The Mauritanian bukan film pertama yang bercerita tentang penjara militer Guantanamo di Teluk Guantanamo, Kuba, tapi boleh jadi ia film yang paling berterima di publik terkait isu ini. Di ajang Golden Globe, aktor utamanya, Tahar Rahim dinominasikan sebagai aktor terbaik dan Jodie Foster juga dinominasikan sebagai aktris terbaik. Foster memenangi kategori tersebut.

Pada BAFTA (British Academy Film Award), ajang penghargaan film paling bergengsi di Inggris, The Mauritanian dinominasikan untuk lima kategori termasuk aktor terbaik, naskah adaptasi terbaik, naskah film terbaik dan tentunya, kategori film terbaik. Meski demikian, film ini sama sekali tak masuk satu pun nominasi Oscar 2021 walau sebelumnya disebut-sebut di bursa nominator Oscar. Hal ini sama sekali tak mengherankan.

Tragedi 9/11, pengeboman WTC, di New York tahun 2001 silam menjadi salah satu trauma terbesar rakyat Amerika Serikat. Mereka yang ditahan di penjara militer milik Amerika Serikat di teluk Guantanamo, Kuba, disebut-sebut konon terkait dengan pelaku pengeboman. Bin Laden dan al-Qaeda yang dianggap bertanggungjawab atas pengeboman tersebut pada akhirnya menciptakan ekses negatif bagi umat Islam secara global. Ekses yang masih begitu terasa hingga sekarang. Ekses negatif itu bernama Islamofobia. Ketakutan yangs sampai pada tahap berlebihan terhadap muslim dan agama Islam sendiri.

Islamofobia juga yang pada akhirnya membuat Gitmo, sebutan populer untuk penjara militer Guantanamo, bisa langgeng sampai hari ini meski sudah begitu sering diminta untuk ditutup oleh lembaga-lembaga Hak Asasi Manusia dunia seperti Amnesti Internasional. Di sana telah terjadi pelanggaran HAM besar-besaran terhadap para tahanan. Gitmo bahkan disebut sebagai penjara paling tidak manusiawi di atas muka bumi saat ini.

Di Amerika Serikat sendiri, Gitmo banyak diprotes meski lebih banyak lagi yang diam. Islamofobia menyebabkan keengganan untuk benar-benar peduli terhadap nasib tahanan Gitmo. Barangkali terlemparnya The Mauritanian dari Academy Award, ajang penghargaan film paling prestisius sejagad raya itu menjadi bukti betapa sulitnya Hollywood sebagai representasi industri hiburan publik Amerika Serikat, keluar dari kondisi psikologis penuh prasangka itu.

Seperti dilaporkan pers dan aktivis HAM, tahanan-tahanan yang masuk ke penjara Guantanamo tak pernah melalui proses hukum yang adil dan jelas. Kebanyakan dari mereka ditahan tanpa peradilan, tanpa tuduhan yang jelas hingga bertahun bahkan hampir dua puluh tahun lamanya. Tak sampai di sana, dalam proses interogasi dan penahanan, para tahanan kerap mengalami siksaan fisik dan mental. Pada 28 Januari 2021, koran The New York Times merilis daftar tahanan Guantanamo. Disebutkan hingga Januari 2021, 731 dari 780 tahanan ditransfer ke negara asalnya entah untuk dibebaskan atau di penjara kembali, 40 orang masih tetap ditahan, dan 9 orang tewas selama masa penahanan. Diketahui enam di antaranya tercatat melakukan bunuh diri.

Perihal Gitmo kembali menghangat saat ini karena Joe Biden, presiden Amerika Serikat, menyatakan akan menutup penjara miter itu setelah sebelumnya di era Barrack Obama rencana penutupan itu urung dilakukan karena terhambat persetujuan Kongres. Sementara Trump tak terbersit sedikitpun untuk menutup penjara itu di eranya. Gelombang protes atas keberadaan penjara militer ini yang sudah dimulai bertahun-tahun silam makin tak terbendung.

Penerimaan secara luas film The Mauritanian (terlepas dari pengingkaran juri Academy Award terhadap film ini) menunjukkan besarnya eskalasi penolakan atas penjara tersebut.

‘The Mauritanian’ combines ‘politics and outrageous crime against humanity’

The Mauritanian diangkat dari kisah nyata salah seorang tahanan bernama Mohamedou Ould Slahi. Seorang muslim berkebangsaan Mauritania. Slahi menulis kisah hidupnya dalam sebuah buku memoar berjudul Guantanamo Diary yang berisi pengalamannya menjadi tahanan di Guantanamo selama empat belas tahun tanpa peradilan.

Slahi adalah lelaki terpelajar. Selepas sekolah menengah di negerinya, ia mendapatkan beasiswa untuk kuliah di University of Duisburg, Jerman Barat. Slahi terlibat dalam perang Afganistan melawan Sovyet. Ia bergabung dengan tentara mujahidin Afganistan saat Sovyet mencoba menginvansi Afganistan. Saat itu posisi Amerika Serikat adalah pendukung mujahidin. Slahi memilik sepupu yang dekat dengan Bin Laden. Kontaknya dengan si sepupu itulah yang mengantarkannya ke Gitmo sebagai tahanan.

Dalam film diceritakan, saat kehilangan harapan untuk dibebaskan, Slahi yang diperankan oleh Tahar Rahim, ditemui oleh seorang pengacara perempuan, Nancy Hollander (Jodie Foster). Nancy ditemani Teri Duncan (Shailene Woodley) bermaksud membela Tahar Rahim untuk bisa mendapatkan pengadilan atas kasusnya. Itu adalah kasus pro-bono Nancy.

Menurut Nancy, Slahi berhak mendapatkan pengadilan yang adil, jujur, dan netral terlepas dari apakah ia bersalah atau tidak, karena itu adalah hak asasinya. Di pihak militer Amerika Serikat sendiri ada Kolonel Stuart Couch (Benedict Cumberbatch) yang menjadi pengacara militer untuk kasus Slahi. Ia bertugas memastikan bahwa Slahi memang bersalah dan pantas ditempatkan di Gitmo.

Facebook Comments