DALAM lanskap dinamika zaman, nama Misbach Tamrin berada di deretan nama-nama penting sesanggar Bumi Tarung yang terafiliasi dengan Lembaga Kebudayaan Lekra (Lekra). Secara singkat, Lekra merupakan organisasi para budayawan serta seniman yang haluan kiri, didirikan setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) terbentuk di akhir tahun 1949. Kemudian, pada 17 Agustus 1950 oleh A.S. Dharta, M.S. Ashar, Henk Ngantung, Arjuna, Joebaar Ajoeb, Sudharnoto, dan Njoto menyatukan suara dan membentuk Lekra.
Misbach Tamrin menjadi bagian penting dalam perjalanan jejak sanggar Bumi Tarung yang didirikan di Yogyakarta bersama Amrus Natalsya, Djoko Pekik, Kuslan Budiman, Isa Hasanda, Haryatnopada Tan, Ng Sembiring, Sutopo, Adrianus Gumelar, Sabri Djamal, Suharjiyo Pujanadi, dan Harmani. Telah banyak dipaparkan lewat takzim narasi di media-media daring dan cetak yang bersumber pada catatan lama dan data utama dalam buku dari tuturan pelaku Sanggar Bumi Tarung, penyintas tragedi 1965 bahwa tujuan didirikannya Sanggar Bumi Tarung tak lain untuk mengajak seniman menggunakan prinsip 1-5-1 dalam penciptaan karya.
Secara tersirat sanggar ini menentang karya seni abstrak dan pada nadirnya banyak menguak dan berfokus pada buruh tani yang bersinyalir beraliran realisme sosialis. Menelisik sosok Misbach Tamrin lewat penelusuran kembali masa lalu dan lika-liku dukacita yang terkungkung oleh lintasan zaman. Selama 13 tahun mendekam sebagai tahanan politik.
Di awal jejaknya pada tahun 1950an semasa masih berstatus pelajar, Tamrin sapaan mudanya belajar melukis dari seorang pelukis kenamaan Indonesia asal Banjarmasin yaitu Gusti Sholihin. Masuk ASRI 1959 ketika lulus SMA. Bakatnya melukis telah ada sejak kecil. Perjalanan jejak dan karya Misbach Tamrin sangat epik dan cadas menghadapi jalan hidup sebagai seorang oposan ideologis. Nama-nama tokoh seniman Indonesia mengalir saat metadata Misbach Tamrin semakin digali lebih intim.
Karya-karya Misbach Tamrin sangat monumental dan sebagian besar dibuat dengan gaya realis, beberapa di antaranya, terutama dari periode awalnya, memiliki sentuhan impresionisme. Tema utamanya meliputi kehidupan rakyat biasa, patriotisme, revolusi, sejarah, peristiwa 30 September 1965, dan lain sebagainya. Selain sebagai seniman, Misbach Tamrin juga menulis dan menerbitkan beberapa buku tentang seni Indonesia.
ANTARA TAKZIM DAN KONFONTRASI
Komunitas Akademi Bangku Panjang Mingguraya (ABPM) Banjarbaru di pertengahan 2023 mengajukan sosok Misbach Tamrin sebagai subjek pada kegiatan Dokumentasi Karya dan pengetahuan Maestro (DKPM) atau OPK Rawan Punah lewat Dana Abadi Kebudayaan, Dana Indonesiana di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaam, Riset, dan TeknologinRepublik Indonesia.
Giat yang ditaja oleh Museum dan Cagar Budaya dilaksanakan oleh ABPM dengan 3 output, yaitu; buku katalog karya, buku biografi, dan film dokumenter. Sosok Misbach Tamrin yang sangat fenomenal dan dianggap kiri. Tak jarang, selepas ia dibebaskan dari tahanan politik lingkungan sosial kerap mengerdirkan dirinya.