LEBIH dari sepuluh menit, Sarbani duduk di atas sajadah. Kepalanya tertunduk, khusyuk berdoa. Pikiran dan hatinya gaduh. Ia pandangi jemarinya yang kusut. Darah seolah lenyap dari urat-uratnya. Di antara kelokan urat di tangannya itu, muncul wajah Darmini, istrinya.
“Kamu minta apalagi sama Tuhan?” Ratman terkekeh. Ia adalah kawan Sarbani di dalam sel.
“Kita akan bebas, seharusnya kamu senang.” katanya lagi.
Sarbani dan Ratman bebas besok pagi. Bukan karena jatah hukumannya berakhir, melainkan karena wabah korona yang menimpa seluruh negeri. Orang-orang seperti dirinya akan bebas untuk sementara.
Dua tahun yang lalu, ia bersama beberapa orang ikut menyalurkan bantuan nasi bungkus kepada korban banjir. Ia habis memanjat pintu gerbang, waktu itu. Setelah mencapai balkon, ia taruh bungkusan nasi di atas meja, namun matanya berkilat ketika melihat pintu terbuka. Hatinya menimbang sesuatu yang melintas di kepalanya. Ia hampir berbalik menuruni pagar karena suara teman-temannya memanggil di bawah sana.
Ada perasaan ganjil yang merambat di hati Sarbani. Kepalanya sedikit berdenyut teringat Darmini pagi tadi. Sebagai buruh serabutan, ia memang tak bisa memberi banyak uang pada istrinya.
“Paling lambat besok, Kang.” suara Darmini terdengar berat.
Sarbani paham, ia harus membayar buku dan seragam sekolah anaknya. Maka sepanjang ia mengayuh sepeda ke pasar, ia tak henti berpikir, bagaimana mendapatkan uang lima ratus ribu hari itu juga. Ia tak mungkin mengutang kepada Pak Bagiyo, pemilik warung sembako yang sering menyewa jasa kulinya. Ia malu sebab utangnya sudah menumpuk. Tetapi ia lebih malu jika tahu bahwa anaknya menahan malu di sekolah lantaran bapaknya tak sanggup membayar buku dan seragam. Jika terjadi begitu, rasa-rasanya, kelelakiannya terampas begitu saja.
Dada Sarbani turun naik ketika sampai di kios Pak Bagiyo. Bibirnya bergerak-gerak, namun tak bersuara saat melihat Pak Bagiyo muncul dari balik tumpukan karung beras. Suara di dalam kepala dan hatinya saling menentang. Dadanya semakin sesak saat Pak Bagiyo mengatakan tak ada beras yang akan diangkut. Itu artinya, tak ada pekerjaan untuknya. Namun, Pak Bagiyo menyuruhnya untuk menyalurkan bantuan nasi dengan upah lumayan. Uang lima ratus ribu itu sementara surut dari pikirannya.
Saat itulah, ketika ia melihat sebuah lemari dari balkon, ia teringat kembali ucapan Darmini. Wajah anaknya pun terbayang memelas. Dengan perasaan ganjil, Sarbani mendekati lemari. Ada sebagian dirinya terenggut dan terinjak-injak di sana. Tapi sebagian lain mendorong tangannya untuk mengambil beberapa kalung dan cincin yang teronggok. Nahasnya, sebelum ia bisa mencapai pintu, seseorang dari dalam rumah itu berteriak.
“Maling, maling!” pekik seseorang itu.
Sarbani tergagap. Ia hampir menabrak meja tempat ia menaruh bungkusan nasi. Ia ingin cepat melompat, namun terlalu sulit, sebab harus melewati pagar besi. Saat itulah, di antara air yang keruh dan dadanya yang gemuruh, ada tangan yang menarik tubuhnya.
***
Besok, Sarbani pulang. Darmini hampir tak bisa tidur sepanjang malam. Perih dan bahagia mengaliri perasaannya. Ia senang karena suaminya akan pulang. Ia sedih sebab selama ditinggal, ia sering mendengar anaknya diolok-olok sebagai anak maling. Anaknya kerap pulang bermain dengan mata sembab. Dan ia yakin, besok, ketika Sarbani sampai rumah, orang-orang akan memandangnya dengan tajam, atau tak menganggap keluarganya ada sama sekali.
Sarbani disambut anaknya dengan mata nanar. Meski begitu, Sarbani bersikap secair dan seringan mungkin hanya demi tak mau anak dan istrinya merasa canggung.
“Maafkan saya, Dar. Saya sudah menyusahkanmu.” ucap Sarbani sungguh-sungguh.
Darmini mengangguk sekali, namun tak ada kata keluar dari bibirnya. Seakan-akan, kepulangan Sarbani adalah hujan yang telah menghapus kekeringan hari-harinya. Sungguh tak perlu baginya untuk marah atau menuntut. Kemarahan, kecewa, malu, dan benci sudah dikuburnya dalam-dalam, jauh sebelum Sarbani pulang.
“Kang Sar yang harus memaafkan saya. Utang saya banyak selama Kang Sar di sana,”
Mereka diam beberapa saat. Lantas, Sarbani tersenyum. Dalam hati, ia berjanji akan bekerja keras untuk melunasinya. Berapa pun itu.
“Saya tak tahu lagi mau bagaimana, Kang. Apalagi kalau menyangkut sekolah,”