“Nah, justru itu, sebaiknya kita cari tahu langsung, tanyakan ke beliau, jangan langsung menyimpulkan,” aku menengahi.

***

Kami disuguhkan kopi yang masih mengepul, sewadah kelengkeng yang baru panen dan beberapa buah sawo yang matang dalam piring.

“Kalian tidak perlu takut, saya bukan penyebar paham sesat yang sering dituduhkan orang-orang,” ucapnya setelah mempersilakan kami mencicipi jamuan. Wajahnya yang teduh dan berwibawa tampak dari caranya berbicara.

“Saya sudah sering menerima tamu yang tidak setuju dengan amalan-amalan yang saya kerjakan. Mereka bilang saya bid’ah, beramal tidak sesuai aturan agama.” Tangan tua itu menyeruput kopi dengan tenang.

“Mohon maaf sebelumnya, saya penasaran dengan amalan-amalan bapak, bersumber dari mana?” tanya Fuad mengutarakan.

“Kalau saya jelaskan, apa saudara-saudara percaya?” jawabnya sambil tersenyum.

“Setidaknya kami jadi tahu sebabnya, Pak. Jadi kami tidak ikut-ikutan menyalahkan,” ujarku menambahkan.

Lelaki itu kembali tersenyum. Kali ini dia memerhatikan wajah kami satu persatu, mencari kesungguhan yang bermukim.

“Saya senang membaca shalawat. Setiap hari saya membacanya tanpa pernah menghitungnya. Pagi, siang, malam, alhamdulillah shalawat tak pernah putus-putus keluar dari lisan.”

“Di sana makam istri saya,” Dia mengarahkan jarinya pada sebuah nisan yang terletak belakang gubuk. ”Setiap malam saya membaca shalawat di sana, menghadiahkan pahala untuknya. Setiap menanam dan menyiram tanaman, tak lupa pula saya selipkan bacaan shalawat.”

“Lalu bagaimana dengan amalan-amalan itu?”

“Saya bermimpi Rasulullah, dan beliau mengajarkan bacaan itu kepada saya. Orang-orang tidak percaya, dan saya tidak bisa memaksa,” ucapnya sambil tersenyum.

“Rasulullah yang mengajarkan itu kepada Bapak?”

“Akan sulit diterima jika sudah tidak percaya,” jawabnya.

Hari sudah terlalu renta untuk memikul matahari. Pembicaraan kami dengan beliau tersudahi oleh magrib yang segera datang.

“Orang-orang zaman sekarang mudah sekali menyalahkan, membid’ahkan bahkan mengkafirkan. Mereka lupa atau tidak mengerti bahwa keimanan dan keyakinan bukan sebatas isi otak dan logika, di luar itu ada sesuatu yang tidak dapat diukur dan dinilai,” tukasnya sebelum mengakhiri pembicaraan.

***

“Hari itu saya baru sampai, setelah menerima kabar abah sakit. Selama ini abah tidak pernah meminta pulang, meskipun mungkin beliau kesepian.”

“Abah baik-baik saja. Shalawat adalah teman. Shalawat akan mengubur nestapa-nestapa,” ujarnya kala itu.

“Hari itu, hari Senin. Abah dalam keadaan berpuasa, meski sakit melekat di tubuhnya. Dia meminta agar saya membacakan Dalailul Khairat. Katanya dia ingin tidur sambil mendengarkan lantunan shalawat tersebut. Saya membacakannya hingga abah benar-benar tertidur. Tidur yang panjang, yang tak berujung.”

“Jadi beliau meninggal?” tanyaku.

“Abah menemui kekasihnya.”

“Hari itu, kebun ini dipenuhi banyak manusia yang bertakziah. Entah dari mana? Keluarga yang mana? Kenalan abah yang mana? Semuanya hadir mengantarkan jenazah abah hingga ke kubur. Sesuai amanah, abah dimakamkan berdampingan dengan makam ibu.”

“Sekarang sampean yang merawat kebun ini?”

“Saya hanya meneruskan shalawat abah. Alhamdulillah kebun ini tetap memberikan hasil yang terbaik, berkat shalawat.”

“Sampean juga meneruskan amalan-amalan abah?”

“Apa yang abah sampaikan adalah ilmu laduni, yang tak terjangkau oleh kita, manusia awam.”

***

Saya berdiri di hadapan makamnya. Beberapa batang melati tumbuh subur, memberikan putih bunga terbaiknya. Harum menyeruak.

Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad.

Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad.

Sayup-sayup terdengar shalawat dari tangkai daun-daunnya, bunga-bunganya, batang-batangnya, bebatuan, hingga tanah yang mengitari makam.@