TIGA detik saja memandang sepasang mata itu, seketika kamu akan bergumam: kosong! Dan apabila kamu menatapnya sedikit lebih lama, akan tampak lorong yang gelap; sepekat malam paling jahanam. Di sana segala bunyi raib begitu saja. Bahkan, embusan napas dan degup jantungmu pun tidak akan mungkin terdengar.
Senyap! Dan tanpa kamu sadari ada yang diam-diam melata, mengikuti, menunggu waktu yang tepat untuk menyergap. Ketika kamu berhasil disergapnya, pertolongan akan terasa bak mukjizat. Mula-mula ia membelit kedua kakimu, kemudian naik ke paha, ke perut, ke dada, akhirnya ke leher. Ia akan membelitmu begitu ketat. Saat itu kamu akan merasakan dingin yang teramat menikam. Seluruh tulang belulangmu terasa hancur; menyakitkan—bahkan lebih menyakitkan dari yang dirasakan ibumu ketika melahirkanmu. Lalu, sedikit nyali yang masih tersisa di dirimu pun tanggal. Saat itu terjadi, kamu akan memilih agar lekas mati.
Ya, mati! Seakan-akan kematian adalah satu-satunya hal yang dapat membebaskanmu. Tapi tidak! Ia tidak akan membiarkanmu cepat mati. Ia akan mempermainkanmu—mempermainkan serta menikmati rasa sakitmu. Meskipun kamu merengek-rengek ia tidak akan peduli. Dan sepasang mata itu milik Riuh, gadis berpipi gembil serta berbibir selezat apel.
***
Ruangan dua belas meter persegi itu mirip kamar interogasi di film-film Hollywood. Lantainya adalah papan catur raksasa sebab dilapisi marmer hitam putih. Tiga sisi dindingnya—kanan, kiri, dan belakang—berwarna kelabu dan terlihat semurung wajah-wajah di kamp pengungsian, sedangkan dinding di depan sana sedikit lebih cerah dengan sebuah pintu setinggi kira-kira seratus sembilan puluh sentimeter, dan sebuah cermin satu arah. Bohlam yang tergantung di langit-langit memuntahkan cahaya kekuningan, dan sama murungnya.
Riuh bergeming, dia telah begitu lama melekat di kursi coketat tua itu seperti sebuah manekin yang didudukkan begitu saja. Bahkan, ketika pintu di depan sana terbuka dan deritan engel-engselnya mencacah telinga pun dia tetap begitu. Namun, dia mengerjap, tiga kali.
“Apa maumu?”
Riuh membuka percakapan, dan pria yang baru saja tiba itu membalasnya dengan senyuman lantas memberi isyarat agar Riuh melepas earphone.
“Ikutlah denganku.”
“Aku senang di sini!”
“Kamu tidak akan mampu menolakku, Nona.”
***
Begitu pintu dibuka, tampaklah sebuah jembatan kayu dengan pagar setinggi pinggang di kedua sisi. Jembatan selebar satu meter dan dicat warna-warni itu membelah hutan bakau. Bila kamu melihatnya dari ketinggian, jembatan itu seperti seekor ular belang yang sedang melata; berkelak-kelok. Laut mulai pasang, segerombol bayi ikan terlihat berenang lincah di sela-sela akar bakau. Segalanya tampak hidup, semringah, seolah-olah kematian dan kesepian tidak pernah diturunkan ke situ.
Kepala Riuh dipatuki sekawanan tanda tanya. Apa maunya pria sialan ini, katanya lirih, seakan-akan dia bertanya pada dadanya sendiri.
“Kamu akan tahu bila saatnya tiba, Nona.”
“Kamu cenayang?”
“Aku lebih hebat dari itu, dan Nona tidak perlu memaki dalam hati.”
Nyaris dua ratus lima puluh langkah jauhnya mereka saling mendiamkan sampai tiba-tiba pria itu berkata, “Lihatlah camar di sana, Nona. Perhatikan dengan saksama.” Telunjuknya yang berkuku runcing menuding sebuah bangkai speed boat.
Speed boat yang setengah karam itu sekira delapan atau sepuluh meter dari tempat Riuh berdiri. Di sana ada seekor camar yang tengah nangkring dan tampak sangat renta. Paruhnya pucat, bulu-bulunya pucat, matanya kosong menatap ke rimbunan bakau. Ia seperti tengah menanti kematian tiba dan mematuknya.
“Camar yang bodoh,” celetuk Riuh.
Si pria tersenyum, bukan senyuman yang kentara, hanya sekilas dan samar saja. Kemudian ia pun kembali melangkah, Riuh membuntutinya seperti seekor chihuahua mengekor tuannya. Angin bertiup kencang membuat rambut Riuh berkibar, di kejauhan terdengar suara ombak menghantam talud, dan di langit sekawanan camar terbang, berkejar-kejaran, dan laut telah sepenuhnya pasang.
Jembatan warna-warnai itu berakhir di sebuah dermaga kecil. Ada sebuah perahu bercadik tertambat dan si pria sudah duduk di buritan memegang sebatang dayung. Katanya, “Naiklah, Nona. Jangan takut! Dan jangan lupa lepaskan talinya.”
Riuh menurut tetapi dengan sedikit menggerutu. Bahkan, ketika perahu itu telah memasuki sebuah terusan pun dia masih begitu. Terusan itu diapit oleh pemukiman nelayan. Rumah-rumah beratapkan daun sagu berjejer rapi. Di tiap-tiap halaman rumah ada para-para, dan di para-para itu diletakkan nyiru, dan di nyiru-nyiru itu menggeletak ratusan udang kering.
Perempuan-perempuan dengan wajah, lengan, dan kaki berlumur bedak dingin terlihat asyik mencari kutu dan bertukar gosip terkini. Beberapa lelaki berkulit sehitam jelaga tampak sedang mengecat perahu, dan seorang pemuda terlihat tengah belajar menjahit jaring, dan sekumpulan bocah sedang asyik mengadu layang-layang.
“Lihat! Mereka berbaur dan mereka hidup.”
Riuh seketika mendengkus, bibirnya mencibir; tingkah khas ABG saat menyatakan ketidaksetujuan.
“Hanya mengatakan kebenaran, Nona.”
Perahu berbelok ke kiri, terusan kian sempit dan dangkal. Tiga menit kemudian mereka sampai di ujung terusan, di sana ada bangunan kayu, semacam kotak raksasa dan memiliki sebuah pintu—pintu yang Riuh sangat kenal.
***
Derit engsel terdengar menyayat, serupa rintihan seekor ajak di tengah malam paling keparat. Si pria berkata, “Silakan masuk, Nona.”