MUSIM Pilpres dan Pilkada memang masih lama lagi, 2024. Namun pembicaraan dan obrolan, atau bisik-bisik, tentang itu mulai kerap kita dengar di warung-warung kopi, atau kita sendiri juga sudah mulai mendiskusikannya dengan teman-teman.
Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin rupanya menangkap hal itu, dan coba mendiskusikannya pada Sabtu (19/11/2022) di Rumah Alam, Sungai Andai Banjarmasin.. Tema yang diangkat adalah: “Refleksi Evaluasi Kepemimpinan Politik di Kalimantan Selatan dan Meneropong Peluang Perubahan 2024”.
Selain soal oligarki yang sudah teramat sering dibicarakan, juga ada istilah patron dan pelayan, serta sekaratnya demokrasi, yang menarik dari diskusi ini yakni adanya usulan perlunya digelar suatu konvensi untuk menentukan calon gubernur Kalimantan Selatan ke depan.
Namun sebelumnya, Noorhalis Majid, aktivis LK3, selaku moderator mengingatkan, bahwa diskusi Ini tidak merujuk pada seseorang, atau mencoba mengevaluasi Paman Birin (gubernur Kalsel). “Kita mencoba membaca, bahwa saat ini sepertinya tidak ada faktor penyimbang dalam pencalonan kepala daerah. Seolah harus selalu melalui restu satu kubu. Sementara partai juga seakan tidak punya calon alternatif lain,” ujar Noorhalis Majid.
Diskusi menghadirkan narasumber pemantik Dr H Mohammad Effendy (dosen Hukum Tata Negara Universitas Lambung Mangkurat), Hairansyah (Komnas HAM), dan Siti Mauliana Hairini (dosen FISIP Universitas Lambung Mangkurat. Peserta yang hadir dari kalangan umum.
Mauliana yang lebih dulu bicara menyampaikan, bahwa saat ini telah terjadi sistem politik patron-klien. “Secara politik informal, fenomena patron-klien atau pelayan ini telah terjadi sejak zaman kerajaan. Di mana seseorang yang memerlukan suatu kedudukan akan mendatangi sang patron untuk mendapat restu atau sokongan. Di sinilah kemudian terjadi pertukaran kepentingan,” ujarnya.
Ia juga mengkritisi sebutan pemilih rasional. Menurutnya sebutan itu justru dapat disalahmaknai.
“Seseorang bisa saja memilih calon yang memang menguntungkan bagi dirinya pribadi. Dia diberi, maka ia pilih. Ini bisa dianggap rasional,” cetusnya.
Dalam hal kebijakan yang dijalankan kepala daerah, Mauliana menekankan agar itu bersifat menyeluruh. “Bukan hanya personal atau segelintir golongan saja. Melainkan harus bersifat umum atau publik,” katanya.