PANDEMI Covid-19 yang terjadi di Indonesia telah membawa dampak yang signifikan di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Berbagai macam kebijakan yang diterapkan masa pandemi turut memberi dampak sosial ekonomi bagi masyarakat termasuk kebutuhan paling dasar yaitu pangan. Pangan merupakan penunjang utama dalam membangun daya tahan suatu perekonomian apalagi saat terjadi goncangan Covid-19.

Sektor pertanian merupakan sektor yang paling strategis karena sebagi penghasil kebutuhan pangan masyarakat diharapkan mampu mengatasi ketersediaanya. Salah satu permasalahan utama menurunnya produksi pangan nasional adalah rendahnya minat generasi milenial untuk terjun ke bidang pertanian karena pandangan mereka tentang pertanian itu identik dengan pekerjaan yang kotor,berat,panas panasan, kurang bergengsi dan kurang menjanjikan untuk masa depan,sehingga sektor pertanian dianggap kurang memiliki daya tarik.

Berdasarkan data Sensus Pertanian 2013, jumlah rumah tangga petani turun lebih dari 20 persen dari 79,5 juta menjadi 63,6 juta, Kondisi ini diperparah dengan kondisi 61 persen petani berusia lebih dari 45 tahun, sementara jumlah petani muda mengalami penurunan secara signifikan sehingga regenerasi petani mengalami stagnasi. Dominannya petani tua memiliki konsekuensi terhadap pembangunan pertanian berkelanjutan, khusunya terhadap produktivitas, daya saing pasar, kapasitas ekonomi dan lebih lanjut mengancam ketahanan pangan.

Pada sisi lain, lahan pertanian semakin berkurang karena kepentingan pembangunan dan alih fungsi lahan turut berperan dalam penurunan produksi pangan. Ancaman krisis pangan kini lambat laun mulai menghantui masyarakat.

Berdasarkan data Global Hunger Indonesia (GHI), tingkat kelaparan masyarakat Indonesia termasuk dalam kategori serius walaupun terjdi penurunan yang semula 24,9 persen pada tahun 2010 menjadi 20,1 persen pada tahun 2019.Namun demikian, Indonesia tetap harus waspada terhadap ancaman bencana kelaparan yang bisa memicu berbagai persoalan besar seperti kesehatan, sosial, ekonomi dan keamanan. Dalam upaya mengantisipasi krisis pangan di masa pandemi ini, masyarakat yang tinggal di perkotaan melakukan kegiatan berupa gerakan urban farming dalam upaya menjamin ketersediaan pangan.

Urban farming atau disebut juga urban agriculture merupakan salah satu teknik pertanian yang dilakukan di wilayah perkotaan di areal terbatas dengan membudidayakan tanaman pangan dan usaha pertanian dalam artian luas(sector pertanian) serta membudidayakan tanaman hias atau flory culture(Pearson et al., 2011). Selain berdampak positif dalam kehidupan sehari-hari, urban farming juga memberikan dampak yang banyak terhadap lingkungan sekitar,karena bias digunakan sebagai sarana penghijauan di perkotaan (Kennard and Bamford, 2020).

Dengan adanya penghijauan bisa mengurangi emisi gas rumas kaca terhadap pemanasan global, sehingga peran urban farming dapat menjadikan suasana perkotaaan menjadi lebih mereleksasi dan menenangkan, serta dapat memberikan sarana masyarakat yang nyaman untuk beristirahat (Pearson et al., 2011).

Teknik urban farming sangat mudah dilakukan dan efisien karena mengaplikasikan teknologi pertanian modern seperti hidroponik, aquaponik, vertiminaponik, vertikultur dan wall gardening sehingga siapapun dapat melakukan urban farming dengan menggunakan lahan yang terbatas dan biaya yang murah atau terjangkau masyarakat. Selain bercocok tanam, urban farming juga bisa dilakukan dengan cara beternak hewan yang biasa dikonsumsi, seperti unggas, kelinci, kambing, domba, hingga ikan. Urban farming dapat mendukung kebutuhan pangan keluarga dan kebutuhan sehari-hari (Dewanggi and Perwitasari, 2020).

Urban farming sering kali difungsikan sebagai alternatif lain untuk mendapatkan produk yang bergizi dan lebih segar daripada makanan impor karena memliki waktu transportasi yang lebih rendah sehingga mampu mengurangi tekanan pada lahan pertanian saat ini (Kennard and Bamford, 2020).

Facebook Comments