DI latar tempat pembukaan acara terpasang dua lukisan yang cukup besar. Sebelah kiri seorang berpakaian putih meniup seruling di atas punggung kerbau, sebelah kanan seorang tanpa baju, berpeci, dan bersarung dengan sikap semedi–di punggungnya “tumbuh” sayap capung membentang, juga tumbuh di dadanya beton-beton gedung kota.

Kedua lukisan itu didominasi warna merah– yang sepertinya memang menjadi warna favorit sang pelukis, Hajriansyah, sebab warna itu selalu mengambil bagian besar pada ruang kanvas pada lukisan-lukisannya yang dipamerkan di Dekorama, Kuripan, Banjarmasin.

Pameran bertajuk “The End (Less) Whisper” yang dibuka Walikota Banjarmasin Ibnu Sina, Jumat (22/11/2024), itu pameran yang kesekian Hajri. Beberapa waktu lalu karyanya juga dipamerkan di Jakarta bersama karya pelukis Yogyakarta dan Jakarta. Sebelumnya lagi, di tahun 2023 lalu ia berpameran tunggal di Bali, juga di Yogyakarta.

Walikota Banjarmasin Ibnu Sina saat membuka pameran tunggal Hajriansyah, Jumat (22/11/2024) sore di Dekorama, Kuripan, Banjarmasin.

Hajri satu dari sedikit pelukis Kalsel yang paling sering berpameran,  baik tunggal maupun bersama.

Karya-karya Hajri boleh jadi tak gampang dinikmati. Dalam banyak kesempatan, ia mengaku lebih mengutamakan kedalaman makna dalam karya ketimbang bertitik tumpu pada estetika semata— kendati ia juga tak menafikan unsur keindahan yang niscaya dalam sebuah karya lukis. Ia memilih gaya ekpresionisme surrealism untuk mengungkap gagasan ataupun kesadaran dirinya dalam berkarya. Lantaran itu pula, karyanya tak sekadar memanjakan mata, melainkan juga menyimpan makna (mungkin pula perenungan) lewat simbol-simbol yang nampak maupun samar.

Pada beberapa lukisannya, kita kerap menemukan ada banyak obyek saling bertindih ataupun berkelindan dalam tatanan atau komposisi yang “seakan” acak. Seperti misal pada lukisan besar “Alam Fenomenal” (100x100cm), yang menampilkan buaya, bekantan, bangau, ikan, alat berat, juga bayangan samar orang-orang, yang kesemuanya menyatu dalam polesan warna merah dengan satu obyek utama kapal kertas. Pun pada lukisan “Sayap Kebebasan” dan “Kalbu”, kita disuguhi beragam obyek; hati, kuda, keledai, enggang, jukung, dan (lagi) kapal kertas.

Lukisan Hajri dan seniman lukis yang hadir; Muslim Anang (kiri), Rokhyat (kanan), dan seniman musik tradisi Novyandi Saputra (tengah).

Kapal kertas merupakan obyek yang menjadi pilihannya dalam beberapa karya, seperti “Mengapung Teratai”, ” Terdampar #1″, “Terdampar #2″, dan ” Monumen Kasih”. Adakah dengan “kapal kertas” itu, pelukis yang sedang menyelesaikan studi Program Pasca Sarjana Ilmu Tasawuf di UIN Antasari ini hendak mengatakan bahwa kehidupan kita hanyalah seumpama kapal kertas? Begitu rapuh?

“Sebuah lukisan tidak hanya sekadar unsur estetik maupun bentuk. Melainkan melihat pada kedalaman yang coba dihadirkan sang pelukis, dan itu boleh ditafsirkan secara bebas oleh masing-masing audiens atau penikmatnya,” ujar Hajri dalam pembukaan.

Hajri seakan hendak mengatakan, bahwa urusan estetika dan bentuk sudah ia lalui dalam proses yang panjang dari semenjak kuliah di ISI Yogyakarta. “Pada semester pertama hingga ketiga, kita dituntut membuat sketsa-sketsa, dan sepanjang itu jumlahnya ribuan. Masuk semester keempat, kita baru menyentuh kanvas,” ceritanya.

Bila kemudian Hajri telah sampai pada karyanya yang sekarang, itulah menurutnya hasil dari proses panjang itu. “Dan inilah yang saya ciptakan, yang saya gali dari kedalaman perasaan dalam merespon apa yang saya lihat dan rasakan,” ucapnya.

Mengenai tajuk ‘The End (Less) Whisper” atau bisikan tanpa akhir yang diusung penyelenggara.pameran yakni “Lanting Art” yang dimotori Hayyun– yang tak lain  putra sulung Hajri sendiri, menurut Hajri barangkali Hayyun menafsirkan apa yang ia lihat dari proses ayahnya berkarya selama ini. “Mungkin Hayyun memaknai begitu. Bahwa saya berkarya berdasarkan bisikan-bisikan yang bisa datang kapan saja, seketika,” ujarnya.

Walikota Ibnu Sina dalam apresiasinya menyambung proses penciptaan yang diceritakan Hajri. Dan kata bisikan menurutnya memang bisa menjadi sesuatu yang luar biasa. “Nabi pun ketika mendapatkan bisikan wahyu, badannya gemetar, hingga harus diselimuti,” ucapnya.

Facebook Comments