Siang itu cuaca cerah. Beberapa orang sedang asyik “mengawah”. Sebuah tradisi masyarakat Banjar ketika sedang berpesta untuk suatu peringatan atau perayaan. Sayang sekali, kawah yang saya temui siang itu masih dalam ukuran yang kecil dari biasa yang saya dapati pada perayaan kai nini bahari. Tapi ukuran kecil tidak menyurutkan rasa silaturahmi yang justru begitu besar. Dari orang-orang lokal Banjar, hingga para tamu yang siap menyantap masakan itu.

Sha Ine Febriyanti sesekali mencoba untuk mengaduk gangan asam yang sedang dimasak. Setelahnya makan siang bersama dan membaur ke semua orang yang berhadir. Entah kebetulan atau memang udah niat, saya bersama Bang Agus Makkie mendatangi persis menjelang makan siang bersama. Rejeki anak soleh saya kira.

“Beberapa kali ke Banua ini, apa yang Mbak Ine dapati?”

Kata saya bertanya sebagai pembuka. Jauh sebelum gelaran musim hujan tahun ini, Ine sudah beberapa kali ke Banjar. Bahkan sampai ke daerah Hulu Sungai. Sebagai aktor, artis, penulis, sutradara, dan beberapa bidang seni peran yang digelutinya, berkunjung ke daerah-daerah menjadi pembelajaran yang berharga. Dia bilang, dibandingkan acara serupa lain yang pernah ia dapati, suasana begitu akrab, penuh keramahan dan keakraban saling membaur.

Kami mengobrol lewat udara. Seperti yang biasa saya lakukan. Random sekali, bukan agenda wawancara khas wartawan yang sudah punya catatan. Sembari menikmati ikan asin telang, sambal terasi dengan nila dan patin bakar, obrolan nikmat terasa. Dan begitu berselera.

“Sepanjang karier di seni peran, baik itu film atau teater, sesuatu apa yang membuat anda bisa bertahan selama ini. Bahkan sempat vakum 7 tahun, dan tiba-tiba muncul lagi ke publik dengan karya yang menyedot perhatian ketika itu?” celoteh saya.

Ine menunjukan tangannya ke mulut tanda untuk saya menunggu dia menyelesaikan kunyahannya sembari mengupas kembali buah jeruk manis yang masih di tangan. Katanya, jika boleh mendeskripsikan, teaterlah yang membawanya hingga sekarang seperti memunyai spirit untuk terus bergelut dalam seni peran.

“Pada teater saya belajar banyak tak hanya seni pemeranan, tetapi juga bagaimana membentuk karakter dan berkehidupan. Proses panjang sejak latihan bahkan sampai di atas panggung ketika kita berhadapan dan berainteraksi langsung dengan penonton. Tanpa cut!”

Menurutnya, banyak sekali ilmu yang didapatkan dari teater. Mulai dari sosiologi, psikologi, bahkan antropologi. Dan disinggung sual kepuasan, jauh lebih memuaskan ketika bermain panggung ketimbang film.

Tapi jangan salah kira, Ine justru mendapatkan penghargaan sebagai Pemeran Utama Wanita Terpuji Festival Film Bandung 2016 lewat film Nay (2015) sutradara Djenar Maesa Ayu. Ditambah lagi, jajaran nominator Nominasi Pemeran Utama Wanita Terbaik Usmar Ismail Award 2016, Nominasi Pemeran Utama Wanita Terbaik Festival Film Indonesia 2016.

“Teater bisa memberikan kontemplasi terhadap yang menonton. Selama itu menantang buat aku dan memberikan kesan artistik yang baik, makan menjadi misi yang baik,” katanya.

Ine dengan tegas menyatakan hanya akan menerima tawaran film dengan naskah yang betul-betul menantang baginya. Tidak asal-asalan. Meski baginya, banyak sekali yang harus diperbaiki dan teater menjadi lingkungan pembelajaran yang baik untuk semua bidang termaksud.

Waktu yang sikat membawa kami mengobrol lagi dengan Redaktur Budaya Kompas Putu Fajar Arcana –yang tentangnya akan saya beberkan di catatan lain- dan Agus Makkie sutradara kelahiran Banua ini. Mungkin akan banyak sekali yang terjadi ke depannya. Obrolan hangat seusai makan siang itu berakhir dengan wacana-wacana yang masih berputar-putar dalam kepala.

Saya bilang, mungkin obrolan singkat dengannya akan saya tulis sedikit saja. Saya janjikan catatannya akan ringan sekali dan tidak seperti hasil interview. “Ok. Tapi tolong pada bagian bisnis dan financial tadi off the record, ya Nda!”

Ashhiiyyaap!

Kami berempat bersalaman saling beradadahan dan mungkin akan bertemu lagi entah di Jakarta, di tanah ini, atau daerah lain. Mungkin dalam event yang mirip, atau bisa jadi dalam project yang kelak akan terjadi. Sembari saya menyalakan mobil menuju Bandara bersama Agus Makkie. Menjemput rekan dari Jakarta menuju Tanjung, Kabupaten Tabalong, terkait urusan Kembali Ke Alam.