BAGAIMANAKAH kawasan pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan di mata orang luar?

Mas Jiwo Pogog dan Kirana yang berasal dari pulau Jawa, berbagi pengalamannya selama menjelajah dan bergaul dengan penduduk Meratus, tepatnya di Desa Hinas Kiri, Kabupaten HST.

“Saya baru disebut Kalimantanis secara ‘resmi’ ya baru di acara ini.” Demikian dikatakan Mas Jiwo Pogog dalam “Ngobrol Santai bersama Kirana dan Mas Jiwo Pogog”, Sabtu malam (13 Juli 2024), di Kampung Buku.

Di tengah giatnya kali ini, dalam rangkaian Kirana Mulya’s Rattan for Life Project di mana ia menjadi Pendamping Kirana, siswa SMA kelas XI Global Jaya School Jakarta, Jumali Wahyono Perwito yang lebih dikenal sebagai Mas jiwo Pogog menyempatkan diri mengajak teman-teman Warga Kambuk berdiskusi santai dan menyampaikan kegiatannya yang inspiratif.

Sebagai seorang Kalimantanis, istilah yang awalnya ia buat (terinspirasi dari Klanis, para pecinta grup band KLA Project) sebagai identitas pada baju dan pin yang menegaskan aktivitasnya, Jiwo Pogog telah melakukan banyak perjalanan di Kalimantan sejak tahun 2007. Tidak sekadar “jalan-jalan” ia juga melakukan upaya pemberdayaan dan belajar banyak dari para tokoh masyarakat dan tokoh budaya yang ditemuinya.

Hajriansyah (kiri, moderator) bersama Mas Jiwo Pogog dan Kirana berbicara tentang kehidupan di Meratus, dalam ngobrol santai di Kampung Buku, Sabtu (13/7/2024) malam.

Kali ini ia menemani Kirana melakukan perjalanan ke Desa Hinas Kiri, Kabupaten HST, melakukan penanaman bibit rotan dan pendokumentasian terkait kegiatan “kembali ke alam”. Hal ini untuk menyemangati siswa SMA di Jakarta itu yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan alam. Selama kurang lebih seminggu (7-13 Juli 2024) mereka berada di Desa Hinas Kiri HST, dan sempat singgah pula sebentar ke Loksado HSS, berbaur dan bekerja bersama di desa di lereng Meratus tersebut ditemani pegiat lingkungan Ichunk Lestari.

Sebelum pulang ke Jakarta, Kirana ditemani Jiwo Pogog ingin pula berbagi kisah bersama kawan-kawan di Banjarmasin, di Kampung Buku. Acara yang dimulai pukul 20.30 wita tersebut dihadiri para mahasiswa, siswa sekolah, guru, penulis dan jurnalis–di antaranya jurnalis senior Khairiadi Asa. Hadir pula novelis Randu Alamsyah.

Kegiatan ini, kata Hajriansyah, pengelola Kambuk dan Ketua Dewan Kesenian Banjarmasin, yang pada acara diskusi bertindak sebagai moderator, merupakan upaya berbagi yang diharapkan menjadi inspirasi bagi warga Kampung Buku (Kambuk).

“Hal terpenting yang disampaikan mereka berdua, adalah tentang jiwa kesukarelawanan atau volunterisasi. Jiwa atau semangat ini penting untuk menjaga kelestarian seni budaya, dan terutama dalam rangka turut membangun bersama masyarakat. Karenanya kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan dan sesama menjadi inspirasi yang dibagikan mereka berdua malam ini.” Demikian disampaikan Hajri.

Peserta acara ngobrol santai tentang Meratus di Kampung Buku.

Dalam kesempatan ini pula, Kirana menjelaskan bahwa kegiatannya ini bermula dari kegiatan di sekolahnya, di mana ia memamerkan karya-karya fotografinya tentang kerajinan rotan. Dari situ mendapat bantuan dana dari sebuah program internasional sejumlah kurang lebih 3 ribu dolar. Dana inilah kemudian yang ia belikan bibit rotan dan jadikan pembiayaan kegiatan lingkungannya kali ini, yang didampingi Mas Jiwo Pogog.

“Om Jiwo menjadi mentor saya, dari kegiatan di Jakarta sampai kunjungan ke Kalimantan Selatan kali ini. Beliau memberi arahan dan menginspirasi saya, sehingga saya makin sadar pentingnya kelestarian hutan dan alam sebagai penyangga kehidupan,” papar Kirana.

Ketika ditanya apa kesannya tentang perjalanannya kali ini, Kirana mengatakan, “Di Meratus jauh lebih segar, dari yang saya rasakan di tengah kesumpekan Jakarta”. Jiwo Pogog kemudian menambahkan, bahwa kegiatan ini menjadi pelajaran sekaligus pengalaman bagi Kirana, agar ke depan ia bisa berkembang jadi apa saja dan tetap bisa mencintai lingkungan.

Desa Hinas Kiri, Kabupaten HST, dipilih karena daerah ini adalah sebuah daerah di Kalsel yang masih belum tersentuh pertambangan dengan skala besar.

“Kita berharap dapat turut menyemangati para pegiat lingkungan dan masyarakat sekitar, agar tetap menjaga HST sedemikian itu. Karena upaya pertahanan yang mereka lakukan sangat berharga dan inspiratif. Dan kenapa rotan? Karena budi daya rotan ini sendiri tidak merusak hutan, bahkan menjadikan pohon-pohon makin banyak sebagai induk penyangga rotan. Rotan juga dapat dibudidayakan dan bisa menjadi penghasilan bagi masyarakat,” terang Mas Jiwo Pogog.

Acara yang berlangsung meriah dengan tanggapan dan pertanyaan dari para peserta ini berakhir pukul 22.30 wita. Terlihat sesudahnya, para peserta masih antusias untuk ngobrol di luar diskusi resmi dan menanyai Mas Jiwo Pogog dan Kirana.@