SATU kekhawatiran bersama muncul, ketika National Library of Indonesia 2023 merilis 10 kota tertinggi minat bacanya, dari 10 kota tersebut tidak ada satu pun kota di Kalimantan yang masuk, tidak terkecuali Banjarmasin.
Karenanya diskusi terbatas yang digagas Ikhsan El Haque, Kepala Perpustakaan dan Arsip Kota Banjarmasin, bertempat di Rumah Alam Sungai Andai, 2 Maret 2023, dihadiri para pegiat literasi, bermaksud mengumpulkan sejumlah gagasan inovatif dalam rangka memajukan literasi di kota Banjarmasin, yang nantinya dapat mendorong kabupaten lain untuk juga melakukan hal yang sama.
“Makna hasil survei tersebut sangat luas sekali, apalagi bila tidak ada gerakan revolusioner untuk mengatasinya. Jangan-jangan tanpa sadar kita benar-benar sedang memasuki ‘darurat literasi’, yang tidak bisa dipandang sebelah mata,” ujar Noorhalis Majid selaku tuan rumah dan pegiat literasi.
Menurutnya perlu langkah strategis guna meningkatkan minat baca masyarakat. Langkah strategis tersebut misalnya, melakukan kegiatan populis yang dapat membudayakan buku dan minat baca. “Misalnya, kalau dulu pernah digagas pojok baca di kantor-kantor, pertanyaannya apakah pojok baca tersebut masih ada? Apakah kantor, masih membudayakan membaca melalui pojok baca tersebut?” ucap Noorhalis Majid.
Menarik bila gerakan tersebut diperluas, katanya. Misalnya dengan membuat pojok baca di kafé-kafé yang ramai menjadi tempat tongkrongan anak muda.
“Tentu jangan berharap pengunjung kafé serta merta berebut membaca buku yang disediakan. Mungkin pojok baca tersebut baru sebatas etalase guna menumbuhkan minat terhadap buku dan membaca. Setelahnya pada kafé tersebut secara berkala diselenggarakan diskusi atau ngobrol buku. Kalau kontinyu, pasti berdampak pada minat baca,” ucap penulis buku Paribasa Banjar ini.
Reza Pahlevi, dosen Pancasila pada FKIP ULM, mengatakan ada dua hal yang harus diupayakan, yaitu indek literasi, sebagaimana survei yang sudah dilakukan dan menempatkan Kalsel serta Banjarmasin di urutan bawah. Yang juga harus didorong adalah TGM, yaitu Tingkat Gemar Membaca. Variabelnya antara lain, berapa sering seseorang membaca, seberapa lama dia membaca, dan berapa kali mengunjungi perpustakaan atau toko buku.
“Hal tersebut kalau ditanyakan pada masyarakat kita dan kemudian dijawab tidak pernah, maka berarti tidak ada kegemaran dalam membaca bagi masyarakat. Kegemaran itulah yang harus diupayakan melalui berbagai kegiatan, misalnya membuat club-club membaca,” ujar Reza.
Pengalaman Reza di Bandung, di sana ada cukup banyak club-club membaca yang tersebar di beberapa tempat. Ada dibuat seperti tadarusan, satu buku dibagi kepada beberapa orang, tiap orang bertugas membaca pada bab yang mana dan menyampaikan hasil bacaannya.
“Di tempat kita hampir tidak ada club baca seperti itu, karena tidak ada gerakan yang memulainya. Kami pernah lakukan di Kampung Buku, tapi kemudian tidak kontinyu,” ujar pemilik kios di Kampung Buku ini.
Arif Rahman Hakim, dosen antropologi pada FKIP ULM. Arif juga setuju menghidupkan club-club baca, sebab dari sana muncul budaya membaca. “Kalau dimungkinkan, disertai dengan workshop menulis sejarah kampung, sehingga para remaja, belajar menggali data dan kemudian menulis sejarah di kampungnya sendiri,” ujarnya.
Yang tidak kalah penting, kata Arif, mempermudah akses bacaan. Semakin banyak akses bacaan, entah itu perputakaan, pojok baca atau perpustakaan keliling, maka semakin tinggi minat baca.