Lalu lintas sekitar warung kopi kami perlahan sunyi. Waktu memang sudah lewat tengah malam. Teh panas yang sedari tadi kuminum perlahan menipis. Fulah terlihat menguap karena kelelahan. Sepertinya ketertarikan itu mulai surut darinya. Lantas ia bertanya.

“Kau masih menyimpan surat Ustadz Zakir itu?”

Aku mengangguk. Menepuk-nepuk tas ransel.

“Saat Ustadz Zakirmu mengaku mendengar apa yang kau dengar sejak kecil, juga suara para tumbuhan hidup yang memberitahukan khasiat serta kegunaannya, aku teringat ada hubungannya dengan pinolin.

Pada bagian Ustadz Zakir menjelaskan perihal ayahmu yang melihat, mendengar, dan merasakannya, aku setuju. Tapi aku tak setuju jika dia mengatakan bahwa itu di luar kemampuan dan jangkauan akal pikiran manusia normal,” Fulah memerotes ceritaku. Aku berusaha mencerna pemaparannya.

“Maksudmu, pinolin yang kau katakan itu, memungkinkan terbukanya pintu menuju alam super kesadaran? Sampai seorang manusia dapat mengakses informasi yang terkandung dalam alam semesta ini? Begitu?” aku mencoba menjelaskan pemahamanku.

“Tepat sekali” Fulah mengejutkanku dengan menjentikan jari jempol dan tengahnya di depan wajahku.

“Tunggulah sebentar. Cerita ini akan menegangkan. Aku ke toilet dulu.” Pintanya beranjak dari hadapanku pergi ke toilet umum di seberang warung kopi.

Sahabatku yang satu ini. Aku tahu betul perangainya. Tak ada yang tak menarik baginya apa-apa yang ada di bumi ini. Mungkin sesekali aku akan menceritakan tentang kehidupannya sewaktu kami sama-sama di pondokan, di pesantren Darussalam.

Meski lalu-lintas di sekitar warung kopi sudah sepi, beberapa pengunjung masih memadati kursi-kursi. Bagaimana tidak, para pelayan di sekalian warung ini sengaja ‘dipasang’ gadis-gadis yang bertutur lembut dengan pakaian-pakaian yang aduhai. Sekali lagi, aku memesan kopi hitam yang agak pahit untuk menahan berat pelupuk mata di dini hari.

Tak lama setelahnya, Fulah telah kembali. Duduk di hadapanku dan juga memesan kopi yang sama.

“Bagaimana kopinya?” Fulah berbasa-basi.

“Persis bikinanmu sewaktu di pondokan,” jawabku

“Hmmm… bikinanku lebih dari ini!” ucapnya sembari menyambut secangkir kopi hitam dengan tangan kiri dari pelayan perempuan. Mendengar penjelasan Fulah, wajah perempuan itu memble.

Lantas pergi meniggalkan kami berdua yang tertawa kecil seraya Fulah menutupi mulutnya dengan telapak tangan kanan.

“Sampai di mana kita tadi?”

“Alam semesta dan tumbuh-tumbuhan.”

“Hei… kau kira pelajaran IPA!” Fulah mengejek sembari melanjutkan perbincangan dengan tergesa-gesa.

“Perlu kau pahami, Val. Otak mampu merekam dan menangkap segala informasi yang terkandung dalam alam. Bahkan bisa memprediksikan jejak memori yang melekat pada suatu benda. Jadi, kemampuan itu bukan sesuatu yang mustahil.”

“Memangnya ada yang begitu, Ful?” Aku menanggapinya seolah meragukan. Fulah cemberut. Lantas kembali menjelaskan dengan lebih meyakinkanku.

“Dengar, partikel-partikel keringat dari seseorang at dari tangan sanggup menempel di satu benda sampai seribu tahun lamanya. Seperti jarimu yang menempel di cangkir itu,” Fulah menunjuk tanganku.

“Kau percaya kalau cangkir itu memuat sebagian memori dari si pemiliknya? Itu adalah sebagian dari kekekalan hukum zat sehingga benda-benda itu sanggup memuat memori seorang makhluk hidup di sekitarnya. Apalagi yang bersentuhan dengannya. Itu rahasia Tuhan, Val. Percaya atau tidak, tetap saja itu ilmu. Aku mempelajarinya sewaktu kuliah di fakultas MIPA jurusan kimia.” Fulah membeberkan pendapatnya.

Aku hanya mengangguk-angguk seperti permulaan tadi. Memang, pendapat Fulah sulit sekali untuk dibantah. Benar ataupun salah, aku tak ingin mendebebatnya.

“Apa benar kau melihat Ustadz Zakir sedang bertafakur dan bermunajat di kamarnya lantas tak keluar sampai empat puluh malam kecuali perlu?”

“Tentu saja. Itu, kan, yang disebut dengan khalwat atau suluk. Bukankah kau juga mengetahuinya. Saat kita sama-sama pergi pengajian. Kisah itu sering sekali ada di kitab-kitab pelajaran akhlak dan tasawuf. Tapi mengapa aku melihat cahaya berlimpah yang menyilaukan mataku, Ful? Heran. Padahal setelah aku dewasa, aku tak pernah lagi melihat cahaya yang pernah ada di dalam kamar Ustadz Zakir.”

“Mungkin kau belum mengerti yang disebut hormone 5-Meo-Dmt, Val!” Fulah menohokku dengan bahasa planetnya itu sambil tersenyum angkuh. Benar, kan apa kataku, mungkin begitu maksud senyuman liciknya.

“Seingatku, hormone tersebut tak perlu keluar dalam jangka waktu empat puluh hari,” sambungnya. “Aku ingat sekali, seorang yang telah bermeditasi atau suluk selama seminggu tanpa henti, maka kelenjar pineal 5-Meo-DMT langsung berfungsi mendatangkan cahaya dan mengeluarkan cahaya. Itu disebabkan kumpulan kilatan cahaya sewaktu kita membuka dan menutup mata. Seperti ini!” ujar Fulah mencontohkan sambil mengedip-ngedipkan matanya di hadapanku.

“Lalu apa yang terjadi denganku sewaktu silau melihat ruangan kamar Ustadz Zakir? Apa juga termasuk seperti yang kau jelaskan barusan?” Aku berusaha mematikan penjelasannya agar dia berhenti. Kukira, dia tak sanggup lagi menjelaskannya.

“Beda kasus, Val. Itu namanya Foton. Seorang meditator akan mengeluarkan emisi foton pada tubuhnya. Dan itu hanya dapat dilihat oleh mereka yang memiliki mata ketiga khususnya anak-anak. Sebut saja Ustadz Zakir adalah meditator dan kau memang melihatnya sewaktu masih anak-anak, bukan?”

Aku mengangguk saja. Setengah paham. Setengahnya lagi wallahu’a’lam.

“Sebab, kelenjar pineal dalam tubuh anak-anak berfungsi normal. Anak-anak yang melihat akan menutup wajahnya dan merasa menyilaukan seperti matahari terik. Persis seperti yang kau rasakan dulu. Itu normal!” Fulah menepuk pundakku.

“Orang-orang yang sampai ke tahapan ini, menghasilkan sinar terang di kepalanya. Mampu melihat dengan mata ketiga seperti memahami pikiran-pikiran pra bahasa atau telepati pada orang lain. Dia mengetahui kondisi kejiwaan seseorang tanpa harus mewawancarainya. Itu yang kudapat dari kampus, Val! Ha-ha-ha-ha-ha!” Fulah tertawa bangga membeberkan. Mungkin juga mentertawakan ketidaktahuanku.

Terang saja Ustadz Zakir mengetahui perihalku sewaktu obrolan tentang penglihatan mayat malam itu. Untuk sementara, penjelasan Fulah aku terima cukup masuk akal. Meski aku mendengarnya seperti bahasa makhluk asing. Alien.

“Bagaimana kau sampai kuliah di Fakultas itu? Bukannya dulu kau dulu ingin menjadi menjadi penulis novel terkenal. Seharusnya kau kuliah di jurusan bahasa, Ful.” Aku mencoba mencari topik lain. Mencairkan otakku karena dibebani dengan bahasa-bahasanya yang tak kumengerti.

“Hmmm… tidak semua penulis itu kuliah di juruan bahasa, Val. Banyak penulis-penulis hebat yang justru sama sekali tak kuliah. Ceritanya panjang. Awalnya memang hanya tuntutan kedua orangtuaku. Kalau tidak, aku tak akan dibiayai lagi melanjutkan pendidikanku setelah 10 tahun menuntut ilmu di Pesantren Darussalam, gik!” Fulah tersedak. Langsung melanjutkan ceritanya.

“Setelah lulus, aku ditawari orang tuaku antara berdagang atau melanjutkan pendidikan. Bahkan dia menawari akan selalu memberikanku modal sampai tiga kali rugi jika aku betul-betul menekuni bisnis dagang tersebut dengan mengelola apapun yang kuingini. Ya, seperti pekerjaannya saat ini, pengusaha. Tapi dia sempat berpesan, tak ada sebaik-baik harta yang bisa diwariskan kepada seorang anak selain ilmu pengetahuan.

Dari perkataannya itu pula, aku memilih melanjutkan pendidikanku dengan kuliah. Dan, di sinilah aku sekarang. Yang duduk di warung kopi bersamamu. He-he-he-he!” Sambil tertawa Fulah mengambil sebuah roti lalu memakannya. Sambil mengunyah roti, Fulah bertanya.

“Lantas, bagaimana ceritanya kau jadi bersekolah ke Darussalam? Padahal aku sering diejek teman-temanku sewaktu bersekolah di sana. Ya, dengan pertanyaan: Mau jadi apa setelah aku lulus nanti lah? Kerja apa lah? Dan lah lah lainnya, begitu.” Fulah menjelaskan dengan mimik muka mencontohkan ejekan tersebut. Sembari mulutnya bergumpal roti.

“Betul, Ful. Aku sering menerima ejekan itu. Semua gara-gara Ali!” jawabku. Fulah berhenti mengunyah roti yang masih dimulutnya.

“Berarti Ali yang mengajakmu. Tapi mengapa sewaktu di pondokan kau seperti lebih terpandang. Sering menjadi omongan orang-orang di kampung pasayangan? Bagaimana ceritanya.” Ia melanjutkan kunyahannya lantas mencelupkan potongan roti ke dalam kopi dan kembali memasukkannya ke dalam mulut.

“Waktu itu ketika Ramadhan…!”

BERSAMBUNG