sebelumnya klik di sini
PADA tahun itu, Majid mempersunting isterinya bernama Rakhmalina Bakhriati, salah satu pelopor Lembaga Kajian Keislaman Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin yang berdiri tahun 1994. Semasa itu, dia membantu dalam merintis LK3 Banjarmasin bersama pelopor pertama, yakni Hasbullah (Akademisi IAIN Antasari) dan pengurus lainnya.
“Tahun 1999, saya ditunjuk sebagai Direktur LK3 Banjarmasin. Karena waktu itu tidak ada lagi yang berkeinginan, sebab kebanyakan mereka melanjutkan studi pascasarjananya,” tutur Majid, alumni Studi NGO-MCP di UI 2002.
Sebagai direktur, Majid berusaha untuk melengkapi kekurangan di LK3 Banjarmasin, entah terkait sarana-prasarana, manajemen keuangan dan administrasi lainnya.
Semasa itu pula, para karyawan telah menerima gaji selama bekerja menjadi NGO berbasis kajian agama, keberagaman dan menjunjung nilai HAM. “Sampai generasi kepengurusan saat ini, tidak ada yang tidak menerima gaji. Alhamdulillah berjalan dengan baik, pada akhirnya mereka bekerja seperti pada umumnya. Bisa berkeluarga dan semacamnya,” ungkap Majid.
Kemudian, Majid membangun networking dalam jaringan kerja yang dibentuknya perlahan. Relasi antara lembaga, perguruan tinggi dan sebagainya, bahkan membuat kajian isu pun dipikirkannya.
“Isu-isu yang juga mendukung keberlangsungan LK3 Banjarmasin. Jelang pasca reformasi, saya bersama kawan-kawan menggodok dalam kajian Undang-undang (UU), otonomi daerah dan sebagainya,” kata Majid, alumni pascasarjana Studi Ekonomi Pembangunan, FEB ULM.
Mengikuti pergolakan politik, Majid bersama rekan aktivis NGO; Hairansyah memiliki kesadaran untuk merebut kekuasaan pada jelang Pemilu 2004. Maka, dia bersama rekan aktivisnya untuk bergabung ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Kala itu, Hairansyah menjabat ke KPU Provinsi dan saya menjabat Kepala KPU Kota Banjarmasin. Selama 2003-2008, namun saya selalu menegaskan diri kepada siapa saja bahwa saya adalah orang LK3 yang berada di KPU,” ungkap Majid, penuh semangat.
Majid menyadari bahwa LK3 Banjarmasin sangat berperan besar dalam hidupnya. Setiap hari, dia mengaku berada di tempat yang membesarkannya tersebut. Sepulang kerja, baik hendak istirahat sesaat pada siang dan malam hari.
“Sembari di KPU, saya banyak sekali menggodok program demokrasi yang banyak disetujui waktu itu. Sejak 2003, karena banyak program yang dijalankan maka kami (LK3) menyimpan dan mengumpulkan uang dari hasil kerja sama untuk membangun rumah yang menjadi kantor,” cerita dia.
Ketika Majid selesai pengabdiannya di KPU Banjarmasin maka banyak tawaran lembaga terhadap dirinya. Tawaran itu datangnya dari luar pulau Kalimantan, seperti Jakarta dan Yogjakarya, yang memohonnya bergabung bahkan dijadikan direktur.
“Namun, aku tolak. Dan kembali lagi ke LK3 Banjarmasin, tentu meminta bantuan kawan-kawan untuk mengawal program yang dibuat,” katanya.
Kata Majid, program yang diusung yaitu “Bagaimana Langkah Demokrasi Mendorong Lembaga-Lembaga Pesantren”. Jadi konsepnya demokrasi berbasis pesantren, dia mendorong LK3 bekerjasama dengan pesantren-pesantren di Kalimantan Selatan.
“Jadi ada muzakarah-muzakarah demokrasi di pesantren. Keliling di Amuntai, Tanjung dan wilayah lainnya. Dua tahun berlangsung dibantu oleh lembaga dana di Belanda dan dialognya menarik, ada dinamika diskusi yang serius seperti menanyakan apakah demokrasi ini kafirkah atau haramkah? Apakah sesuai dengan nilai-nilai islam,” ungkap Majid, tersenyum.
Tak lama, Majid yang dinilai aktif bergerak di bidang organisasi kemasyarakatan. Dia diajak oleh Arief Furqan, rekan aktivisnya yang mendorong untuk mendaftar jadi Kepala Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Selatan.
majid 10 tahun berkarier di Ombudsman
Bagi Majid, tugas dan fungsinya tak jauh berbeda dengan pekerjaannya di LK3 Banjarmasin. Kalau di Ombudsman, menurutnya fungsi dalam bekerja untuk mengawasi pelayanan publik atau masyarakat setempat.
“Ombudsman itu bagiku adalah penegaraan masyarakat. Karena menyerap aspirasi-aspirasi warganya,” tutur Majid, penulis Paribahasa dan Ungkapan Banjar.
Masa Tua, Majid Berbudaya Dengan Literasi
Ba’da subuh, Majid membuka laptop Macbooknya. Dia mengetik tulisan yang memuat Paribahasa dan Ungkapan Banjar.
Setiap harinya, Majid menyempatkan untuk menyicil beberapa tulisan sastra untuk dibukukan. Buku yang diterbitnya, adalah Tatarang Tangguk (2020), Hambar Satrup (2021), Dijamak Jibril (2021) dan Bawa Batanang (2022).
Semenjak pandemi Covid-19, Majid mengaku produktif dalam menulis sehingga mampu melahirkan banyak karya sampai sekarang.
“Selama di Ombudsman, saya sudah terlatih menulis 7 buku bersama kawan-kawan. Di era sekarang, banyak menjadi penikmat saja bukan pelaku atau pembuat sejarah itu,” tutur Founder Rumah Alam Banjarmasin.
Sehingga, Majid berpandangan bahwa kita hari ini sebaiknya melakukan sesuatu yang dapat berdampak kepada seseorang. Dengan menulis, menurutnya jadi produsen pengetahuan yang disebarkan lewat karya.
“Buku sebelumnya cuma 700 tema. Nanti di buku selanjutnya, kita buat 1000 tema pada buku series kelima dan nantikan saja,” kata Majid, mengenalkan sejumlah karyanya. Majidpun membeberkan tulisannya nyaris rampung. Dia mengungkapkan cuma tinggal 15 artikel, maka genap 1000 tema Peribahasa dan Ungkapan Banjar tersebut.
“Setiap harinya saya menulis. Basisnya kebudayaan, dan merefleksikan segala ruang hidup yang terjadi. Tulisan-tulisan itu tak hanya diterbitkan, tetapi diperbincangkan setiap Kamis lewat program Palindangan Noorhalis Majid pada channel Pro 1 FM 97,6 RRI,” tandasnya.@