Kul au’dzubirobbinnas. Tahan hujan, tahan panas.
Kul huwollohu ahad. Allahu, lebat.
Tepat di tengah kebun miliknya, dia tinggal. Di sebuah gubuk berdinding anyaman bambu, sisa hidup rentanya dihabiskan. Gubuk itu dikelilingi pepohonan beraneka ragam. Ketika musim berbuah tiba, pepohonan miliknya berbuah lebat, bahkan ketika pepohonan milik warga gagal berbuah.
Setiap habis subuh, berpacu dengan matahari terbit, dia mulai meladang, merawat kebun yang sudah dipeliharanya seperti anak sendiri. Berbekal secangkir kopi yang diseduhnya dalam cangkir besar terbuat dari seng, juga beberapa cemilan dari singkong, ubi jalar, pisang, ataupun dari buah yang sedang bermusim, dia melakukan rutinitas itu dengan khidmat.
Kul au’dzubirobbinnas. Tahan hujan, tahan panas.
Kalimat itu seakan menjadi azimat yang diucapkannya sebelum bertarung dengan cuaca. Tubuh liatnya seakan tidak kenal lelah meski terik matahari memanggang bumi. Peluh yang mengucur malah menambah subur aktivitasnya seharian. Hujan pun tak dihiraukannya. Dirinya malah semakin bersemangat, meski sebatas memastikan aliran air lancar atau hanya membersihkan ranting-ranting dedaunan yang berguguran.
Kul huwollohu ahad. Allahu, lebat.
Setiap akan menanam benih, diucapkannya kata-kata itu. Kuat keyakinannya bahwa Allah akan menumbuhkan bibit tersebut hingga berbuah lebat. Pohon pisang, pohon jambu, pohon nangka, pohon kelapa, pohon rambutan, pohon durian serta pelbagai pohon lainnya berbuah tanpa peduli iklim.
Hasil buah-buah dan perkebunan itu kemudian dijualnya dengan harga murah di kebunnya sendiri. Beberapa orang datang membeli untuk dijual kembali, beberapa orang yang lain datang untuk menikmati langsung. Anak-anak di desa itu juga senang ke sana. Mereka diperbolehkan mencicipi buah yang ada di sana sesukanya. Kebun yang dibelah oleh sungai kecil itu pun menjadi tempat favorit bagi mereka bermain, terlebih di sore hari.
***
“Sampean hati-hati, ajarannya sesat,” ujar seorang warga yang kutemui saat berada di kedai kopi tak jauh dari kebun itu.
“Iya, sampean harus hati-hati, masa’ ayat Qur’an diubah-ubah,” timpal ibu pemilik kedai itu.
“Tapi, katanya kebun beliau sangat terkenal di sini?” pancingku.
“Itu mungkin istidraj, ujian bagi warga di sini, apakah terpengaruh atau tidak,” jawab warga yang lain.
“Kebunnya memang luas, kalau berbuah sangat melimpah. Meskipun sering dikasih, kadang kami tetap was-was, takut kenapa-kenapa.”
“Memangnya ada kejadian apa sebelumnya?” tanyaku lagi.
“Tidak ada sih, tapi kami kadang tetap was-was.”
“Keluarga beliau ada?”
“Istrinya sudah lama meninggal. Anaknya satu, kira-kira seumuran sampean, sedang mondok di luar daerah.”
“Setiap sore anak-anak banyak yang bermain di sana?”
“Anak-anak itu sudah sering diperingatkan. Tapi karena mereka diizinkan memakan buah sepuasnya, akhirnya tetap saja ada yang masih bermain di sana,” gerutu pemilik kedai.
“Kehadiran sampean dan teman-teman untuk KKN di desa ini kami harap bisa membantu menyadarkan beliau,” harap seorang warga yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan.
“Sesesat apa sih beliau?”
“Lelaki tua itu ahli bid’ah. Amalan-amalannya banyak yang aneh-aneh. Meskipun tidak memiliki jamaah, tapi tetap saja meresahkan,” ungkap seorang warga.
“Anak-anak kadang ikut-ikutan membaca amalan-amalannya.”
***
Bismillahi tawakkaltu ‘alallah. Aku tidur dalam kelambu laa ilaha illallah.
Anak-anak kerap ikut-ikutan mengucapkan amalan itu ketika berangkat tidur. Belum lagi amalan-amalan lain yang entah kapan mereka pelajari dari lelaki tua itu.
“Apa masalahnya dengan amalan itu?” tanyaku kepada teman-teman.
“Bacaan itu tidak ada dalam hadits Nabi, Hil,” jawab Fuad.
“Mungkin itu kreasi beliau?” Dani menimpali.
“Kreasi bagaimana, doa kok dikreasikan?” tukas Fuad.
“Kita juga sering menggabungkan doa, kan?” kilahku.
“Iya, tapi amalan dan doa-doa beliau itu aneh, tidak ada dalam sunnah” tegas Fuad.
“Pas kemarin kita ketemu beliau, orangnya baik dan ramah, kok,” tambah Dani.
“Jangan menilai seseorang dari luarnya saja,” Fuad mengingatkan.