SAYA senang membaca, dari komposisi di botol shampo sampai berita-berita dengan judul aneh yang muncul di layar ponsel. Muntahan kata-kata yang keluar dari kepala seorang penyair gelisah sampai semangat berapi-api mahasiswa yang berorasi di surat kabar tak luput saya baca apabila judulnya sudah kadung terbaca. Berdosa rasanya apabila judulnya sudah dibaca namun tidak satu paragraf pun saya tandaskan.

Kebiasaan ini membuat saya sadar kekuatan dari kata-kata, otentisitas bahasa hingga mempengaruhi derajat manusia. Semakin baku tulisan seseorang, saya selalu membayangkan dia adalah seorang disiplin, cerdas dan memiliki kamus ratusan lembar yang bersarang di dalam tempurung kepalanya. Begitu pula dengan seseorang yang menulis asal jadi, disingkat tidak jelas, begitu juga konteksnya yang membingungkan.

Berbagai tipe manusia jadi terlihat dari gaya tulisannya. Seseorang yang mudah sekali mencak-mencak di sosial media sudah tentu bukan orang yang bisa mengerem egonya, begitu juga dengan orang yang mudah galau dan menulis kegelisahannya di postingan-postingan satu-dua kalimat.

Saya tidak tahu apakah para warganet berpura-pura menjadi persona yang ingin dianggap lucu, dianggap bodoh atau pintar. Tapi yang jelas, sebagian besar dari kita tidak akan menghabiskan waktu untuk memodifikasi tampilan diri di dunia maya apabila tidak terlalu dibutuhkan. Dengan kata lain, beberapa orang memang benar-benar memasang dirinya di media sosial apa adanya.

Dunia memandang kita di internet sesuai dengan apa yang kita kehendaki. Jika kita memasang diri sendiri sebagai seorang pendukung garis keras capres-cawapres nomor urut 10 misalnya, tentu dunia akan melihat kita seperti itu.

Ketika mengunjungi situs-situs ‘ekslusif’ di internet, saya sering takjub. Tulisan-tulisan yang dibuat oleh beberapa orang itu membuat bergetar, bahasanya benar-benar rapi, memasukkan referensi mengenai topik yang dibawakan agar pembaca bisa ikut menelusuri lebih lanjut. Tentu lain hal saat saya membaca debat kusir di forum-forum daring, dari bahasa yang disingkat sekenanya hingga tanda baca yang lupa ditaruh menjadi sebuah kebiasaan.

Tanpa disadari, inilah kemudian yang menjadi kekuatan sekaligus kelemahan seseorang. Tulisan. Tidak heran apabila ada istilah ‘kata-kata adalah senjata’, karena kata-kata yang rapi dan menakjubkan, baru keluar satu paragraf pun sudah bersinar bak pedang yang berkilauan cahaya.

Sebaliknya, kata-kata yang seenaknya ditulis tanpa menghiraukan tanda baca atau aturan-aturan berbahasa akan membuat kita langsung menerka, bahwa tulisan ini tidak ditulis oleh seseorang yang kemampuan berbahasanya melampaui standar.

Debat capres-cawapres yang berlangsung beberapa waktu lalu, misalnya, membuat teman-teman saya tertawa. Penguasaan bahasa yang dianggap perlu ditinjau ulang kesiapan capres-cawapres itu menjadi perbincangan. Hanya gara-gara kesiapan dan kesigapan berbahasa satu kali di atas panggung.

Mungkin itu juga alasan kenapa tokoh-tokoh publik dalam mengelola akun sosial medianya dibantu oleh orang lain, tentu selain karena kesibukan mereka. Tampilan berbahasa di media sosial itu penting, untuk menjaga image di hadapan publik, sekaligus untuk menjadi tameng takut-takut di-bully warganet.

Keterampilan berbahasa di media sosial juga menjadi sesuatu yang krusial, sebagaimana anak-anak muda menggemari sepatu, kemeja atau tas mahal hari ini. Bahasa yang formal, baku, dan rapi bisa disejajarkan dengan pakaian tuxedo atau kaus-kaus mewah yang jutaan rupiah. Bahasa yang seenaknya, sekenanya, apalagi jika topiknya personal dan diumbar ke muka publik, tentu jauh di bawah mereka yang berpakaian mewah.

Tidak ragu saya mengungkapkan ini, terlebih saat mengingat bahwa saya mempelajari kata ‘klandestin’, ‘gawai’, ‘daring’, ‘luring’ dan lain sebagainya memerlukan upaya lebih, tentu saja dari membaca. Mereka yang bisa berjungkir-balik dengan kata-kata, patut diapresiasi.

Terlebih di media sosial, tidak perlu menelanjangi diri kita sendiri dengan kata-kata yang memuakkan untuk dibaca dan memalukan untuk disaksikan. Apalagi perkara-perkara rumah tangga, seperti mengisahkan kenapa suaminya tidak lagi seperkasa dua puluh tahun lalu, kenapa hatinya galau di jam-jam makan, atau kenapa tetangganya tak kunjung mudik ke kampung halaman.

Media sosial bagi saya adalah panggung, di mana publik bisa mengakses segala macam yang kita muntahkan. Tentu membahas perkara pribadi di ranah publik adalah hal konyol, selain karena tidak semua orang ingin tahu, ya tidak semua orang tahu apa yang dibicarakan.

Saya bahkan pernah menemukan postingan seseorang yang mengeluh, sekaligus ingin meremas kepala seseorang lainnya hingga hancur. Ketika ada yang bertanya postingan itu ditujukan untuk siapa, si pembuat postingan menjawab dengan santainya “yang ngerasa tahu kok”.

Wehh, aneh sekali. Kenapa harus dipasang di publik jika perkaranya hanya konsumsi empat mata? Di mata saya, seseorang ini kemudian saya pandang sebagai orang aneh yang tidak tahu fungsi privasi dan media sosial. Barangkali orang lain ada yang memandang sama. Tentu ini menurunkan nilai dirinya.

Hal-hal aneh seperti ini kemudian menjadi ketakutan pribadi. Hingga akhirnya saya menulis secara rapi di internet, dengan bahasa baku, dengan topik yang bisa dikonsumsi publik. Orang tidak perlu tahu saya siapa, rupa wajah atau keluarga saya, mereka hanya perlu tahu bahwa di tangan saya, kata-kata bisa mengangkat makna dan derajat manusia.@