Bermula dari ngejagain ponsel anak buah abangnya. Zeid, merasa mampu membuka ponselnya sendiri. Meski masih merasa belum terlalu lihai, tapi bisa. Dengan modal uang hasil menjual motornya 8 juta, ditambah jual hape pribadinya 1,5 juta, dan dikasih ibu uang 2 juta, dikumpulkan lagi beberapa sampai bertotal sekitar 12 juta.

***

Awal Beponselan

Saya mendengar kalimat “beponselan” itu jadi teringat masa ketika teman-teman dulu pasca lulusnya dari pendidikan lalu mau buka usaha. Motivasinya sesimple hitungan matematika. Kawannya Abang, ungkap Zeid, mampu mendapatkan 3 juta sebulan. Itu artinya, 100 ribu perhari. Jika seandainya ia jadi perawat semisal, (seperti niatnya di awal setelah lulus SMA) entah itu di klinik atau rumah sakit, potong waktu pengabdian beberapa tahun termasuk pendidikan kuliah dan bla-bla segala macam-macamnya, mentok-mentok, ia mendapatkan gaji juga 3 juta/bulan. “Sesederhana itu saja motivasi awal membuka usaha. Layaknya, modal kuliah dimodalkan ke usaha.”

Tapi kita tak pungkiri, tidak semua pengusaha seberuntung Zeid. Saya bilang, gak semua pemuda seumurannya, saat itu, pasca pendidikan SMA-nya berpikir sedemikian rupa. Ini, kan soal pola pikir, guys! Terlebih, lingkungan sangat memengaruhi juga.

Orangtua misalnya, “Nak, kelak lu gede harus PNS ya, kamu dokter ya, kamu polisi. Nak, kamu jualan bakso ya, pokoknya harus jadi pedagang bakso, gak boleh jadi polisi,” misal aja sih, itu gumam saya dalam hati. Ya, nggak ada yang salah juga keles. Termasuk ketika orang terdekat kita menyilakan saja mau jadi apa kelak kau dewasa, yang penting bisa berguna dan bermanfaat bagi Nusa dan Bangsa. (klise banget, yak!).

Menyewa sebuah ruang segi empat berdinding seharga 4 juta setahun. Etalase pinjam ke teman. Diisi dengan dua hape isi pulsa, voucher hape, “Dan hape second 4 biji,” katanya. Dia ingat betul ketika itu. Bahkan, Zeid masih hapal tipe hapenya. Nokia 5200 dua biji, dan Nokia 3520 juga dua biji. That’s it, isi etalasenya cuma itu. Targetnya, sehari harus menghasilkan 100 ribu. Jika tidak, dia akan menjual apa pun sampai 100 ribu perhari. “Menjual kemana kah, barang ai. Pokoknya harus payu, kayapa pun caranya!”

Tiga bulan pertama membuka, Zeid demam mengigil di sudut ruang toko. Betapa tidak, semua mesti dikelolanya seorang diri, manajemen keuangan, penjualan, dan tetek-bengek lainnya, serba sendiri. Saat mencapai batas kemampuannya, Zeid mencari rekan kerja untuk dilatih, dididik hingga 6 bulan masa training. Ketika si rekan mampu dipercaya, Zeid melepasnya untuk mengelola ponsel itu sebagaimana mestinya. Tau gak, hampir semua pengusaha itu berpikir seperti ini di permulaan.

The Revolution Of Mindset

“Aku ni kakaya ini, ja, kah?” bukan tak mensyukuri apa yang telah diberikan kepadanya. But, Zeid mempunyai kepribadian yang gak cukup puas dengan pencapaian yang biasa-biasa saja. Ia haus akan ilmu dan wawasan untuk pengembangan usaha. Itu juga dibuktikan dengan sejumlah prestasi sejak SMA, remaja yang tumbuh menjadi pemuda yang haus akan pemecahan rekor. Apa pun itu, baik prestasi dalam suatu pelajaran saat pendidikan, pun demikian dengan dunia bisnis yang ia geluti sekarang.

“Dicap teman kepo! Serba banyak takun. Dibunguli hi ih jua, aku ni! Rasa keingintahuannya yang begitu tinggi lah seakan menjadi energi untuknya terus keluar dari zona nyaman. Menciptakan terus usaha yang berjalan!

Mari kita tarik garis waktu ke belakang sedikit saja. Sekitar tahun 2007-an, Kabupaten Banjar, Martapura khususnya, menjadi kawasan utama untuk mencari segala jenis hape. Mungkin ada ratusan ponsel yang tersebar dari sudut ke sudutnya. Saya ingat betul ketika ini, sewaktu masih mondok, bolak-balik ponsel cuma buat buat urusan hape, pantau harga, nyari aksesoris, bla-bla dan segala macamnya. Jika tak khilaf, waktu itu saya pegang Nokia 6600 dengan aplikasi Mp3 yang suaranya bikin sakit telinga karena ukuran press sampai 128kb. Gik!

Dan Zeid, mengkhayal-khayalkan ingin punya toko ponsel sebesar Elephant Star! Hampir semua orang Martapura ketika itu tahu, Elephant Star itu terbesar, keulues! Semua ponsel kecil di sekelilingnya ngambil voucher ke dia, ngambil barang ke dia, aksesoris juga. Ya, pokoknya mendominasi pasar handphone, lah.

Trus saya pikir, sekarang kayaknya sebagaian ponsel-ponsel di sekeliling sini  mimpi atau jadi doa, pengen deh, punya usaha, atau toko ponsel besar sebesar Syihab Phone. Ya, walau itu sebenarnya asumsi saya pribadi. IMHO. Siapa tahu, mewakili perasaan pembaca!

Nah, ketika mulai besar itu lah, sebagaimana pohon semakin tinggi yang daunnya semakin tertimpa angin badai puting beliung awan kinton, pun demikian dengan bisnis. Mulai kerikil, batu kecil, batu besar, duri semak belukar, haters, de-el-el itu datang silih berganti. Timpa-menimpa tumpang tindih layaknya kraby patty. Singkatnya, kata Zeid, “Jangan ceritakan yang pahit-pahitnya, ya!” Done, problem solve.

Kali Pertama Naik Pesawat, Dicegat Satpam Gedung, dan Ditunjuk Sebagai MD

Tak pernah naik pesawat sejak kecil hingga remaja, Zeid kali pertama menaikinya berangkat ke Jakarta untuk urusan mencari link, cari jaringan, yang ketika itu belum era smartphone. Gak ada rekanan pasti, tanpa google maps dan hanya data referensi yang sangat-sangat terbatas sekali from gugel. Zeid, bersama seorang temannya yang mahir membawa orang-orang tour ziarah berkeliling Jakarta tak tau kemana rimbanya. “Hanya bermodalkan doa. Sebaik-baik doa maka Tuhan akan mengabulkan hajat hambanya!” begitu. Saya merasa sayang sekali kalau tidak menyertakan kalimat ini, yang terlontar langsung darinya.

Semingguan di Jakarta, nganga-nganga kada jelas. Duit sudah menipis habis, mencari penginapan itu yang murah dan paling murah 75 ribu sehari!”

Entah bagaimana perhitungan momentnya, Zeid, nongkrong di satu tempat. Ngopi, ngobrol, dan ada seseorang yang mendengar, tertarik, lalu berdiskusilah mereka. Seorang wanita putih berpakaian rapi tentu saja. Singkatnya, ia diundang ke kantor si orang tadi.

Menggunakan Bajaj butut bising dan knalpotnya sebagai mata sumber polusi udara, Zeid berangkat ke alamat yang telah diberikan oleh someone tadi. Tiba di depan gedung yang lantainya banyak bikin terdongak kepala kalau memandang ke rooftop. Dalam hati, Zeid berprasangka, “Apa benar orang yang barusan mengobrol dengannya di warung berkantor di dalam gedung sebesar ini?”

Belum lagi Zeid bertanya, melangkah masuk ke dalam, seorang satpam datang mencegat.

“Mau cari siapa, pak!”

“Cari Ibu E**”

“Ibu E** siapa?”

Facebook Comments