FORUM sederhana yang digagas FKUB Kalimantan Selatan, Sabtu 28 Desember 2024, bertempat di Rumah Alam Sungai Andai, membahas satu tema yang cukup menarik. Mengangkat satu buku yang memuat  8 tokoh gerakan pluralisme di Indonesia, diterbitkan Institut Dian Interfidei, tokoh tersebut antara lain Th. Sumartana, Djohan Effendi, Pdt. Eka Darmaputra, Daniel Dhakidae, Gedong Bagoes Oka, Romo Y. B. Mangunwijaya, Abdurrahman Wahid, dan Pater Neles Kebadabi Tebay.

Narasumber yang membahas para tokoh tersebut adalah Ilham Masykuri Hamdie, Darius Dubut dan IBG Dharma Putra. Dihadiri sekitar 30 orang tokoh lintas agama, termasuk para pegiat gerakan pluralisme.

Ilham Masykuri Hamdie memulai dengan memperkenalkan tokoh gerakan pluralisme asal Kalimantan Selatan, yaitu Djohan Effendi.

“Bila kita mengenal Djohan, ada tiga ciri yang melekat pada beliau, yaitu asketis, sederhana, dan kader.  Asketis itu gaya hidup yang becirikan penolakan terhadap kenikmatan indrawi dan harta benda, sebagai wujud kedalaman spiritual. Bahkan ketika mau dilantik menjadi Mensesneg, beliau tidak memiliki jas untuk pelantikan, sampai kemudian harus dibikinkan terlebih dahulu,” kenang Ilham Masykuri yang mengaku sangat akrab dengan sosok gurunya Djohan Effendi, bahkan jauh sebelum kuliah ke Jakarta karena beliau berteman akrab dengan orang tuanya.

Ilham bercerita, kesederhanaan Djohan tidak diragukan, ketika datang ke Kalsel, padahal waktu itu sebagai Mensesneg, dia tidak mau dihubungkan dengan Pemprov, takut merepotkan dan berlaku protokoler. “Dia hanya minta ditemani oleh saya, dan kami makan di warung sederhana, sebagaimana biasa dilakukannya dalam keseharian. Ketika dulu diskusi di rumah dinasnya, dia membikin sendiri minuman untuk semua kami yang hadir dan karena minyak kompornya habis, pergi sendiri ke warung membeli minyak tanah,” tuturnya.

Djohan juga seorang yang tekun melakukan pengkaderan. Sejak dulu dia dikenal suka mendampingi anak-anak muda dalam diskusi, penelitian dan berbagai hal kegiatan, sehinggga lahirlah para kader yang sekarang menjadi tokoh yang juga melakukan hal yang sama dengan Djohan Effendi. Bersama kawan-kawannya se-visi, mendirikan berbagai lembaga interfaith antara lain Institut Dian Interfidei, ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace), dan MADIA (Masyarakat Dialog Antar Iman).

Sementara itu Gus Dur, oleh Ahmad Suaedy disebut dengan manusia ampibi. Seorang yang dapat hidup dalam situasi dan keadaan yang berbeda. Dia bisa menggabungkan kehidupan yang sangat bertolak belakang sekali pun. Karena mampu menyederhanakan sesuatu yang dianggap orang lain begitu rumit dan bermasalah. Karenanya terkenal ungkapan “gitu aja kok repot”.

Bagi Gus Dur, masyarakat harus diubah, perubahan yang paling strategis adalah dari kepemimpinan. Tujuannya agar terbangun kesejahtraan rakyat. Dia memperkenalkan universalisme Islam, yang menjadikan Islam memiliki titik temu dengan berbagai agama lain, baginya Islam adalah humanisme. Dia juga memperkenalkan kosmopolitanisme Islam, terbuka dengan berbagai budaya, baik itu timur atau pun barat. Dan tentu yang sangat dikenal, mengusung “pribumisasi Islam”, yaitu dimana Islam hadir tidak untuk memberangus kearifan-kearifan yang bersifat lokal, justu menjadikan Islam semakin kaya dengan kearifan lokal tersebut.

Akan halnya Romo Y. B. Mangunwijaya, dikenal sebagai manusia multispektrum. Arsitek, budayawan, dan aktivis sosial pembela orang kecil. Pernah menjadi dosen luar biasa di Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada selama 13 tahun (1967-1980). Menulis berbagai karya sastra di antaranya Romo Rohadi (1981), Burung-burung Manyar (1981), Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (1983), Balada Becak (1985), Roro Mendut (1987), Genduk Duku (1987), Lusi Lindri (1987), Burung-burung Rantau (1992), Balada Dara-dara Mendut (1993), Durga Umayi (1994), Rumah Bambu (1999), dan Pohon-pohon Sesawi (1999).  Aktivis bagi kaum marginal dengan membantu warga di Kali Code, Yogyakarta dan Kedung Ombo, Sragen. Ia menata Kampung Code, Yogyakarta yang akan digusur oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Ia juga merancang Masjid Kalimosodo di Kampung Code.

Romo Mangun mengenalkan apa yang disebut Gereja Diaspora, bahwa gereja itu seharusnya tempat menampung rakyat yang menderita. Dia mengamalkan apa yang sudah dirumuskan dalam Konsili vatikan II, bahwa pada orang lain juga ada keselamatan. Karenaya dia memperjuangan kasus kali Code, gedung Ombo, dan lain-lain. Dia anti elit, karena menganut teoligi kemerdekaan.

Darius Dubut kemudian memperkenalkan tokoh lainnya, yaitu pendiri Institut Dian Interfidei, Th Sumartana, tokoh ini merupakan kakak tingkat dari Darius Dubut sendiri. Mas Tono dia biasa menyapa. Awalnya dikenal sebagai seorang budayawan, sastrawan. Tulisannya terkait hal tersebut menghiasi berbagai media nasional. Kemudian dalam perjalanan intelektualnya, gelisah dengan  realitas Kekeristenan. Terutama terkait hubungan antara Islam dan Kristen yang waktu itu semakin hangat, terutama didasari oleh persoalan teologis.  Atas dasar itu bersama kawan-kawannya, termasuk Djohan Effendi, mendiriikan Institut Dian Interfidei. Suatu lembaga yang mengusung isu pluralisme. Bahkan hal tersebut tercermin dari personil awal yang turut terlibat dalam lembaga tersebut, terdiri dari anak-anak muda dengan berbagai latar belakang agama. Lembaga ini benar-benar sangat plural, bukan hanya dari sisi isu, namun juga komposisi orang dan pelibatan para tokohnya.

Dia memperkenalkan apa yang disebut dengan pluralisme liberatif, yaitu suatu pandangan yang mengakui realita pluralitas agama, namun juga menganggap bahwa setiap agama memiliki kebenaran dan keunikannya sendiri. Pluralisme liberatif memandang bahwa perbedaan agama bukan berarti merelatifkan kebenaran agama tersebut.  Mas Tono menjadikan pluralisme sebagai panggilan bersama, suatu gaya hidup dimana orang menjalani hidup secara wajar dengan orang yang berbeda-beda. Pluralisme dijelmakan sebagai panggilan bersama. Memperjuangkan kemerdekaan agama sebagai kemerdekaan yang membebaskan.

Agama-agama yang berbeda tersebut merupakan “kawan seperjuangan yang berbeda”. Karena itu dia menganjurkan akan pentingnya perjumpaan dan dialog. Bahkan Dialog tersebut harus melampaui yang omon-omon saja, harus pro eksistensi yaitu dalam bentuk aksi bersama.

Dia menjawab berbagai pertanyaan, terkait tentang atas dasar iman apa yang menganjurkan umat beragama harus bekerjasama? Apa dalilnya?, maka dia mengkaji berbagai teologi untuk dimaknai ulang, dan karena itu dia mengajurkan untuk melakukan dialog antar iman, sehingga ditemukan berbagai dasar teologis yang menyebabkan semua orang harus bekerjasama untuk kehidupan di muka bumi ini.

IBG Dharma Putra, mengenalkan tokoh gerakan pluralisme yang berasal dari kampungnya di Bali, tempatnya di Karang Asem, suatu tempat khusus yang banyak dihuni para ningrat Bali dan beliau merupakan orang biasa yang hanya karena karya dan kepribadiannya, kemudian menjadi Perempuan yang sangat dihormati, nama beliau Gedong Bagoes Oka.

Dharma mengatakan bahwa dia mengenal ibu Gedong dari cerita kakak-kakaknya yang pernah menjadi murid beliau, kakak yang paling bandel pun merasa segan, takut dan menurut pada ajaran beliau.  “Setelah dewasa, saya mencoba mengapresiasi penyebabnya dan saya duga,  proses belajar yang dilakukan oleh beliau terhadap murid-muridnya, termasuk terhadap kakaknya merupakan proses lengkap yang terdiri dari peneladanan, pembiasaan dan pembelajaran”, kata Dharma.

Jauh hari setelahnya, ia mendengar dari adik iparnyaa (kebetulan pemilik cafe candi dasa, cafe pertama di tempat itu) bahwa beliau membuat penginapan sederhana di Candi Dasa Karang Asem, Ujung Timur Bali, yang berkonsep yoga dan banyak diminati untuk dijadikan tempat berkontemplasi para pesohor dan orang kaya dari seluruh dunia.

Cerita dan berbagai informasi selanjutnya, membuat  nama beliau semakin mendekati dan sekaligus identik sebagai perempuan Hindu dan pengikut Mahatma Gandi yang baik. Bukan hal yang aneh di Bali, seorang perempuan Hindu yang taat menjalankan ritual dan spiritual Hindu sekaligus meniru cara perjuangan idolanya manusia berjiwa besar, bernama Gandi.

Para peserta yang terdiri dari para tokoh, memberikan tanggapan atas paparan narasumber, Muhammad Effendi menceritakan soal para tokoh pendiri bangsa yang ketika merumuskan dasar-dasar negara, sekali pun berbeda latar belakang dan agama, namun sangat menghormati keberadaan dan pendapat orang lain yang berbeda. Lalu dia mencontohkan negara-negara yang hampir-hampir tidak percaya agama dan tidak mengakui Tuhan, namun begitu sejahtera, damai, rukun dan saling menghargai sesama manusia. Sementara negara yang mengaku sangat beragama justru saling membunuh, dan kalau pun tidak perang, kondisinya tidak sebagus negara-negara yang tidak beragama tersebut. disebabkan oleh apakah ini? Tanya Effendi mengajak untuk merefleksikan kenyataan tersebut.

Bayani Dahlan menanyakan apakah para tokoh tersebut dimasa tuanya justru kembali pada pemahaman agama yang tekstualis? Bukankah Djohan kemudian membut tafsir Al-Qur’an dalam bentuk puisi, sehingga akhirnya setelah dia mengelana ke banyak pemikiran, lantas kembali lagi pada teks Al-Qur’an.

Banthe Shaddaviro, memberikan komentar bahwa semua tokoh tersebut dapat berbuat dan bersikap seperti itu karena telah mengenal dirinya sendiri. “Maka kalau kita ingin menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya, lebih dahulu didasari pada pengenalan pada diri sendiri. Bila sudah kenal dengan dirinya sendiri, maka mudah saja mengenali dan memahami orang lain,” katanya.