[…] Mereka pada akhirnya merujuk tidak hanya pada selera pribadi, melainkan pada asumsi-asumsi yang digunakan oleh kelompok-kelompok sosial tertentu untuk menjalankan dan mempertahankan kekuasaan atas orang lain […] — Terry Eagleton, Literary Theory An Introduction (1996)
*
MULANYA saya ingin memulai ini dengan sebuah pengakuan bahwa saya pernah terjebak dalam romantisme-masa lalu yang menganggap sastra-sok-heroik merupakan sastra adiluhung yang bisa mengubah banyak hal: saya menulis kegeraman saya terhadap tambang di kampung; kerusakan lingkungan dan yang serupa itu sesuai idealisasi orang-orang soal sastra serius. Tapi berbicara soal diri sendiri harus dikurangi oleh penulis muda dan saya, dalam hal ini, tunduk atas pendapat tersebut.
Untuk memberi konteks pada pembaca yang barangkali tidak memahami ke mana arah tulisan ini, saya ingin menjelaskannya secara singkat lewat dialog di bawah ini:
“Apa yang harus dilakukan oleh anak (penulis) muda untuk membuat sastra berdampak pada masyarakat?”
“Anak muda harus mulai bicara tentang hal-hal di luar dirinya—tapi, anak muda sekarang suka membicarakan dirinya sendiri sih ya.”
“Kalau kita ingin mengubah banyak hal, memang seperti yang Dewi katakan, sekali-sekali bicara tentang hal yang tidak tentang diri sendirinya lah. Bicara hal-hal tentang di luar dirinya.”
Dialog tersebut merupakan petikan tanya jawab antara host (Rahim Arza) dan pemateri (Dewi Alfianti dan Budi Dayak Kurniawan) dalam diskusi Dampak Sastra pada Masyarakat di kanal youtube Dewan Kesenian Banjarmasin. Idealisasi genre sastra oleh Dewi Alfianti dan Budi Dayak Kurniawan ini menggelitik sekali. Apakah sastra yang berdampak pada masyarakat hanya sastra-sok-heroik? Kenapa dalam diskusi berdurasi setengah jam ini Dewi Alfianti dan Budi Dayak Kurniawan melulu bicara sastra perjuangan dan meminggirkan genre sastra yang lain dalam hubungannya pada dampak di masyarakat? Dampak apa yang diinginkan dalam diskusi ini sebenarnya, yang ingin membuat masyarakat sadar akan pentingnya hutan kah, pentingnya mengkritik pemerintah kah? Apakah hanya kepada hal-hal semacam itu sastra harusnya memiliki dampak? Kenapa ada dikotomi antara genre sastra dengan menyebut sastra serius dan tidak serius?
DAMPAK SASTRA: ROMANTISISME MASA LAMPAU
Pertanyaan-pertanyaan di atas timbul sebab dalam diskusi tersebut, alih-alih membicarakan dampak sastra yang ada dan yang pernah ada di Kalimantan Selatan, pemateri justru membuat bentuk-bentuk ideal mereka terhadap sastra yang mestinya ditulis agar memiliki “dampak” yang besar. Selain karena romantisme masa lampau, saya tidak mengerti lagi atas dasar apa keyakinan bahwa sastra yang mereka idealkan mampu mempengaruhi masyarakat. Mungkin akan lebih menarik jika seandainya Dewi Alfianti dan Budi Dayak Kurniawan—tak perlu jauh-jauh dulu membicarakan Pram atau Max Havelar—bicara soal dampak puisi bertema lingkungan oleh Ajamudin Tiffany yang disinggung Budi Dayak sebagai puisi perlawanan yang ditulis secara apik atau dampak dari novel Rumah Debu-nya Sandi Firly yang disebut oleh Dewi Alfianti dan semua karya bertema serupa dari penulis lain yang lahir dari masa ke masa di Kalimantan Selatan. Bagaimana narasi yang dipakai dan apa yang dihasilkan dari karya soal lingkungan itu? Apakah keduanya mempengaruhi masyarakat luas terhadap sudut pandang pada persoalan yang mereka angkat dalam karya mereka atau justru masyarakatlah yang mempengaruhi mereka untuk menulis hal tersebut?
Jika yang terjadi justru pada kemungkinan kedua, maka pemerhati sastra dan orang-orang yang berada di arus utama kesusastraan jangan buru-buru beranggapan bahwa sastra (secara menyeluruh) sebagai bentuk seni adiluhung dan menganggap bahwa masyarakat kita perlu diingatkan terus menerus soal apa yang tengah mereka hadapi sekarang. Sebab jika begitu, yang lebih ingat dan peduli soal lingkungan justru masyarakat. Dan sama seperti wartawan, penulis hanya bertugas mencatat sepenggal kejadian atas apa yang terjadi. Tidak lebih.
Jika bicara soal kolektivitas penulis dalam merespon lingkungan sekitar sehingga mampu menginternalisasi masyarakat, maka bicaralah, misalnya, tentang geliat sastra-perlawanan pertama oleh penulis Kalimantan Selatan pada akhir abad ke-20. Bukankah Y.S Agus Suseno, dalam diskusi pertama di kanal Youtube yang sama, mengatakan pada tahun 1999 pernah ada gerakan semacam itu? Selanjutnya kita tahu Y.S Agus Suseno banyak menulis soal tema serupa, lalu muncullah karya-karya serupa dari penulis lainnya (Rumah Debu tadi misalnya). Apa yang dihasilkan dari gerakan tersebut? Bagaimana dampaknya pada masyarakat?
Saya kira jika beberapa poin di atas dibahas, maka diskusi dampak sastra ini justru akan lebih bermakna.
Lagipula, dari dialog-dialog di sepanjang tayangan tersebut—dan bahkan pada diskusi pertama, saya selalu bertanya-tanya: apakah ketika membahas sastra bertema lingkungan dan perlawanan para pembicara terjebak pada tahun-tahun yang lampau. Sebab tak satupun dari mereka menyebut karya-karya terbaru (yang paling terkini cuma Rumah Debu, 2010, sebelas tahun yang lalu!). Jika iya, jujur saja, saya ingin sekali membantah diskusi tersebut dengan menunjukkan karya penulis muda yang belakangan timbul, terutama di Kalimantan Selatan, bahwa banyak dari mereka yang tidak melulu bicara soal cinta atau kegalauan sebab kekasih yang pergi. Tapi saya rasa itu soal lain yang tak perlu dibahas, sebab bila diteruskan, tulisan ini bisa saja bergeser tujuan dari yang semula mempertanyakan tentang sastra serius dan tidak serius menjadi pertanyaan: apakah sastrawan senior, pemerhati sastra, kritikus sastra, dan orang-orang yang berada di “ring satu” kesusastraan kita peduli dan membaca karya penulis “baru” Kalimantan Selatan?
PERTANYAAN SERIUS TENTANG SASTRA SERIUS & SASTRA TIDAK SERIUS
Sekarang mari kita fokus pada pertanyaan tentang sastra serius dan sastra tidak serius yang disinggung keduanya pada menit 17:05. Sastra serius yang dimaksud keduanya dalam hal ini saya tangkap sebagai sastra yang bicara tentang perjuangan terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat, terutama—karena keduanya sering sekali menyebut—soal kerusakan lingkungan dan pemerintahan. Anggapan ini merujuk pada apa yang Dewi Alfianti katakan di menit 15:40: “Kita mengharapkan hal seperti itu (sastra yang bicara soal perlawanan kepada pemerintah atau tentang kerusakan lingkungan) memang. Kalau kita bicara tentang sastra dan dampaknya pada masyarakat begitu ya. Kalau kita bicara sastra dan kaitannya dengan kepengarangan belaka atau komunitas internal saja tidak masalah, atau mengejar sasaran pembaca yang populer itu juga tidak masalah mau seperti apa.”
Sastra pop atau katakanlah sastra tidak serius yang membicarakan diri sendiri seperti yang dikatakan dalam diskusi tersebut, kali ini saya kutip makalah Yovantra Arief, Kritik Sastra dan Sastra Populer (Indoprogress, 6 Juni 2014) lazim dipakai sejak tahun 70-an lewat suksesnya novel Karmila dari Marga T dan Cintaku di Kampus Biru oleh Ashadi Siregar. Namun, oleh Jakob Sumardjo, yang disitir Yovantra dalam makalahnya, kesusastraan populer muncul jauh sebelum tahun tersebut, yaitu sejak tahun 30-an ketika Balai Pustaka merajarela.
“Pandangan tentang sastra populer yang banal,” tulis Yovantra, “tidak mendidik, dan tidak punya selera seni muncul seiring dengan usaha kolonial untuk meredam geliat penerbitan pribumi dan Tionghoa pada awal abad ke-20.”
Usaha ini dimulai pada tahun 1908 ketika DA Dinkes mendirikan Komisi Bacaan Rakyat atau yang kemudian berubah menjadi Balai Poestaka pada 1917 untuk meredam Batjaan Liar, sebuah istilah yang merujuk pada segala karya yang terbit di luar dari penerbitan resmi kolonial. Semangat sastra kelas atas yang dibawa Balai Poestaka ini tak lain untuk menciptakan kelas semata, bahwa sastra yang serius mestilah dibikin dengan bahasa Melayu tinggi, sastra yang hanya bisa dibaca orang berpendidikan. Dan Batjaan Liar, ketika kelas ini tercipta, disebut-sebut sebagai bacaan kelas rendah untuk pribumi membodohi dirinya sendiri.
Anggapan ini terus saja berlanjut hingga tahun-tahun setelahnya dan kini bahkan sampai pada kritikus dan pemerhati sastra kita, bahwa sastra yang ngepop adalah jenis tulisan tidak berbobot yang tidak memiliki dampak besar pada masyarakat, bahwa sastra ngepop merupakan jenis tulisan tidak serius yang dipandang hanya dengan dua cara: mencacinya sebagai tulisan tidak sastrawi atau membelanya karena tulisan tersebut mampu menyasar pembaca dengan jumlah yang banyak.
Jika Dewi Alfianti dan Budi Dayak Kurniawan bisa menyebut bahwa tidak banyak penulis baru yang mau berkubang dalam sastra-sok-heroik dan konsisten dalam ranah tersebut, maka saya pun bisa pula membalikkannya menjadi kalimat seperti ini: tidak banyak pemerhati sastra atau kritikus sastra atau orang-orang di arus utama kesustraan yang bisa membedah sastra yang kata mereka tidak serius itu dengan pisau bedah yang tepat untuk membuatnya sebagai suatu karya yang utuh; tidak banyak dari mereka yang mampu keluar dari anggapan bahwa karya sastra (saya benci harus menyebut ini berulang-ulang!) tidak serius bukan semata jelek dan laku.
Jika mereka berdalih bahwa penyebutan sastra serius ini punya makna yang abu-abu dan tidak diketahui dengan jelas di mana batasannya, maka alih-alih memberi pencerahan, diskusi tersebut hanya akan menjerumuskan kita ke dalam lubang yang berisi ratusan pertanyaan tentang apa makna idealisasi sastra yang mereka inginkan.
Sekarang bayangkan jika kita berdamai dengan idealisasi tersebut, saban kali ada event kesusastraan di Banua, setiap tahun, setiap acara, karya yang direkomendasikan selalu berkutat pada perjuangan. Kita diberi asupan sastra bagus adalah sastra yang seperti itu. Kita percaya. Lalu karena kepercayaan mutlak atas idealisasi arus utama kesusastraan tersebut kita pelan-pelan meminggirkan sastra yang “bicara tentang dirinya sendiri” (an sìch), menyebutnya sebagai sastra hiburan kelas rendah. Kita, penulis yang baru ingin timbul merebut hati kritikus dan pembaca, berlomba-lomba menulis karya sejenis demi sebuah pengakuan. Saban tahun karya dipenuhi sastra perjuangan! Sungguh menarik untuk ditertawakan, bukan?
PAK, BU, APA ITU SASTRA SERIUS?
Apabila misalnya pada tahun 1990 seorang Knut Hamsun lahir di pelosok desa Kalimantan Selatan, lalu menerbitkan Hunger di usianya yang ke-31 yaitu pada tahun 2021, maka, saya kira, dengan anggapan tentang sastra serius dan tidak serius ini, novel tersebut akan disisihkan dari rekomendasi sastra unggulan dalam setiap event. Novel tersebut hanya akan disebut sebagai novel yang bicara soal dirinya sendiri. Atau, ayo kita berandai-andai lagi, jika misalnya pembeda-bedaan jenis sastra ini memang benar adanya, harus kita letakkan di mana Catcher in the Rye J.D. Salinger; di mana letak What We Talk About When We Talk About Love Raymond Carver; Norwegian Wood Haruki Murakami; Thérèse Raquin Emile Zola; Semua Ikan di Langit Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie yang memuat cerita anak, fantasi, fiksi ilmiah, dongeng dan mitos itu?
Sebagai orang pinggiran yang baru belajar menulis, anggapan kalian tentang sastra serius sebagai sastra yang tidak membicarakan dirinya sendiri ini pun bahkan bertentangan dengan perkataan kalian sendiri yang menyebut penulis harus menulis sesuatu yang dekat dengan dirinya. Apa yang lebih dekat dengan diri manusia selain dirinya sendiri? Saya kira, jika pertanyaan itu ingin dijawab dengan benar, mungkin Tuhan adalah satu-satunya yang lebih dekat dengan saya. Apa saya harus menulis tentang Tuhan atau tentang perlawanan atau bagaimana?
Pada menit 12:50 Budi Dayak Kurniawan mempertanyakan tentang tujuan dari karya sastra yang mengangkat isu lokalitas sebagai bentuk kecintaan penulis terhadap lokalitas atau memang hanya menganggap hal-hal tersebut lebih seksi untuk dijadikan bahan baku karya sastra semata. Khusus untuk beliau, saya punya pertanyaan serupa:
Jika idealisasi sastra yang dibahas dalam diskusi ini terjadi, apakah nantinya tujuan dari karya sastra yang mengangkat isu lingkungan dan perlawanan sebagai bentuk kecintaan penulis terhadap daerah atau memang hanya menganggap hal-hal tersebut lebih seksi untuk dijadikan karya? Atau sebatas karena orang-orang yang punya posisi dalam kesusastraan lokal menyukai bacaan tersebut?@
(Ditulis dan disunting bersama dengan Abdul Karim)