PADA saat itu tengah malam, aku yang sedang membaca cerpen berjudul Sunddenly, a Knock on the Door dikejutkan oleh ketukan di pintu rumah. Bulu kudukku merinding. Aku membayangkan seorang pria mendatangiku, menodongkan pistol, dan memaksaku bercerita persis seperti cerita yang sedang kubaca. Bisa mati aku jika itu yang terjadi karena telah berbulan-bulan aku tidak mampu menulis satu cerita pun.

Pintu dibuka. Seorang pria. Aku menahan napas. Dia tidak membawa pistol. Aku menghembus lega. Tentu saja dia tidak bawa pistol, apa pula yang kupikirkan. Memangnya aku ini Etgar Keret? Mendadak ada sedikit rasa kecewa. Tetapi segera kuhibur diri, ini Indonesia bukan timur tengah. Situasi di sini tidak sekacau di sana. Tidak mungkin ada orang yang, saking frustasinya, menodongkan pistol hanya untuk sebuah cerita.

“Maaf Anda siapa?” tanyaku. “Ada keperluan apa malam-malam begini?”

“Aku bukanlah aku yang kamu lihat dalam wujud ini,” kata si tamu asing.

Pria ini sepertinya sedang mabuk. Ketika aku menatapnya dengan penuh tanda tanya, dia bertanya: “Anda pengarang bukan?” Aku menggeleng. “Jangan bohong. Aku tahu segalanya,” katanya sambil meraba pinggang. Aku menelan ludah membayangkan dia akan mengeluarkan pistol. Jantungku berdebar menunggu apa yang akan dikeluarkannya. Napasku tertahan beberapa detik. Dia mengeluarkan Smartphone! Aku merasa lega, tapi juga kecewa.

“Dengan ini aku bisa tahu segalanya. Aku tahu semuanya dari sini. Aku bahkan tahu kamu sedang kesusahan mencari ide, karena itu, aku akan memberimu sebuah ide cerita untuk kau tulis,” kata pria ini.

Aku tidak mengerti maksud lelaki ini. Melihatku bengong, dia bertanya lagi: “Apa kamu tidak mempersilahkan tamumu masuk?” Namun, daripada pertanyaan, apa yang dikatakannya lebih terdengar seperti perintah.

Lalu seperti dihipnotis, aku menurut dan mempersilahkannya masuk. Kemudian tanpa kupersilahkan duduk, dia telah melipat kaki di sofa. “Teh bagus juga,” katanya. Lagi-lagi terdengar seperti perintah. Bukannya marah, aku malah ke belakang mengambilkan teh botol lalu menyodorkan kepadanya. Benar-benar seperti dihipnotis. Lalu dia berkata, “Jika ada tamu, sebaiknya kamu menyeduh teh, bukan menawarkan teh bohongan seperti ini.”

“Maaf, istriku sedang tidak ada di rumah. Aku tidak tahu di mana dia menaruh teh dan gula.”

“Baiklah, ini pun tak apa,” katanya.

Setelah itu dia meneguk teh yang kuberikan sampai habis, lalu mulai bercerita.

“Perihal kedatanganku, ehm…” dia berhenti sejenak membersihkan tenggorokannya, “aku adalah makhluk yang telah ada jauh sebelum nenek moyangmu ada. Aku telah ada bahkan sebelum alam semesta tercipta. Mungkin banyak cerita tentangku yang pernah kamu dengar. Tapi kuberitahu padamu bahwa tidak semua cerita tentangku yang kamu dengar adalah sebuah kebenaran. Mungkin kamu pernah mendengar bahwa aku adalah seorang pembangkang yang melanggar perintah Tuhan hingga diusir dari surga.”

“Sebentar,” aku memotongnya, “Anda iblis?”

Dia menatapku kesal. “Rupanya kabar yang kudengar itu benar, kamu orangnya tidak sabaran. Dengarkan dulu ceritaku!” katanya sambil memukul meja. Aku sampai tersentak dibuatnya. Aku minta maaf dan meminta dia melanjutkan cerita.

“Aku adalah makhluk yang—”

“Jangan diulangi, lanjutkan saja,” potongku lagi. Matanya membelalak. Kusangka dia akan marah, tapi kemudian dia malah melanjutkan ceritanya.

“Padahal yang terjadi justru sebaliknya, aku sebenarnya adalah hamba-Nya yang paling taat. Mereka mengatakan aku bersalah, melakukan suatu dosa besar, tapi aku tidak pernah diberi kesempatan untuk menjelaskan kenapa aku melakukannya. Mereka lebih senang mereproduksi cerita-cerita bohong tentang diriku.

“Jika aku ditanya cerita bohong mana yang paling tidak bisa kuterima, maka aku akan menjawab: cerita tentang kesombonganku. Aku digambarkan sebagai makhluk sombong yang menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada seorang anak manusia. Mereka kemudian mengarang cerita kalau aku tidak mau sujud karena aku merasa lebih tinggi derajatnya. Padahal bukan itu yang membuatku menolak sujud di depan Adam, bukan karena dia diciptakan dari zat yang lebih rendah dariku, tapi karena aku tahu satu-satunya yang pantas untuk kusujudi hanyalah Dia. Namun kemudian cerita menjadi berbeda begitu sampai padamu. Mereka membuatmu percaya bahwa aku adalah makhluk sombong yang terkutuk.” Ia mengambil jeda. “Tenggorokanku kering. Ada lagi?” tanyanya sambil menggoyang-goyangkan botol teh yang telah kosong.

Aku kembali dengan dua botol teh, jaga-jaga kalau dia bilang tenggorokannya kering lagi. Dia meneguk satu botol itu sampai kosong seperti orang yang baru saja menyelesaikan lari maraton, lalu melanjutkan lagi ceritanya.

“Mereka benar-benar pandai memutarbalikkan fakta. Jika ada satu hal yang membuatku iri pada mereka, itu bukanlah karena Tuhan memilih mereka sebagai khalifah, melainkan kemampuan mereka membangun narasi, mengarang cerita, dan membuat orang percaya. Kemampuan itu, sayangnya tidak Tuhan berikan kepadaku.”

Aku sebenarnya ingin memotong ceritanya, tapi aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa melakukannya. Mungkin dia benar-benar menghipnotisku, atau mungkin karena wajahnya terlihat begitu sedih ketika bercerita.

“Dan cerita itu bukanlah satu-satunya cerita bohong tentangku, masih banyak cerita bohong yang mereka ceritakan dan pastinya telah sampai padamu. Dari sekian banyak cerita bohong mereka, satu yang membuatku tidak terima adalah cara mereka menggambarkan diriku sebagai makhluk seram, menjijikkan, bertanduk, bertaring, berlidah dan berkuku panjang. Stereotip bukan?” Dia bertanya sambil memandangku. Aku refleks mengangguk.

“Bisa-bisanya mereka dengan sok tahu, tanpa pernah melihat wujudku dengan mata mereka sendiri, menceritakan bagaimana rupaku berdasarkan imajinasi yang mereka karang sendiri atau dengar dari orang. Kamu tahu, aku pernah terenyuh (sumpah dia benar-benar menyebut kata ini!) melihat seorang anak perempuan yang dimarahi gurunya hanya karena dia memelihara kuku panjang.”

“Aku juga pernah,” kataku memotongnya. “Aku melihatnya langsung, teman perempuanku juga dimarahi oleh guru agamaku karena berkuku panjang. Guruku itu berkata—”

“Hanya iblis yang memelihara kuku panjang, kamu mau menyerupai iblis?” Kami mengatakannya nyaris bersamaan.

“Kok bisa sama, ya?”

“Tentu saja karena aku ada di sana. Kamu tidak tahu, aku duduk di sebelah anak itu ketika kamu melihatnya dihukum.”

“Hmmm…” gumamku.

“Kenapa?” tanyanya.

“Tidak apa-apa. Lanjutkan saja ceritanya.”

“Guru itu geram. Kemudian dengan penuh emosi, dia memberi pelajaran, memukul jari-jari si anak perempuan dengan penghapus papan. Anak itu menangis. Aku tidak mengerti mengapa pelajaran harus melibatkan kekerasan?” Dia membuat sebuah pertanyaan retoris, dan tanpa sadar, aku mengangguk-angguk setuju. Kemudian dia melanjutkan lagi ceritanya.

“Padahal guru itu belum pernah sekalipun melihat wujudku, dia hanya mendengar kata orang dan langsung saja mempercayai apa yang didengarnya. Seandainya dia pernah melihatku, dia pasti akan jatuh cinta padaku karena aku ini sebenarnya cantik jelita, jauh lebih cantik daripada istrinya.”

Kupandangi wajah pria di hadapanku. Wajahnya sama sekali tidak cantik. Matanya melotot dan kelopak matanya cekung, dan itu membuat matanya seperti mau melompat keluar. Lalu hidungnya yang mancung dan besar dengan kumis dan janggut kasar itu membuat aku tidak bisa tidak menatap dia dengan tatapan tidak setuju.

“Aku bisa mengubah diriku jika kamu mau.”

“Oh,” balasku refleks. Lalu aku bertanya, “Apakah hanya itu saja ceritamu?”

“Sebentar aku haus,” katanya.

Makhluk ini haus terus seolah-olah ada neraka di hatinya. Pantas saja dia diusir dari surga!

“Aku bisa mendengarmu,” katanya.

Aku menatapnya tidak percaya. Mana mungkin dia bisa mendengarnya, aku kan hanya memikirkannya.

“Aku juga bisa membaca pikiranmu,” katanya lagi.

Membaca pikiranku? Ah, dasar pembual!

“Apa kamu mau aku mengatakan apa yang kamu pikirkan tentang istrimu, anak-anakmu, tentang pemerintahan di negerimu, tentang orang-orang di sekelilingmu?”

“Tidak usah lanjutkan saja ceritanya. Aku percaya,” kataku ketakutan.

Dia menarik napas panjang lalu berkata, “Karena itu aku mendatangimu untuk memintamu membuat cerita tandingan tentangku, agar mereka tahu bahwa aku ini tidak seperti yang mereka pikirkan. ”

“Kenapa harus aku?”

“Kamu kan sedang butuh ide cerita.”

“Mana berani aku menuliskan cerita tentang kamu. Itu sama saja aku menjadi juru bicara Iblis. Nanti kita disangka berkoalisi. Koalisi dengan Iblis, gila apa? Nanti nasibku bisa sama seperti Salman Rushdie?”

“Bukannya setiap pengarang bermimpi menjadi Salman Rushdie?”

“Kalau bisa sekaya dan seterkenal dia, aku mau. Tapi kalau diancam akan dipenggal, siapa yang mau?”

“Jika kamu tidak melakukannya, aku akan membongkar apa yang kamu pikirkan tentang tentang istrimu, anak-anakmu, tentang pemerintahan di negerimu, dan tentang—”

Aku menyetopnya. “Baiklah akan kulakukan.”

“Kamu harus menulisnya sebagus mungkin. Bila perlu buat para pembacamu sampai menangis tersayat-sayat oleh ceritamu, buat mereka sampai benar-benar percaya bahwa aku adalah korban dalam cerita ini. Ingat, aku bukanlah penjahatnya,” tegasnya.

“Bagaimana caranya?” tanyaku bingung.

“Kok tanya aku? Pengarangnya kan kamu. Tulis saja sebagus-bagusnya.”

Tulis sebagus-bagusnya? Enak betul mulutnya bicara. Dia sangka menulis itu mudah.
Setelah selesai berkata-kata, dia bangkit dari sofa. Ketika hendak bersiap-siap pergi, dia menoleh: “Awas saja kalau tulisanmu buruk. Aku cari kamu ke mana pun. Kamu tahu, tidak ada yang bisa bersembunyi dariku.”

Setelah mengatakan itu, dia menghilang begitu saja tanpa mengucapkan salam. Pantas saja dia diusir dari surga, pikirku.

Kemudian selama berhari-hari aku mencoba menulis seperti yang diperintahkannya, namun aku tidak mampu. Seperti yang kukatakan tadi, telah berbulan-bulan aku tidak mampu menulis satu cerita pun. Jadi aku hanya mengulang apa yang dia katakan padaku, tanpa bumbu sedikit pun!@