Pada Hari Kepergianmu, di Bawah Sebatang Pohon Rambutan
–-Kepada Wanyi Mandarung
Di bawah sebatang pohon rambutan,
bersama iringan doa para pelayat
aku berdiri menatapmu.
Seketika semua tentangmu telah menjadi kenangan.
Bersahut-sahutan riuh di kepala.
Malam itu, kaurebah dalam sunyi setelah sekian jalan ditempuh.
Layar sudah diturunkan.
Lakon telah usai dimainkan.
Tiba masanya cerita menjadi sejarah.
Engkau pergi dihantar seluruh kawan.
Sebagaimana lazimnya orang baik berpulang.
Semua merasa engkau terlalu cepat dijemput.
Di bawah pohon rambutan,
kini sudah tidak ada lagi yang bisa aku ceritakan padamu.
Pun menagih janji kemarin.
Ayat-ayat Tuhan satu-satu dilantunkan.
Setampah kembang dan air suci ditaburkan.
Langit biru bercampur kelabu.
Hujan luruh semalam, pagi hingga senja,
bersama air mataku yang tak henti-henti.
Kandangan, 21 Maret 2024
Sepanjang Jalan Pulang
–-Kepada Wanyi Mandarung
Pagi masih ranum ketika aku tiba di kotamu.
Kulihat teras dan halamanmu telah ramai
para sahabat dan handai taulan berwajah sendu
Maafkan aku sedikit terlambat
sebab terlalu repot mengemas kepahitan.
Sepetak rumah asri dan nyaman.
Sederhana seperti dirimu.
Aku masih mencari,
berharap menemukan manik matamu
yang menyimpan harta karun kebudayaan.
Isak tangis kekasih hatimu
menyadarkanku: kau sudah tiada.
Petang berpulang seperti dirimu.
Sebentar lagi sore bertukar malam.
Aku pamit, baik-baik kau di sini.
Hamparan kembang kuning sepanjang jalan pulang
mengucap salam perpisahan
bersama senja dan dedaunan yang masih basah,
persis seperti pipiku.
Kandangan, 21 Maret 2024
Dalam Secangkir Kopi
–Kepada Wanyi Mandarung
duduk melingkar
kau dengan secangkir kopi
aku dan lainnya
berkhidmat di perjamuan kebudayaan negeri ini
kepada siapa dititipkan
amanah para leluhur
perihal di mana bumi dipijak
dan langit mana yang dijunjung
tidakkah kitab-kitab berdebu
sedang manusia harus meniti takdirnya
dari satu zaman ke zaman lainnya
kopi sudah habis
kita belum rampung.
Sejarah masih menjalankan tradisinya
impian yang jadi pelita kampung kita
akankah redup sepeninggalmu.
Banjarmasin, Ramadan 2024.
Takbir Ketiga di Masjid Agung
–-Kepada Wanyi Mandarung
sebagai dandelion, aku
berdiri kontras di antara kemegahan jiwa dan jejakmu
ke sana kemari dibawa angin
sampai takdir menjatuhkanku di tanah pilihannya
seperti padi yang selalu merunduk
seperti itulah engkau dikenali
engkau wanyi, setia sedia memberi kebaikan
demikian kisah yang kudengar
pada hari kepulanganmu
jangan begini, sebaiknya begitu; jangan begitu, sebaiknya begini
segenap tradisi mengalir deras
tumpah ruah papadah berkelindan dalam memori
lalu tiba-tiba kau tak lagi mandarung
hening meraung ruang cita kita
sepi menyusup ke dalam jejaring cerita
hingga tiba takbir ketiga di masjid Agung
langit-langit penuh doa untukmu.
sebagai dandelion, aku
kembali diterbangkan angin
seusai itu.
Kandangan, 21 Maret 2024