KETIKA saya menyebut nama seseorang yang sungguh pernah hidup, bukan berarti saya merujuk kepada persona seseorang an sich. Tapi, seperti halnya penamsilan dilakukan dalam rangka suatu pembelajaran, yang dirujuk adalah ciri-ciri abstraknya untuk dijadikan contoh yang bisa diperluas. Kita bisa memerluas suatu nama menjadi istilah, nama Hoegeng menjadi fenomena Hoegeng, Palui jadi Mamalui, dan seterusnya.
Begitu pula ketika menyebut nama Udin Vicky dalam tulisan ini, saya tidak sedang “menghakimi” orang yang sudah berpulang dengan segala keeksentrikannya. Saya hanya melihat kesejajaran dari figur unik dan menarik itu dengan suatu fenomena dalam dunia literasi hari ini.
Udin Vicky menarik, karena ketika ia berjalan sendirian di tengah jalan dan melihat seseorang yang menarik baginya ia akan melakukan sesuatu yang tampak hebat baginya, untuk menarik perhatian orang yang menjadi perhatiannya tersebut. Ia akan mengucapkan kata-kata asing atau tampak seperti orang mengucapkan puisi liris sembari matanya menatap nakal pada objek sasarannya. Mungkin benar yang dilakukannya hebat, pada masanya, seperti kemampuan percakapan atau melafalkan bahasa Inggris yang seakan “fasih” bagi orang yang tak paham. Tapi dengan perkembangan waktu dan pergeseran cara pandang, hal itu tidaklah sesuatu yang dianggap hebat lagi, bahkan dirasa sebagai tidak meruang dan tampak aneh ketika diungkapkan untuk orang yang tidak dikenal. Alih-alih terpesona atau kagum, orang yang diajak bicara malah takut atau jijik atau tertawa saja, dan kemudian segera menjauh.
Saya kira hal serupa terjadi pula dalam dunia literasi. Yang dianggap “sesuatu” sekali bagi orang awam yang bisa “diperdayai” dengan kata-kata asing, ungkapan yang seakan memukau karena susunan kalimatnya seperti dipikirkan dan dari sisi bunyi (pelafalan) juga “uwow!” sekali. Tapi, bagi yang memahami rangkaian kata – susunan kalimat adalah suatu media untuk meletakkan pemahaman yang tertata dan berderajat, hal ini cukup dianggap sebagai “akrobat kata” saja. Tak lebih, dan tak perlu diperpanjang lagi.
Ambil contoh, ada seseorang yang sangat menekankan kata “ilmiah” untuk menunjukkan bahwa apa yang dilakukannya bukan kaleng-kaleng tapi memiliki bobot yang mesti diperhitungkan dalam suatu tradisi berpikir yang baik. Orang akan mencoba menyimaknya. Tapi dalam kenyataan ia menjelaskan pikirannya, langkah-langkah pembuktian yang dilakukannya, dan hujah-hujah yang disampaikannya tampaklah ketidaksebangunan ucapan, pikiran dan upaya argumentatifnya. Ia seperti melakukan jurus mabuk, karena begitu semangat menghendaki orang percaya padanya, atau seperti berpatah-patah kalimat-kalimat pendek penuh kemisterian untuk menunjukkan semacam “wibawa” ilmiah. Yang dilupakan adalah, bahwa logika ilmiah dibangun oleh suatu “tradisi”, cara-cara tertentu dengan sejumlah prasyaratnya, dan ia merupakan bangunan yang utuh karena dasar dan penyangganya cukup kuat—terdiri dari sejumlah konsep, teori, data, teknik analisa dan kehandalan menarik kesimpulan yang terukur dan mendekati target semula.
Arkian, “ilmiah” bukan klaim sepihak. Bahkan, sesudah ia diupayakan dengan sejumlah taktis kerja yang tak sederhana, ia dikomunikasikan, didialektikakan dengan kalangan sederajat atau di atasnya untuk menguji variabel-variabel keilmuan yang ada dalam hasil susunannya.
Literasi adalah istilah yang telah berkembang sedemikian rupa, sehingga hari ini tak cukup menyebutnya sebagai satu kata yang berdiri sendiri tanpa sandingannya. Literasi komputer, literasi digital, literasi finansial, literasi budaya, dan lain sebagainya. Tidak cukup bisa baca, tulis, hitung, namun perlu perangkat lainnya untuk mencoba memahami sesuatu fenomena.
Katakanlah fenomena literasi buku hari ini, tidak cukup hanya menyebut secara kuantitatif daya atau minat baca masyarakat kita yang terbilang rendah tanpa menghadirkan fakta lainnya yang mendukung daya baca itu sendiri dan sejumlah motivasi orang ingin memahami sesuatu. Teman saya, misalnya, menyatakan akses pada bacaan yang baik adalah suatu problem yang harus diatasi. Akses itu maksudnya memberikan kesempatan, ketersediaan bahan bacaan, ruang yang memungkinkan, mitra diskusi yang sama atau yang lebih memiliki pemahaman, dan daya kritis yang dipupuk secara berkesinambungan.