ORANG Banjar, atau orang yang pernah tinggal di kawasan Banjarmasin umumnya, pasti mengenal istilah ini: ‘warung sakadup.”
Orang Banjar, terutama kaum laki-lakinya, adalah pengunjung warung. Pagi hingga malam sering mereka habiskan di warung untuk minum teh dan tentu saja ngobrol. Umumnya mereka juga senang makan di warung. Itu bukan berarti mereka jarang masak di rumah. Ini semacam karena warung menjadi tempat berkumpul orang kebanyakan. Warung merupakan bagian penting dari kehidupan orang Banjar. Jika Anda pendatang, dan ingin segera akrab dengan orang Banjar, datanglah ke warung (selain masjid tentunya). Anda akan segera kenal dan dikenal banyak orang.
Lalu bagaimana kalau Ramadan? Tentu sebagian besar akan tutup, namun sebagian kecil akan tetap buka, terutama yang ada di pasar (payahnya pasar di Banjarmasin banyak sekali). Bagaimana bisa? Padahal orang Banjar, yang identitasnya bertumpang tindih antara agama dan suku, Islam ya Banjar dan Banjar ya Islam, bisa menolerir hal ini? Padahal kawasan Banjar yang dalam sejarah sosialnya pernah menerapkan suatu qanun syariah yang disebut “undang-undang Sultan Adam” semasa di bawah kesultanan Banjar?
Berbeda dengan hari biasanya, sebagian besar warung yang buka tampil lain dan unik. Warung mereka akan ditutup kain keliling dengan rapat. Dari luar tidak akan tahu siapa yang ada di dalam. Yang kelihatan hanya kaki-kaki mereka seperti ulat kaki seribu. Nah dari sini muncul istilah “sakadup” itu.
Waktu kecil saya pernah bertanya kepada ayah mengapa warung sakadup itu boleh ada?
Sebagai anak muda Muslim saya kecewa sekali dengan sakadup itu. Rasanya itu pelanggaran mutlak terhadap ajaran Islam. Ayah saya menjawab begini: pertama, mungkin ada yang non Muslim dan mereka perlu makan. Selain orang Banjar, tentu saja ada yang bukan muslim misal dari kalangan suku Dayak atau pun Jawa, meski jumlah mereka pasti sangat minor. Kedua, pasti ada muslim musafir yang tidak wajib puasa memerlukan kehadiran warung. Ketiga, pasti ada orang yang sakit, ibu hamil dan menyusui, dan juga anak kecil, yang butuh warung itu.
Okay, penjelasan itu bisa diterima. Tapi jawaban keempat cukup mengejutkanku. Yaitu para pekerja keras, seperti buruh tukang angkut atau tukang becak. Beratnya pekerjaan tak memungkinkan mereka untuk puasa. Aku sendiri menyaksikan hal ini. Ayahku membeli bahan sembako untuk dibawa dan dijual ke Kota kabupaten. Dari pasar yang mepet dengan sungai, gula, beras atau minyak goreng dibawa dan diangkut ke atas truk. Itulah pekerjaan utama mereka. Dengan udara yang panas, rata-rata buruh angkut itu tak sanggup puasa. Mereka menjadi pengunjung tetap sakadup. Konon ada ajaran yang membebaskan mereka untuk puasa dan menggantinya di hari lain, asal meletakkan niat terlebih dulu. Benar atau tidak biar fiqih yang menjawab.
Suatu kali aku menemani ayah ikut kulakan barang pada bulan Ramadan. Rupanya aku terkena demam. Ayah menyuruhku untuk berbuka saja karena sakit. Aku sebenarnya eman, tapi akhirnya menyerah. Ayah mengantarku ke warung sakadup untuk makan siang dan minum obat. Di dalam aku berjumpa dengan dua orang buruh yang mengangkut barang-barang sembako kami tersebut.
Tapi ayah kupikir masih menutupi kenyataan lain. Warung sakadup itu juga didatangi oleh segelintir kalangan Muslim yang bukan masuk kategori di atas. Mereka tidak sedang dlm perjalanan, tidak sakit, dan juga bukan pekerja fisik yang keras. Mereka sengaja tidak puasa. Aku tanyakan hal ini pada ayah.
Ayah menjelaskan. Ya mereka memang belum sanggup puasa baik secara lahir maupun batin. Kenyataan bahwa warung itu ditutup rapat dengan kain dan orang yang masuk ke sana jalan mengendap, sambil tengok kiri kanan, menunjukkan bahwa mereka malu karena belum bisa menjalankan puasa ramadan. Kita tidak bisa memaksa mereka. Doakan saja mereka tahun-tahun mendatang sudah kuat secara lahir dan batin untuk berpuasa.
Waktulah yang mengajarkanku kebenaran apa yang diucapkan oleh ayah ini. Beberapa orang yang kuketahui pengunjung setia warung sakadup, termasuk di antaranya, beberapa temanku, belakangan tidak lagi ke sakadup dan sudah menjalankan puasa. Perjalanan kehidupan membuat mereka berubah, makin dewasa, makin bijak. Begitulah jalur pengalaman keagamaan yang harus mereka lewati.
Warung sakadup menurutku adalah bagian dari kearifan orang Banjar. Pendekatan budaya plus kebijakan yang dibentuk oleh kedalaman dan kearifan pengetahuan agama, serta pengalaman sebagai kota dagang, membuat mereka bisa menolerir kehadiran warung sakadup. Namun itu sama sekali tak mengurangi relijiusitas orang Banjar. Orang yang berpuasa tetap jauh lebih banyak, langgar dan masjid sangat hidup, suasana bulan puasa terasa sekali dan sakadup adalah bagian dari suasana itu. Selain “pasar wadai” yang sudah terkenal itu.
Warung sakadup menjadi alegori. “Islamku baru level sakadup” adalah kalimat yang bisa bermain ganda. Satu ejekan terhadap orang yang islamnya masih level bawah. Satu lagi ungkapan rendah hati seseorang bahwa imannya belum apa-apanya, meski sebenarnya sudah tinggi.
Para tuan guru senantiasa berdoa: “Ya Allah ya Tuhan, semoga mereka yang tahun ini masih ke sakadup, tahun depan sudah tidak lagi.” Amin, timpal hadirin yang di antaranya mungkin pengunjung sakadup. Kenyataannya memang setiap tahun selalu ada orang yang tak lagi ke sakadup seperti tahun-tahun sebelumnya. Meski generasi atau orang yang mendatangi sakadup dari umat Islam sendiri tetap ada. Tapi begitulah kenyataannya dunia. Tidak semua orang bisa ‘dipaksa’, lebih-lebih kalau kita percaya, iman adalah soal hidayah.