ASYIK nonton sidang MK Pilkada Banjarbaru. Terutama bagi yang bukan berlatar hukum seperti saya. Sebab ternyata, argumen yang disampaikan terasa lucu, dipaksakan, bahkan cenderung “kada balampu”. Yang terakhir itu merupakan ungkapan Banjar, bermakna tidak melihat, memedulikan dan mempertimbangkan apapun dalam bertindak dan bersikap. Ungkapan itu biasanya disambung dengan kalimat, “kada balampu, kayuh ampun inya haja”.
Apa saja yang terasa lucu itu? Pertama, MK tidak punya kewenangan mengadili perkara, sebab bukan ranah sengketa, bukan soal perselisihan angka-angka yang harus ditengahi hakim. Kedua, tidak ada perampasan hak konstitusi pemilih, karena semua dipersilakan ke TPS menyalurkan hak pilihnya, dan sudah disosialisasikan secara langsung bahwa memilih selain 01 menjadi suara tidak sah. Dengan sosialisasi itu, gugur sudah kewajiban penyelenggara, karena pemilih paham tentang siapa yang harus dipilihnya, ingin suaranya dianggap sah, pilih 01, dan kalau ingin tidak sah pilih 02.
Ketiga, keputusan menghilangkan kolom kosong merupakan proses panjang, sudah melalui konsultasi berulang kali dengan KPU RI, dan terbitlah SK 1774 sebagai satu-satunya pedoman yang harus dipatuhi karena penyelenggara di bawah, fungsinya hanya sebagai implementator. Keempat, terdapat kekosongan hukum untuk kasus Pilkada Banjarbaru, sehingga menjadi seperti ini, sesuatu yang tidak dapat dihindari.
Rasanya tidak perlu dijawab semua kelucuan itu, silakan kepada siapapun berargumen, karena pasti menjadi bahan diskusi menarik dan asyik. Yang harus diingat, gugatan tersebut semata untuk “mewaraskan” proses politik dan demokrasi. Di mana hak pilih warga telah diberangus secara semena-mena oleh penyelenggara, yang seharusnya menjaga hak tersebut secara adil dan jujur.
Harus diingat, memulih 02 yang kemudian menjadi suara tidak sah, hanyalah satu ekspresi. Padahal ekspresi lainnya yang lebih besar, warga memutuskan tidak datang ke TPS, karena percuma, sebab Pilkadanya abal-abal, “kada balampu”.@