TEPAT pukul 21.00 WITA hari Rabu (20/03/2024) malam saya mendapatkan kabar yang paling mengejutkan tentang Maulidi NB atau yang akrab dikenal dengan Wanyi Mandarung. Kabar paling memilukan selama kami berteman. Beliau meninggal dunia di bulan yang penuh kemuliaan bulan Suci Ramadhan.
Wanyi nama yang biasa kami sematkan kepadanya adalah seorang antropolog dan seorang arsipasi Budaya Banjar. Jejak rekamnya selama ini sudah tak bisa diindahkan lagi. Salah satu buktinya adalah Ketika sebuah forum kebudayaan di hari Jumat (17/03/2024) nama Wanyi selalu saja disebutkan Ketika memerlukan penguatan atas data-data kebudayaan Banjar.
Pada lingkar pertemanan Wanyi mendapat julukan Wikipedia budaya Banjar. Dia juga bisa berlaku sebagai kompas yang mampu menunjukkan dan mempertemukan orang yang mencari data-data budaya dengan tokoh budaya yang relevan.
Seperti gelarmu wanyi atau dalam Bahasa Indonesia lebah; lebah tidak hanya memberikan manfaat pada dirinya sendiri maupun makhluk lain yang berelasi secara langsung dengannya. Sebagaimana lebah berusaha selalu menghasilkan madu yang sangat berguna untuk makhluk lainnya. Wanyi selalu berusaha untuk memberi manfaat, berbagi pengetahuan dan duduk bersama dengan banyak pihak demi kesuksesan pihak tersebut. Wanyi selalu menjadi pendukung, menghindari sorot lampu langsung. Dia selalu membiarkan orang lain mendapat gemuruh tepuk tangan.
Saya dan Paman Wanyi pertama kali berkenalan ketika saya membantu sebuah pagelaran Prodi Seni Pertunjukan berkolaborasi dengan Kampoeng Seni Boedaja di TVRI Kalsel tahun 2008. Sejak saat itu kami berteman, kami kemudian disatukan dalam sebuah komunitas G’ANPA (Gabungan Anak Pahuluan) yang bergerak pada ruang seni pertunjukan. Berbagai perlombaan dan pementasan kami lalui Bersama.
Pernah waktu awal saya masuk kuliah, Paman Wanyi yang kebetulan panitia Ospek menjadi pelindung saya waktu itu. Paman Wanyi menyelamatkan saya dari berbagai jebakan hukuman panitia ospek. Begitulah kebaikan beliau. Hingga sejak 2022 saya kembali sangat akrab dengan beliau hingga saya memberanikan untuk mengajaknya terlibat dalam berbagai proyek kesenian saya.
Sejak setahun terakhir juga saya mengubah panggilan saya kepadanya. Saya menuakannya dengan selalu menggunakan kata sapaan paman atau amang gelar yang sebenarnya didapatkan sebagai anggota pelopor Kampoeng Seni Boedaja ULM. Saya juga mulai menggunakan kata Ulun dan Pian untuk menjaga posisi dan marwahnya sebagai seorang guru dan yang berpengetahuan.
Hari ini sepertinya tidak ada orang yang sedang riset budaya Banjar yang kemudian tidak memasukkan namanya dalam daftar narasumber. Berbagai data berhasil dikumpulkannya dan selalu dibagikan dengan cuma-cuma tanpa harapan imbalan apapun.
Oktober tahun lalu, Paman Wanyi saya libatkan menjadi asisten seniman dalam program Jejaring Rimpang sub program Modus Air. Paman Wanyi menjadi asisten seniman Marten Bayu Aji seorang perupa asal Yogyakarta. Paman Wanyi bertidak melebihi seorang asisten bagi Marten. Dia dengan sigap selalu berhasil membuat Marten mendapatkan sesuatu yang diinginkan bahkan cenderung banyak.
Ulun ingat Paman sewaktu kita makan di warung Pasundan dekat Taman Ismail Marzuki Cikini, Jakarta, ulun pernah menasihati pian; ”Mang, pengetahuan dan data pian itu jangan jua diberikan cuma-cuma, pian harus bisa memanajemennya agar bisa menjadi sumber penghasilan.” Sayangnya ulun waktu itu justru mendapatkan jawaban yang membuat ulun malu sama pian, Mang! Pian bilang,” Aku ni kada kaya urang, kada bisa main musik, manari, main teater atau film gen karena kabalujuran banar ai. Aku sadar banyak urang nang kada mau jadi nang mangumpulakan data budaya banua Nov ai. Nah aku ikhlas jadi urang nang kaitu. Mun kakawanan, ading-ading parlu, aku baisi an data ni supaya buhan ikam kada ngalih mun handak bakarya. Kaya ujar ikam jua Nov ai, mun di muka barataan hibak, maraha aku di balakang haja. (saya ini tidak seperti banyak orang, bisa bermain musik, bisa menari, main teater dan film itu karena keberuntungan saja. Aku sadar banyak yang tidak mau menjadi pengumpul data budaya Banua, Nov. Aku ikhlas menjadi orang yang seperti itu. Jika teman-teman, adik-adik perlu, mereka tidak repot mencarinya ada di aku, tinggal ngomong akan ku berikan. Seperti katamu Nov, jika semua di depan panggung maka akan penuh, maka biar saja aku di belakang panggung saja.”
Obrolan paling serius kita selama bekawanan ini mang ai. Di ujung obrolan sembari berjalan menuju hotel, tiba-tiba pian bilang, “makasihlah sudah membuka mata dan menambah pengetahuanku.” Seperti biasa ulun cuma menjawab, “Siap Paman, ini hak dan rejeki pian. Ulun yang terima kasih.”
Paman wanyi memang tipikal seniman yang lebih memilih memajukan seniman lainnya.

Dia hidup membayangi banyak seniman agar lebih maju dan hebat. Beliau hadir dari satu proses ke proses kesenian lainnya. Saya bersyukur pernah begitu dekat dan menjadi teman tongkrongan dengannya, terutama setahun terakhir. Saya, Nafi, Ukon, dan Lella hampir bertemu setiap hari mengobrolankan banyak hal terutama berkaitan dengan ekosistem kesenian dan pengetahuan kesenian yang semakin rendah. Paman Wanyi orang yang palinhg antusias dan terkadang menjadi provokator untuk kami berbuat sesuatu bagi dunia kesenian di Banjar.
Saya beberapa kali mendorongnya untuk meyakini satu profesi yakni menjadi networker budaya Banjar. Tentu saja selalu ditolak beliau. Katanya dia bukan siapa-siapa, seadanya saja dan sebisanya membantu semua kawan-kawan seniman. Namun Paman melihat sendiri, teman-teman berdatangan, menyolatkan bahkan tangis ke tangis bersahutan melepas pian Paman. Itu tanda Paman adalah orang yang memiliki arti di ekosistem ini.
Saya juga harus bercerita bagaimana Sanggar-sanggar seni di Hulu Sungai hampir semuanya pernah dibantu Paman Wanyi untuk mendapatkan banyak program tingkat provinsi hingga nasional. Salah satunya Sanggar tempat saya belajar Sanggar Anak Pandawa yang dibantu sedemikian rupa oleh Paman Wanyi Bersama Lidya sahabatnya hingga mendapatkan bantuan dari Kemendikbud di Tahun 2017 seingat saya. Selain itu Paman Wanyi juga dekat dengan banyak tokoh seniman banua, para empu dalang, para maestro dan menariknya Paman wanyi selalu siap sedia menjadi “pelayan” mereka dalam banyak hal.
Pian urang baik, dan baik banar. Semua orang mengakui itu Paman. Paman, salah satu hal yang tidak akan pernah putus hubungan amal jariah pian dengan kami semua adalah sedekah ilmu pengetahuan pian yang akan selalu beranak pinak menerangi kubur hingga membawa pian ke sisi Tuhan yang Maha Esa dengan tenang.
Untuk terakhir kali ulun melihat wajah pian, senyum itu tidak akan ulun lupakan. Terima kasih untuk segala persahabatan dan papadah pian guru dan dangsanak ulun Wanyi Mandarung.
Terlalu banyak yang ingin ulun tulis Mang, kebaikan pian tidak akan cukup dituliskan di lembaran kertas ini. Sekarang semua merasa betapa berharganya pian dengan pengetahuan pian.
Sandiwara Dangdut akan segera kami pentaskan Paman, jangan lupa datang dan nonton kami lah.
Peran pian akan tetap pian yang mainkan. Pian kada kawa diganti. Bait lagu kesukaan pian dari lagu pulau pandan menjadi penanda penutup tulisan ini Mang;
Pulau pandan jauh di mata
Di balik pulau, di balik pulau angsanya dua
Hancur badan dikandung tanah
Budi nang baik, budi nang baik diganang jua