PULUHAN pegiat dan peminat kebudayaan serta mahasiswa, duduk memenuhi selasar Kampung Buku (25/08/2024). Sebuah ruang publik yang diinisiasi Hajriansyah berlokasi di Jl Sultan Adam Banjarmasin, tempat terbuka bagi siapa saja yang ingin memperkenalkan karya kebudayaan atau penelitiannya dan dijamin akan banyak pegiat serta peminat kebudayaan hadir menyaksikan.
Kali ini Lidia Mentaya bersama kawan-kawannya, mempersembahkan satu karya dokumenter tentang seni tempa senjata tradisional Kalimantan Selatan. Suatu program pemajuan kebudayaan yang didukung Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XIII, dan malam itu turut hadir menyaksikan Kepala BPK Wilayah XIII, DR. Muslimin A.R. Effendy.
Menonton film dokumenter yang digarap Lidia Mentaya, disutradarai Munir Shodikin, dan naskanya ditulis Hajriansyah, seakan diajak mengenali satu tradisi yang boleh dikata hampir punah, yaitu seni tempa pembuatan senjata tradisional Kalimantan Selatan.
Orang Banjar mengenalnya dengan nama pandai. Ya, hanya pandai. Bukan pandai besi, tapi cukup dengan menyebut ‘pandai’, asosiasi orang Banjar sudah tertuju pada pembuat sejata atau alat tradisional berbahan besi. Kata itu tentu sangat universal, sebab juga digunakan di berbagai suku di Indonesia. Mungkin berasal dari Bahasa Jawa, sebab orang Jawa menyebutnya Pande.
Sejarah pandai tentu saja sangat tua, ada yang mengatakan sudah dikenal sejak sekitar tahun 1500 SM di Anatolia oleh bangsa Het, ketika mereka mengenal teknik peleburan, saat bijih besi ditemukan manusia, sejarah menulisnya dengan sebutan ‘zaman besi’.
Jauh sebelum kata ‘pandai’ digunakan, orang Banjar menyebutnya dengan ‘panitikan’. Diambil dari bunyi yang keluar, ketika proses pembuatan senjata dilakukan. Saat godam dipukulkan pada besi yang ditempa, setelah dipanaskan dalam kobaran bara api yang dipompa, berbunyi tik, tik, tik, tik. Dari situlah kata ‘panitikan’ disematkan orang Banjar, untuk para pembuat sejata tradisional yang begitu terampil dalam mengolah besi menjadi berbagai bentuk senjata.
Tidak dikenal kata ‘Empu’, sebagaimana orang Jawa menyebutnya. Kalau ada yang setara dengan itu, orang Banjar memanggilnya dengan ‘pawasian’, yaitu orang yang mengenal jenis-jenis besi dengan segala peruntukannya.
Film dokumenter yang dibuat Lidia, sebagai permulaan yang sangat menarik untuk mendalami lebih jauh seni tradisi ‘panitikan’ atau ‘pawasian’. Sebab orang-orang yang menggeluti keterampilan tersebut, berinteraksi setiap hari dengan berbagai jenis besi, tentu memahami karakter, sifat, bahkan filosofi berbagai besi tersebut.
Jika film dokumenter tersebut juga menyertakan penggalian pengetahuan akan makna-makna filosofis, tentu akan lebih menarik. Sebab terkait soal ini, orang Banjar juga pandai dalam ‘babilangan’ atau perhitungan tentang jenis-jenis besi yang cocok bagi tiap-tiap orang. Tiap besi memiliki fungsi dan simbolnya masing-masing, bahkan pada besi yang diciptakan untuk tujuan tertentu, diyakini di dalamnya ada khodam yang menyertai.
Pengetahuan filosofis terkait besi dengan segala jenis, bentuk dan peruntukannya, tentu sekarang sudah banyak yang hilang. Menandakan semakin berjaraknya orang Banjar dengan seni tempa besi yang usianya sangat tua.
Juga penting digali, dari mana orang Banjar mengenal tradisi pengolahan besi? Siapa yang mengenalkannya dan dibawa oleh bangsa apa?
Apalagi bila mendalami lebih jauh sentra pengolahan besi yang melegenda di kampung Nagara, Hulu Sungai Selatan, pastilah semakin menarik untuk mengetahui dari mana sebenarnya pengetahuan dan keterampilan didapatkan orang Banjar, mengingat tanah Banjar bukan penghasil bijih besi yang kemudian diolah dan ditempa menjadi senjata.
Lidia Mentaya sendiri di akhir acara mengatakan, bahwa hasil pendokumentasian ini dapat ditindaklanjuti untuk lebih mendalami terkait pengetahuan orang Banjar tentang seni membuat senjata tradisional, yang melahirkan berbagai jenis mandau, lading, parang bungkul, tajak, tumbak, dan lain sebagainya. Dari mana berbagai pengetahuan jenis-jenis senjata itu didapatkan? Kalau tidak ada upaya pelestarian, boleh jadi kelak orang Banjar hanya tahu kisahnya dari para penutur. Bahkan suatu waktu tidak mustahil hanya tinggal cerita yang dilupakan.@