WAJAH Abdani Solihin, pria kelahiran asal Banjarmasin itu tersenyum ketika diwawancarai oleh Asyikasyik.com secara khusus. Direktur Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin itu menceritakan bahwa dirinya berkecimpung di dunia organisasi kemasyarakatan tersebut karena ruang dialog yang kerap dilakukannya di kampus.
Sebelum menelisik sepak terjangnya, Abdani bercerita bahwa sejak kecil dirinya pernah hidup di Kota Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST). Karena kedua orangtuanya hidup di kampung, dia bersekolah di sana cuma tingkat TK dan SD, kemudian lanjut pada tingkat SMP di Martapura hingga SMA di Kota Banjarbaru.
“Lahir dan kuliah di Kota Banjarmasin, jadi pertumbuhan aku remaja di sini. Semasa kuliah, aku pertama kali mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa (HIMA),” ucap Abdani kepada Asyikasyik, pada Rabu (22/2/2023) siang.
Abdani bilang, bergabung dengan HIMA karena di dalamnya terdapat ruang diskusi yang berhubungan dengan dunia literasi. Sehingga, dia tertarik sekali bertemu para mahasiswa-mahasiswa yang kerap bertukar pikiran dalam forum.
“Diskusi dengan para senior, maka pertemuan itu sering kita lakukan. Pada masa itu pernah jua bergabung di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Pendidikan (BEM FKIP) Universitas Lambung Mangkurat,” ujarnya.
Kemudian, Abdani juga tergabung dalam komunitas Historia Independen Club (HIC) merupakan ruang dialog berkaitan dengan isu-isu sosial, politik dan semacamnya. Tahun 2004 itu, dia tengah menjalani semester tiga telah melampaui dari mahasiswa satu angkatannya dulu, yang bergaul dengan para seniornya dalam diskusi-diskusi kampus.
“Semasa di BEM cuma setengah aja ikut kepengurusannya, ternyata lebih rame di luar dalam berdiskusi. Dan kami buat diskusi tipis aja, yang diikuti 3-4 orang mahasiswa,” kenang Abdani semasa mudanya.
Semasa itu, Abdani mengaku kerap bermain ke perpustakaan kampus demi mencari buku yang hendak dibacanya.
Terkadang, dia cuma sendiri tanpa sekawanan yang satu angkatannya dahulu. “Jeda perkuliahan, jam istirahat pasti aku ke perpustakaan. Dan suasana di sana lebih nyaman, cuma beberapa orang saja. Ya, paling sering berkunjung sampai petugasnya hafal sekali melihat wajahku,” kata Abdani.
Semasa kuliah, Abdani pernah juga menjadi seorang jurnalis di salah satu majalah yang terbit cuma tayang di maskapai penerbangan. Kata dia, majalah lokal berhubungan ihwal pariwisata khas Kalimantan Selatan berjudul JENDELA.
“Pernah wawancara dengan Bupati Balangan dan tokoh-tokoh birokrasi lainnya, jadi sering berkelana juga pada masa itu.”
Bergabung dengan LK3 Banjarmasin, Abdani Pernah Bekerja di Restoran
Selain karena ruang diskusi, Abdani bergabung dengan LK3 Banjarmasin karena mengejar majalah Kandil yang berkaitan tentang sejarah, budaya, politik dan sosial. Dia terus mempelajari hingga akhirnya dapat terlibat dalam garapan majalah tersebut, yang disukainya sejak kuliah berhubungan dengan dunia literasi.
“Waktu itu membantu dosen kampus, yakni Bambang Sugiarto. Saya disuruh melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan urusan beliau, entah memprint dan semacamnya. Saat itu pula, saya mengenal LK3 Banjarmasin yang dikenalkan langsung dari rekan dosennya, yakni Anis,” cerita Abdani.
Dalam ingatan Abdani, LK3 Banjarmasin menggelar diskusi terkait tradisi urang Banjar di sekitar. Di kesempatan itu, dia juga diminta oleh dosennya untuk memkliping koran-koran yang berhubungan dengan isu pilkada pada tahun 2007.
“Di tahun inilah bergabung LK3 Banjarmasin. Saat itu dapat tawaran langsung, cuma magang tiga bulan dan seterusnya tergabung secara tetap keanggotaan dalam pengurusnya,” kata Abdani.
Karena kaderisasi LK3 Banjarmasin dibuka, Abdani merupakan satu di antara aktivis lainnya yang tertarik bergabung. Sebab, dia menyadari bahwa kecenderungan dalam berdiskusi maka tak jauh yang kerap dilakukannya di kampus.
“Itu merupakan satu hal, mengapa saya bergabung di LK3 Banjarmasin. Kedua, bertemu dengan orang baru yang tak mungkin saya temui,” ujarnya.
Terlebih keuntungan yang diterima, Abdani menyelami tambahan soal keilmuan tentang budaya dan keagamaan yang jadi bahan tajuk dalam diskusi. Dia merasa bersyukur sejak bergabung, bahkan mempengaruhi cara pandang dan berpikirnya semasa remaja hingga sekarang.
“Bahkan isu-isu gender. Padahal semasa aku bekerja, sebelum magang di LK3 Banjarmasin kerap berdiskusi di lembaga ini. Karena dengan orang rumah, berjanji kuliah 4 tahun saja maka saya bekerja karena sudah lewat tenggatnya,” ungkap Abdani, tersenyum.
Semasa jadi mahasiswa, Abdani memiliki waktu terbagi antara siang dalam berkegiatan diskusi dan malam berkaitan dengan pekerjaan, yang membentuk hidupnya menjadi sekarang. Jadi sejak sore, Abdani harus bekerja sepulang dari kuliah pada semester akhir.
“Ketika itu, masih ada mata kuliah yang harus diambil. Cuma hanya membagi waktu yang harus dilakukan agar seimbang dalam rutinitas,” kata Abdani.
Di restoran, Abdani tak cuma sebatas mengantarkan sajian makanan tetapi dirinya juga bagian dari tim masak di dapur. Sehingga, menurutnya saat itu harus ekstra dalam menjaga kondisi badan.
“Cuma tak lama di sana, cuma 4 bulan saja berhenti karena menyadari tidak meningkat maka harus kembali ke kampus. Mengejar kuliah yang belum selesai, sembari mengikuti diskusi LK3 Banjarmasin,” ucap dia.
Karena, Abdani mendapatkan keberuntungan ketika berdiskusi, selain mendapatkan ilmu baru yaitu memiliki buku yang diberi. Sehingga, dia memiliki tambahan koleksi perpustakaan miliknya sendiri.
“Jadi senang saat itu dapat buku dari penulisnya langsung. Kesempatan itu berlangsung lama, hingga akhirnya bertemu jaringan luar menjadi relasi baru,” ungkap Abdani.
Tak cuma di dalam kandang, Abdani kerap diutus menjadi perwakilan LK3 Banjarmasin ke luar daerah, bahkan ke Jakarta untuk membangun network. “Berdiskusi di sana membahas topik berkaitan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dalam cengkraman tentara, tentu mengulas sosok Marsinah, Munir dan sebagainya, bersama KontraS,” terangnya.
Sejak di LK3 Banjarmasin, Abdani mampu mengongkosi hidupnya sendiri yang berawal dari cuma magang diberi hanya uang transportasi, hingga menerima gaji bulanan. Sampai tiba, dia memegang projek dari program kegiatan untuk melaksanakan rutinitas bulanan, bahkan tahunan.
“Mulai diskusi FKUB hingga berkegiatan di masyarakat, entah membina sampai membersihkan lingkungan dengan warga setempat. Gerakan akar rumputlah bersama kawan-kawan aktivis pada masa itu,” tandasnya.@