(Catatan ke-2 Membaca Buku “Kitab, Buku, Sepak Bola” karya Hairus Salim HS)
PADA halaman 173, setelah menerangkan perbedaan antara ‘kitab’ dan ‘buku’ yang lazimnya dipahami, Ka Salim menulis, “Demikianlah untuk kepentingan ‘tafaqquh fi addien,’ belajar memahami agama, maka yang didorong untuk dipelajari dan dibaca di pesantren adalah ‘kitab’. Sedangkan ‘buku’ relatif dilarang, karena dianggap bisa melencengkan niat, motivasi, dan maksud untuk mempelajari agama, serta bahkan mungkin mencemari. Sekali lagi, hal itu dalam pengertian ‘kitab’ dan ‘buku’ seperti dijelaskan di atas.”
Pemahaman tersebut setidaknya tidak berubah ketika saya menjadi santri sejak 2006 hingga lulus di tahun 2013. Kitab menjadi literatur utama bagi para santri; baik di kelas maupun pengajian rutinan setiap malam. Ada tuntutan lebih untuk memahami gramatikal bahasa Arab secara mendalam. Santri yang belum memenuhi kriteria tersebut, besar kemungkinan tidak naik kelas—dan ini terjadi di angkatan saya.
Secara kultural pengajaran kitab klasik telah menjadi ciri khas Al-Falah sehingga tetap berjalan sampai saat ini. Kitab-kitab klasik yang dipelajari, sangat berguna untuk menyongsong kehidupan intelektual santri agar lebih terarah. Terutama, demi meneruskan tradisi keilmuan klasik sebagai upaya mencerminkan kultur keislaman yang khas, yang berbeda dengan kultur keislaman lainnya.
Keseharian santri berfokus pada kitab, tentu memiliki tujuan yang sangat baik, melihat tuntutan yang tentunya tidak mudah. Kemampuan gramatikal dimulai dari program Amtsilati, hingga pelajaran sintaks berjenjang; jurumiyah, kawakib, serta syarah ibnu aqil. Hal ini menunjukkan betapa Al-Falah serius untuk menggodok santrinya mampu mengakses dan memperkaya pengetahuannya dari literatur berbahasa Arab.
Akan tetapi, di balik keseriusan itu, mungkin ada satu hal yang terlewat, yakni bagaimana santri dapat memiliki wawasan yang luas jika akses terhadap buku—apapun genrenya, masih dipandang sebelah mata, bahkan dicap sebagai ‘pengganggu’. Terlebih jika kita mau melihat kebutuhan sumber daya manusia yang semakin hari, semakin kompetitif. Maka, penting untuk menyetarakan ‘kitab’ dan ‘buku’ agar pengetahuan dasar serta wawasan santri dapat berjalan beriringan untuk bekal mereka di masa depan.
Dengan kata lain, kemampuan santri membaca, menalar, serta mengkrtisi suatu hal dalam teks buku, tidak diperoleh dari dorongan para guru maupun prasarana yang memadai, melainkan berdasarkan inisiatif serta kecenderungan pribadi santri tersebut untuk memiliki wawasan di luar kitab-kitab yang diajarkan.
***
Melompat ke dua halaman berikutnya, pada halaman 176, paragraf pertama, Ka Salim mengisahkan.
“Karena itu, betapa sedihnya saya ketika pertama kali dimasukkan ke pesantren, ternyata ada larangan membaca buku-buku dan majalah-majalah? Namun, ini hanya awalnya saja, karena kenyataannya tidak seperti digariskan. Pada praktiknya, di pesantren ini saya bisa menyalurkan minat baca. Bahkan di pesantren ini saya bertemu segelintir, ya segelintir, tidak banyak, teman yang suka membaca. Karena itu, tak habis akal, diam-diam kami memasukkan buku dan bergantian membacanya secara diam-diam.”
Ibarat seorang pecinta yang patah hati. Kesedihan tentang larangan membaca buku-buku itu turut saya rasakan, tetapi tidak berselang lama. Sebab, selalu ada cara untuk menyalurkan hobi itu—kisahnya serupa dengan Ka Salim di masanya dan akan saya ceritakan pula bagaimana di masa saya kemudian.
Mengenai segelintir teman yang suka membaca, saya teringat satu nama, Abdul Latif. Kami pernah satu asrama. Teman yang sebetulnya menyebalkan; tidak banyak kelihatan belajar, tapi selalu meraih juara kelas.
Ayahnya, Haji Syarkawi, konon pernah satu bangku bersama Guru Sekumpul sewaktu belajar di Pesantren Darussalam, Martapura.
Ketika beliau menjenguk dan bermalam di asrama, pemandangan yang lumrah kami lihat kala itu adalah ayah-anak ini asyik muzakarah bersama.
Kecerdasan Latif tidak diragukan. Kami, teman-temannya, mengakui itu. Dibanding membaca kitab, Latif lebih sering saya jumpai sedang membaca buku di dipannya. Bacaannya pun tidak asal buku, mulai buku sejarah agama-agama, biografi tokoh-tokoh dunia, hingga novel bergenre sains fiksi. Diam-diam, saya mengagumi bacaannya dan kami sering terlibat obrolan panjang membicarakan tentang buku-buku itu.
Sekali waktu, ia nampak sibuk menulis di buku catatannya. Seingat saya, peristiwa ini terjadi ketika kami di kelas 3 Aliyah, jelang kelulusan kami. Saya merasa penasaran dan bertanya tentang apa yang sedang ia kerjakan. Alih-alih menulis cerpen atau puisi seperti yang lazimnya sebagian santri lakukan. Ia menjawab dengan penuh ambisi, bahwa ia sedang merampungkan novel pertamanya!
Belakangan, saya tidak tahu bagaimana kabar novel itu. Kami tidak saling terhubung lagi. Tidak ada kabar diterbitkan, selain barangkali masih tersimpan dalam rak bukunya. Saya hanya sempat membaca beberapa bagian bab awal ketika ia meminta saya untuk membaca naskahnya. Kami berpisah dan belum pernah bertemu lagi. Ia melanjutkan kuliahnya di Banjarmasin dan saya harus berangkat ke Jakarta.
Penting pula menyebut dua karib lain saya yang menggilai buku, Muhammad Faisal dan Zainal Aqli. Pertemanan kami terbilang sangat dekat, baik semasa di pesantren maupun setelah sama-sama menjadi mahasiswa. Setiap ada undangan suatu acara atau sekadar singgah ke Banjarmasin, saya akan menghubungi keduanya. Dengan senang hati pula mereka datang menjemput dan mengantar saya kembali ke bandara.
Jika ada kesamaan rutinitas, terlebih ketika menjadi ketua asrama, yang menyebabkan kami sangat dekat, barangkali karena sama-sama memiliki kegemaran membaca buku. Keduanya memang tidak begitu aktif menulis, tetapi soal buku-buku bacaan, mereka loyal sekali. Terbukti, koleksi buku mereka yang tidak sedikit; Aqli dengan buku-buku ilmiah, fikih kontemporer, pemikiran islam, dan lainnya. Faisal berbeda lagi, bacaannya lebih luwes; serial novel-novel populer dan sastra, cerpen, motivasi pengembangan diri, dan lainnya. Kami bertiga, rupanya baru menyadari, bahwa kami sama-sama mencintai buku.
***
Masih di halaman yang sama, pada baris paling akhir, Ka Salim bercerita menggunakan perumpamaan simile yang saya suka sekali “Di pesantren Al-Falah, buku seperti binatang berkaki seribu. Bisa jalan-jalan sendiri. Buku beredar dari satu tangan ke tangan lain, dari satu asrama ke asrama lain.”
Begitu pun di masa saya. Meski dilarang, buku-buku—bahkan komik serial anime One Piece, Naruto, Detektif Conan, tetap saja beredar dari santri ke santri. Konflik yang biasa terjadi adalah tentang siapa yang lebih dulu membacanya, semuanya sesuai giliran. Tetapi terkadang, jika lengah sedikit, buku atau komik yang sedang dibaca itu raib. Sebabnya jelas, karena ada kawan yang tidak sabar juga ingin membacanya.
***
Berselang dua paragraf setelahnya, dalam konteks mengisahkan buku-buku tak bermilik yang sampai di tangannya; Di Bawah Kaki Bukit Sinai dan Guruku Orang-Orang Pesantren, Ka Salim menguraikan.
“Sudah pasti saya bukan pembaca pertama juga pembaca terakhir buku-buku tersebut. Pasti masih ada beberapa orang yang telah membacanya sebelum maupun sesudah saya. Kadang antara kami saling berebut untuk bisa lebih dulu membacanya. Di pesantren ini, buku betul-betul bergerak efisien dan efektif, beroleh faedah besar; satu buku bisa dibaca banyak orang.”
Saya membaca novel Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan Bumi Cinta kaya Habibrurahman El Shirazy ketika kelas 2 Tsanawiyah. Saya tidak tahu kepunyaan siapa. Saya menemukan buku-buku itu secara tidak sengaja di kelas. Entah milik siapa. Semua buku tersebut jelas bukan milik saya. Tak bernama, tak ada pula yang mengakuinya, saya pun membawa dan membacanya dengan tenang di asrama.
Perihal buku-buku tak bermilik, saya memiliki pengalaman cukup traumatis.
Sebetulnya, saya agak berat menceritakan kejadian ini. Ketika itu, sebelum dikumpulkan di Program Asrama Bahasa Inggris, saya sempat ditempatkan sebentar di Asrama Malik 2. Peristiwa itu terjadi pagi hari, saat semua santri sedang berada di musala menunaikan salat Duha berjamaah.
Tidak ada yang aneh. Semua hal berjalan seperti biasa. Kami baru menyadari ada yang ganjil pagi itu setelah kami tidak diperkenankan untuk meninggalkan musala. Tidak ada yang boleh beranjak ke kelas atau ke kamar mandi. Para santri berbisik, menduga-duga satu sama lain. Selain itu, kami melihat banyak para ustaz, karyawan, dan satpam berkumpul di depan asrama ashab. Mereka terlihat saling berbincang. Tidak jelas tujuannya apa, tetapi kami bisa segera menduga, bahwa akan ada razia asrama besar-besaran!
Bagi santri yang membawa alat elektronik, celana levis, rokok, razia ini semacam petaka. Kekalutan hebat melanda mereka. Adapun santri yang taat, razia besar bukan hal yang menakutkan. Meski saya tidak sepenuhnya taat, tetapi saya merasa tenang saja karena merasa tidak membawa barang yang dilarang.
Singkat cerita, lemari kami digeledah, gerak-gerik kami diawasi sekiranya melakukan sesuatu yang mencurigakan, setiap penghuni asrama dipanggil dan diinterogasi. Saya sempat melirik tumpukan pakaian kami di dalam lemari disisir dengan cermat, seolah mencari harta karun. Hasilnya bisa ditebak, beberapa kawan mesti ‘menyerah’ setelah didapati membawa gawai, pemutar musik, rokok, dan celana levis.
Seusai razia itu, perasaan saya baik-baik saja, hingga saya menyadari ada yang rumpang di rak lemari kitab saya.: 2 buku novel islami dan 1 buku puisi saya hilang! Memang, saya tidak diinterogasi dan ditindak apapun, tidak juga disalahkan. Tetapi yang memilukan, dari perempatan asrama malik 14 dan rumah asatiz, saya melihat asap mengepul.
Asap itu berasal dari api yang menghanguskan celana levis, majalah, pemutar musik, berselop-selop rokok, serta buku-buku.
Dan, buku saya ada di antaranya.
***
Di halaman 182, Ka Salim menulis, “Kegemaran membaca menumbuhkan keinginan untuk menulis. Entah menulis cerita atau esai. Akan tetapi, saya benar-benar tidak tahu bertanya dan belajar kepada siapa. Akhirnya, saya hanya terus menulis saja dalam catatan harian atau di sebuah buku tentang apa saja, untuk disimpan dan dibaca sendiri. Tidak tahu harus disalurkan ke mana. Tak ada kakak kelas yang bisa dijadikan tempat bertanya. Tidak ada pelatihan menulis, dan kegiatan menulis benar-benar tak mendapat perhatian.”
Saya ikut merasakan kegalauan Ka Salim pada paragraf pembuka ini. Merasa terasing dan sendiri tidaklah mengenakkan. Kalimat ‘kegiatan menulis benar-benar tak mendapat perhatian’ menjadi semacam bentuk kekecewaan yang tidak tahu harus ke mana ditujukan. Meski pada akhirnya kegalauan ini terjawab dengan keberadaan mading di tahun ketiga, tetapi minimnya pengetahuan cara mengelola majalah dinding dan memberdayakan para santri untuk menulis, membuat mading tidak juga berjalan secara konsisten.
Setidaknya, pada masa saya, kondisi seperti ini bisa dikatakan sedikit lebih baik. Saya dan beberapa teman, bergiat serta aktif di komunitas menulis santri, yaitu Forum Pena Pesantren (FPP)—yang akan saya terangkan setelah ini. Mading pun demikian, Divisi Minat dan Bakat IKPPF mewadahi karya-karya santri yang ingin dimuat di mading dengan seleksi secara berkala setiap pekan atau bulannya.@