RAPAT Koordinasi Wilayah (Rakorwil) Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI Kalimantan Selatan membahas program kerja dan pembagian peran wilayah bersama Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Kalimantan Selatan di Ruang Platinum Lantai 2 Hotel Rodhita, Kota Banjarmasin, pada Senin (22/1/2024) siang.
Pembahasan ini berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan penyakit Tuberkulosis (TBC) dan menghadirkan narasumber yaitu Dr. Anhar Ihwan SKM. MS selaku Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan (Kabid P2P Dinkes) Provinsi Kalimantan Selatan bersama rekan kerjanya.
Anhar Ihwan menyampaikan kegiatan rakorwil ini bagian dari pemetaan masalah terkait perkembangan isu TBC.
Pada kesempatan itu, hadir 7 orang anggota Komunitas Penabulu-STPI Kalimantan Selatan yang bertugas sebagai relawan/penyuluh TBC dari Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tanah Bumbu.
Pada sesi berikutnya, yakni pembagian tugasnya terdiri sebagaSub Recipient (SR) ditingkat provinsi berjumlah 3 orang. Rudy Fahrianor mengaku dirinya ditunjuk sebagai Manager SR Komunitas Konsorsium Penabulu-STPI Provinsi Kalsel dan selanjutnya, ada Koordinator Program dan Koordinator Keuangan.

Rudy Fahrianor selaku Manager SR Komunitas Konsorsium Penabulu-STPI Provinsi Kalsel mengatakan bahwa masing-masing wilayah kerja terdapat 2 orang, yakni Staf Program dan Staf Keuangan. Mereka bekerja tidak sekadar mengurus administrasi dan penyediaan logistik saja, tetapi bertugas dalam penyuluhan TBC di wilayahnya sendiri.
“Sejak tahun 2021-2024 ini, kita hanya fokus pada 2 Kabupaten saja. Tahun depan, ada penambahan wilayah intervensi yaitu Banjarmasin dan Banjarbaru,” ucap Rudy Fahrianor kepada Asyikasyik, saat sebelum kegiatan berlangsung.
Rudy menjelaskan kondisi wilayah Kota Banjarmasin lebih rentan dari pada Kota Banjarbaru. Lantaran, dia menyebut kondisi penduduk yang padat, rumah-rumah yang sempit hingga menimbulkan gejala TBC tersebut.
“Baik itu kerapatan penduduknya, pola hidup dan lingkungan tersebut. Rentan sekali adanya penularan itu,” ungkap dia.
Ia juga menyoroti Banjarbaru dapat memungkinkan gejala TBC meningkat di sana. Sebab, menurutnya penduduk di Kota Idaman mulai meningkat saban tahunnya. Rudy menargetkan tahun 2025 sudah menjadikan 2 kota itu sebagai wilayah intervensi kerja Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI Kalsel.
“Pada umumnya gejala TBC itu, paling dasar ya batuk. Paling parah bisa mengeluarkan darah, karena ada infeksi di tenggorokan. Kalau sampai mengalami kondisi itu maka sudah cukup parah, harus ada pengobatan lebih lanjut,” jelas Rudy.
Rudy menghimbau kepada warga agar berhati-hati dalam berinteraksi dengan seseorang yang mengalami gejala TBC. Karena menurutnya penularannya sangat cepat.
“Kalau sudah bersentuhan dengan pasien TBC. Penularannya bisa mengakibatkan kondisi yang sedang atau bisa lebih parah dalam kategorinya itu,” ucap Rudy, khawatir.

Rudy mengategorikan gejala TBC untuk proses pengobatan terbagi menjadi 2, yaitu; Tuberkulosis Sensitive Obat (TB-SO) dan Resisten Obat (TB-RO)
Diketahui bahwa pengobatan TB-SO (6 bulan) dan TB-RO (9-24 bulan). Tingkatan Sensitive Obat (SO), Rudy menerangkan hanya mengalami gejala ringan, termasuk efek sampingnya tidak seberat dari kategori RO.
“Kalau putus pengobatan ditingkat SO, maka harus ditingkatkan ke RO. Efek sampingnya berat, bisa tuli, halusinasi dan sebagainya.”
Rudy membeberkan, jumlah pasien yang mengalami kategori RO di Kalimantan Selatan, sejauh temuan dan penyuluhannya sebanyak 8 orang, terdiri 5 pasien Kabupaten Banjar dan 3 pasien Kabupaten Tanah Bumbu.
Di akhir, Rudy menekankan kepada pemerintah di tingkat Kabupaten/Kota agar bersepakat untuk mewujudkan program eliminasi TBC yang ditargetkan terbebas di tahun 2030. Yang mana hal itu sudah masuk dalam Undang-Undang Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 Tahun 2021 tentang eliminasi penyakit TBC.
“Khususnya di Kalimantan Selatan, jangan sampai kalah dengan program stunting dan HIV. Sejauh ini kebijakannya belum prioritas, padahal tak kalah pentingnya kasus ini,” pesan dia.