SAYA mengenal Soni Farid Maulana (SFM) lewat TONGGAK 4 (Gramedia, 1987) Antologi Puisi Modern yang dieditori Linus Suyadi AG. Belakangan seingat saya, buku seri tersebut adalah buku yang mengenalkan saya dengan istilah antologi. Rampai karya-karya dari banyak orang yang diserap dari bahasa Yunani.

Ketika duduk di bangku SMA, saya mulai berlangganan majalah Horison dari situlah saya kerap membaca puisi-puisi SFM. Hampir semua puisi-puisinya datar tapi diujung lariknya menghentak. Maqom SFM sudah menunjukkan kebernasan dalam berkarya, penanda SFM adalah penikmat puisi yang sudah teruji waktu.

SFM membangun dialektika dalam ekperimen puisi-puisinya, eksekusi penghayatan sebagai insan khauf dalam cerita-cerita tentang maut, alam, kesenjangan hidup, pemahaman egaliter, dan tentu saja kenangan. Tentu sepanjang hidup SFM telah berhadapan dengan pengalaman puitik, pengalaman yang disebutnya sebagai pengalaman yang menggerakkan hatinya untuk menuliskan dalam lamat-lamat kalimat puisi.

Membaca Esai Soni

Ada satu buku yang menjadi petunjuk mengenai proses kreatif menulis puisi yang ditulis SFM yang diterbitkan Nuansa Cendekia, Bandung (2012) berjudul Apresiasi dan Proses Kreatif Menulis Puisi. Ada 16 esai sastra yang dituliskan SFM dengan bahasa yang mengalir tersebab sasaran pembaca yang umum. Di dalam buku tersebut, SFM sengaja menghindari teori-teori yang membawa kesan ilmiah. SFM cenderung apresiatif dalam membaca karya-karya sastra, puisi khususnya seperti membaca puisi-puisi; Chairil Anwar, Rendra, Amir Hamzah, Remy Sylado, Oka Rusmini, puisi-puisi  dari perempuan penyair Indonesia.

Di dalamnya SFM menuangkan gagasan bahasa yang tidak hanya mentransformasikan pikiran, tetapi unsur estetik dalam sebuah teks yang di dalamnya antara lain terkandung citra, majas, metafora, simbol. Kesemuanya tak lepas dari peran imajinasi yang senantiasa mengalir untuk merealisasikan gagasan, ide, perasaan estetik  yang ditulis dalam karya sastra atau teks lainnya.

Lewat apresiasinya saya mengetahui danding yaitu puisi tradisional Sunda yang ditulis dalam bentuk pupuh.

SFM mengurai aturan tulisan pupuh kinanti sangat lain dengan pupuh mijil, baik pada rima maupun pada banyaknya larik puisi yang ditulis dalam satu bait. Pada pupuh kinanti satu baitnya terdiri atas enam padalisan (larik) yang setiap lariknya terdiri dari delapan suku kata (enggang) dengan vocal akhiran u-i-a-i-a-i. Sedangkan pupuh mijil, satu baitnya terdisi dari enam padalisan (larik) yang masing-masing lariknya terdiri dari 10-6-10-10-10-6-6 suku kata (enggang) dengan masing-masing vocal akhir i-o-e-i-i-u di tiap lariknya.

Semangat SFM sebagai informatif agar keberlangsungan kehidupan sastra menjadi semarak nampaknya terwujud. Beberapa tahun belakangan Sonian menjadi menu pilihan dalam berkarya dan diterima oleh masyarakat sastra yang tidak hanya mukim di Indonesia, tetapi masyarakat sastra di negeri jiran. Ruh pantun yang diakui SFM sejak penyair Amir Hamzah mencoba melepaskan diri tetapi kenyataan riil tak berpelik.

Facebook Comments