BUKAN tanpa alasan saya menyebut nama Wanyi beberapa kali di kegiatan BISAFEST, program kerjasama Kemenparekraf dan Anggota Komisi X DPR RI Hasnuryadi Sulaiman serta Dewan Kesenian Banjarmasin, 15 Maret 2024 yang lalu. Selama ini jika ingin mencari informasi awal dan kemudian penelusuran tentang seni, adat dan budaya di Kalimantan Selatan dialah salah satu penghubung yang dapat diandalkan. Istilah yang sering dipakai Halim Hade untuk menegaskan profesinya terkait kerja seperti itu adalah Networker Kebudayaan.
Malam (20/3/2024) saya sedang berbincang tentang seni budaya dan upaya-upaya strategis dalam pemajuan kebudayaan, bersama Edi Sutardi dan beberapa teman muda mahasiswa di Kampung Buku. Sedang serius-seriusnya ngobrol, istri saya yang duduk di samping menjeda. “Wanyi meninggal, kayanya tabrakan,” katanya. Saya dan Edi langsung blank, suasana hening seketika. Alid (Nurmaulidiani Awaliyah) yang di samping istri menangis, ia juga mendapat pesan WA serupa, bahkan termasuk gambar Wanyi rebah di jalan dari grup relawan Kalsel. Tangisan Alid makin tinggi, pesan dan telpon silih berganti. Kabar terakhir dia sudah dibawa ke ruang jenazah RS Ulin Banjarmasin. Saya diam, Edi diam, sampai kemudian saya bilang, “Kita ke Ulin!?” Edi mengiyakan. Kami berangkat berempat dari Kampung Buku.
Sepanjang jalan Alid nangis sambil telponan ke sana ke mari, mengabarkan dan menjawab pertanyaan kawan-kawan dari mana-mana soal kejelasan berita kepulangan Wanyi. Begitupula hape saya berbunyi terus tapi tak bisa saya angkat karena sedang nyopir. Demikian antusiasnya pertanyaan dan kabar itu saling bertukar tangkap, karena Wanyi punya jaringan pertemanan yang luas dan hampir semua tak percaya atau meragukan macam-macam info yang begitu cepat di media sosial. Dia masih relatif cukup muda (38 th), jarang terdengar sakit, dan saat kejadian dia memang sedang di KCM bersama beberapa rekan seniman muda.
Berita itu valid, sahih, ketika saya menghadapi jasadnya yang terbaring di ruang jenazah. Saya memandangnya sendiri di pintu tepat di depannya, sambil menyampaikan doa-doa, ketika seorang perempuan masuk diantar tetangganya dari yang saya dengar sekilasan. Perempuan itu menangis memeluknya, lama, suaranya makin tinggi, hingga saya memutuskan keluar ruangan. Belakangan saya tahu itu Ain, istri Wanyi.
Bergelombang orang-orang datang dan memenuhi gedung ruang jenazah yang tak seberapa itu. Parkirannya yang kecil tumpah ruah dengan orang-orang, tua muda, dan dari banyak kalangan. Para senior seperti Ka Agus, Ka Ifir, Iwan, yang seangkatan hingga wajah-wajah mahasiswa.
Wanyi adalah “Paman” mereka di komunitas Kampoeng Seni Boedaja ULM. Wanyi juga anggota atau setidaknya tokoh-penghubung di AAI Kalsel, dia ada di banyak grup seni budaya yang saling terhubung tidak hanya di Kalsel tapi menjangkau banyak daerah di Kalimantan dan Sumatera-Banjar (Tambilahan, Tungkal, Serdang, dst.)
Dia adalah pemain panting, Mamanda, Japin, bahkan terakhir rajin membintangi produksi film-film lokal sebagai abah, paman, dll. Terkait “keaktoran-budaya”nya ini, ia dan Arif RH pernah buat video-video sederhana di Youtube Kambuk (kampung buku) dengan tajuk ‘Pandiran Sutil’.
Sedemikian luas dan banyak jelajah budaya Wanyi, semakin ia dikenal di mana-mana. Itulah sebab saya menyebut namanya di hadapan orang Kementerian Pariwisata dan Ekraf RI, Kadisbudporapar Kota Banjarmasin, perwakilan Anggota DPR RI Hasnuryadi, dan banyak kalangan seni budaya sore itu di ballroom hotel Harper Banjarmasin. Wanyi sendiri hanya cengengesan namanya disebut, dan kata istri saya dia mondar-mandir dari satu grup kelompok meja ke kelompok lainnya, dari satu ruang rokok ke ruang rokok lainnya. Dia dikenal di mana-mana, generasi tua maupun muda.