NOORHALIS Majid, pria kelahiran 1970 itu baru saja mengisi kegiatan literasi kepada kawula muda yang tergabung dalam komunitas Mazta (Mazelis Kita). Usai kegiatan pada jelang sore, dia menemui awak media Asyikasyik di salah satu ruang di Rumah Alam, Sungai Andai, Banjarmasin.

Di atas meja kayu, dia bercerita banyak hal tentang keluarga, pendidikan, hingga perjalanan kariernya. Semasa remaja, Majid meminta izin kepada orangtuanya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

“Waktu itu, saya minta izin ke Abah, ingin lanjut kuliah. Melihat kondisi ekonomi tidak mampu, maka saya minta uang transportasi aja. Dengan berbekal duit 38 ribu, pergilah saya ke Balikpapan. Saat itu belum ke Banjarmasin,” ucap Majid, sapaan akrabnya itu kepada Asyikasyik.com, pada Jum’at (10/2/2023) sore.

Dengan mandiri, lelaki berperawakan tinggi berbaju hem itu bekerja di salah satu perusahaan kontraktor pada bidang logistik. Majid juga mencari kampus swasta untuknya melanjutkan studi sembari bekerja untuk biaya hidup. Di mata pimpinan, sosok Majid penuh dedikasi selama bekerja dan menunjukkan etos kerja yang bagus. “Perusahaannya senang dengan saya, karena dinilainya jujur, bekerja dengan ulet dan terampil,” ujarnya.

Majid berusaha untuk mengongkosi hidupnya di tanah perantauan. Dalam hal mencukupi makan sehari-hari, dan membayar uang pangkal kuliah. Tak lama, dia berpikir kalau bekerja saja maka tidak ada peningkatan terhadap dirinya secara pribadi.

“Sembari bekerja, waktu itu masih semester 5. Setelah dipikir bahwa kalau bekerja saja maka tidak berkembang. Kesadaran itu ingin fokus kuliah Studi Manajemen di UNTRI Balikpapan, namun terhenti cuma di semester lima,” ucap mantan Kepala Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Selatan itu.

Di semester tersebut Majid meninggalkan dunia perkampusan demi bekerja di Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Lantas dia berpikir kembali dengan matang untuk melanjutkan pendidikan di Balikpapan, yang ditinggalkannya selama setahun. Namun tak lama, dia meninggalkan Balikpapan ke Banjarmasin demi mencapai cita-citanya dalam mewujudkan pendidikan semata.

Awal Tertarik Berjejaring dalam Organisasi

Semasa kuliah, Majid masih mengingat bahwa dirinya pernah jadi Ketua Remaja Mesjid di BTN Telindung, Balikpapan. Kala itu, dia bertemu seorang jemaah yang mengajaknya bekerja dalam sebuah proyek, dan pernah membantu dalam pengerjaan sebuah bangunan rumah yang cukup fantastis.

“Jemaah itu bertanya ke saya, ikam (kamu) maukah bekerja? Kalau begitu ikut aku saja. Mengajak dalam berproyekkan, dan setelah itu proyek beliau membangun sebanyak 600 unit rumah dinas,” bebernya.

Dan proyek selanjutnya, Majid menolak karena ingin melanjutkan kuliahnya. Tahun 1992, dia berangkat ke Banjarmasin dengan modal yang ada, dan tempat inilah, dia mengadu nasibnya sebagai aktivis NGO.

“Padahal, proyek besar. Katanya ikam jangan kemana-mana ya. Namun, aku tolak karena ingin kuliah. Lalu, beliau bertanya ke mana? Aku jawab ke Banjarmasin,” cerita Majid, mengenang.

Sebelum menjalankan kuliah, Majid menyadari uangnya tidak cukup untuk mengongkosi pendidikan maka dirinya langsung masuk ke dunia Non-Governmental Organization (NGO). Dia bergabung ke Lembaga Wahana Indonesia Muda (LEWIM), yang turut ditempa dalam menapaki hidupnya sebagai mahasiswa. “Aku bersama kawan-kawan, guring (tidur) di LEWIM dan sambil berkuliah,” kata alumnus SMEA Negeri Kotabaru itu.

Di usia 22 tahun, Majid telah berhasil lulus menjadi sarjana Studi Manajemen Keuangan di STIE Indonesia Banjarmasin. Setelahnya, dia mengadu nasibnya menjadi peneliti di lembaga riset Amerika.

“Kolaborasi dengan ULM, Universitas Indonesia (UI) dan tren Amerika. Survey Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (SAKERTI) tahun 1997,” jelasnya.

Sebagai koordinator lapangan, Majid bertanggungjawab dalam mengobservasi tempat untuk riset dan penginapan, selama peninjauan lapangan. Selama setahun, dia mengingat antara tahun 1997-1998 itu hanya fokus penelitian di lapangan tanpa terlibat demonstrasi dalam menyongsong reformasi.

“Karena pernah bermodal belajar organisasi. Saya ingin jadi koordinator lapangannya, waktu itu bersaing dengan alumnus berbagai fakultas di ULM. Selama setahun, jelang reformasi saat itu saya malah di lapangan, dan menyesal sekali tidak ikut,” ungkap Majid, aktivis NGO berbasis HAM dan keberagaman.

Ternyata bersama tim riset, Majid mengaku hasil penelitiannya selama itu dianggap tidak valid. Karena, menurutnya ditinjau dari peristiwa krisis moneter pada Reformasi 98 tersebut. “Diminta untuk terjun ke lapangan lagi, namun saya berhenti untuk tidak melanjutkannya,” ujarnya.@

…... (bersambung) klik di sini