baru usai melakukan penanaman pohon di halaman Mess L yang terjadwal pukul 06.00. Mirip jadwal pesawat penerbangan pertama, kan, ya!
Sehari sebelumnya, di Warung Wadah Kawan, rainmakers sudah menggelar diskusi penyair era 80’an bersama Mickey Hidayat dari Banjarmasin. Kegiatan itu berhasil lagi mengumpulkan sejumlah tante dan om yang berjaya di era 80’an. Suasanya seperti reuni dan bernostalgia zaman masih muda. Tak hanya cerita cinta yang tercurah, tapi cerita sedih juga ada. Diskusi yang interaktif dan komunikatif berlanjut kepada tema Industri Film di Banua oleh Agus Makkie sang sutradara.
Finally, 2nd BRDLF masih akan berlangsung sampai 02 Desember 2018. Akan ada budaya mangawah di akhir sesi sebagai kearifan lokal masyarakat Banjar ketika mengadakan pesta makan-makan di kampung. Selamat menyelimuti hujan di Banjarbaru. Selamat menjamu sahabat dengan kata-kata, meski hening suara. Kalau anda kebetulan melihat saya berlalu-lalang, boleh kiranya menyapa. Siapa tahu saya lewat saja, dan lupa beretika. Terima kasih telah membaca.@
Oh iya, satu lagi. Photoboothnya luar biasa!