PEMBICARAAN ilmiah mengenai asal-usul kata ‘kopi’ baru dimulai pada Symposium on The Etymology of The Word Coffee di tahun 1990. Para ahli sejarah yang berpendapat kata “kopi” diadaptasi dari bahasa Arab, qahwa , dibantah oleh sebagian lainnya. Mereka yang menolak, mengatakan, kata “kopi” tidak diambil dari istilah Arab, qahwa , melainkan dari kata kaffa , — nama sebuah kota di daerah Shoa, di Selatan Barat Daya Abyssinia. Akan tetapi bantahan ini tidak dapat diterima karena ternyata di kota itu, kopi dikenal dengan nama lain yaitu bun.

Catatan-catatan Arab juga menyebut bun untuk biji kopi. Hal ini dikuatkan dengan dua risalah medis yang diyakini sebagai sumber tertua yang menyinggung tentang kopi; risalah yang ditulis oleh Al-Imam Fakhruddin Al-Razi (850-922) di abad ke-9, dan Ibnu Sina (980-1037 ) di abad ke-11. Dalam risalah tersebut Al-Razi memasukkan kata bun dengan bunchum sebagai zat yang diyakini menyembuhkan berbagai penyakit. Adapun Ibnu Sina, dalam Qanūn al-Tibb-nya menyebut bunchum sebagai senyawa aktif yang dapat menambah stamina, membersihkan kulit, dan menimbulkan bau enak bagi tubuh.

Dalam kehidupan masyarakat Arab, istilah qahwa — yang mengandung makna quwwa (kuat) — hanya diperuntukkan kepada kopi sebagai minuman, bukan kepada yang lain. Kopi awalnya dikonsumsi dengan memakan buah kopi yang telah dilapisi lemak binatang. Bangsa Arablah yang pertama kali menemukan cara pembuatan kopi dengan dipanggang, dihaluskan, lalu diseduh menjadi minuman seperti kita kenal sekarang.

Menurut sejarawan William H Uker dalam magnum opus-nya, All About Coffee (1922), kata ‘kopi’ mulai masuk ke dalam bahasa-bahasa Eropa sekitar tahun 1600-an. Kata tersebut diadaptasi dari bahasa Arab, qahwa , melalui lisan Turki, kahveh . Dari istilah Arab ini lantas lahir kata koffie dalam bahasa Belanda, café dalam bahasa Perancis, caffè dalam bahasa Italia, coffee dalam bahasa Inggris, kia-fey dalam bahasa Cina, kehi dalam bahasa Jepang, dan kawa dalam bahasa melayu.

Khusus untuk kasus Indonesia, besar kemungkinan kata ‘kopi’ diadaptasi dari istilah Arab melalui bahasa Belanda koffie, dengan alasan, Belanda yang pertama kali membuka perkebunan kopi di Indonesia.

Kemungkinan lain, kata ‘kopi’ bisa jadi diadaptasi langsung dari bahasa Arab atau Turki, mengingat di masa lalu banyak kalangan di Nusantara yang memiliki hubungan dengan bangsa Arab dan Turki, bahkan jauh sebelum kedatangaan orang-orang Eropa. Walhasil , hampir semua istilah untuk kopi di berbagai bahasa memiliki kesamaan bunyi dengan istilah Arab.

Penemu Biji Kopi dan Pembuat Minuman Kopi

Budaya minum kopi telah menyebar ke seluruh dunia. Akan tetapi kaum sufi sebagai pemilik awal tradisi ini, jarang sekali kita dengar penuturannya. Kalau pun ada, riwayat yang sampai kepada kita hanyalah riwayat dari ‘pena kedua’—hasil dari analisa dan tafsiran yang seringkali sarat dengan muatan kepentingan. Karenanya, menghadirkan riwayat kopi berdasarkan risalah-risalah yang mereka tulis adalah keniscayaan bagi siapapun yang menginginkan gambaran tentang bagaimana kopi diperlakukan dalam kehidupan mereka.

Adalah Sayyid Abdul Rahman bin Muhammad Al-Aydrus (1070 – 1113 H), dalam kitabnyanya Linash us-Shafwah bi Anfas il-Qahwah , menulis; “Biji kopi baru ditemukan pada akhir abad ke-8 di Yaman oleh Al-Imam Abu Hasan Ali Asy-Syadzili bin Umar bin Ibrahim bin Abi Hudaimah Muhammad bin Abdullan bin Al-Faqih Muhammad Disa’in, yang nasabnya bersambung hingga kepada sahabat bernama Khalid bin Asad bin Abil Ish bin Umayyah Al-Akbar bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay”.

Yaman, sebagai tempat ditemukannya biji kopi seperti yang dikatakan Sayyid Abdul Rahman bin Muhammad Al-Aydrus di atas, juga disebut Ibnu Sina dalam risalah Al-Qanūn fī al-Tibb ketika menjelaskan dampak positif kopi bagi tubuh; “… bahan yang berasal dari Yaman, yang dihasilkan dari akar Aegiptia Thorn yang jatuh karena proses pematangan. Jenis yang lebih baik berwarna kuning. Ringan dan berbau sedap. Sedang yang putih dan berat, adalah yang buruk. Ia menyegarkan tubuh, membersihkan kulit, dan memberikan aroma wangi bagi tubuh”.

Jika Al-Imam Abu Hasan Ali bin Umar Asy-Syadzili adalah penemu biji kopi, maka orang yang pertama kali mengolah kopi dengan cara dipanggang, dihaluskan, lalu direbus atau diseduh sebagai minuman, adalah Al-Imam Abu Bakar bin Abdullah Al-Aydrus (851 – 914 H). Hal ini dicatat oleh sufi sejarawan Al-Allamah Najmuddin Al-Ghazzi dalam karangannya, Al-Kawakib As-Sairah fi A’yan Al-Miah Al-A’syirah . Al-Imam Abu Bakar bin Abdullah Al-Aydrus bahkan menulis syair sebagai kecintaannya kepada kopi:

“Wahai orang-orang yang asyik dalam cinta sejati dengan-Nya,
kopi membantuku mengusir kantuk.
Dengan pertolongan Allah, kopi menggiatkanku taat beribadah kepada-Nya
di kala orang-orang sedang terlelap tidur”

Dari Yaman, melalui para pelancong, peziarah, pedagang, dan tentu aja kaum sufi beserta ajaran Islam, keharuman kopi merebak ke berbagai wilayah di kawasan sekitar menuju benua biru Eropa, Amerika, ke negeri kita Indonesia, dan akhirnya mendunia.@