SAYA dan anak saya Echa, duduk hikmat menyaksikan film dokumenter tentang Misbach Tamrin berjudul Kulminasi, yang diputar di Misbar Banjarbaru, Sabtu 20 Juli 2024. Kami nonton film tersebut sambil berdiskusi. Anak saya bertanya tentang banyak hal yang dia tidak ketahui, dan pasti tidak dia alami.
Saya satu kampung dengan Misbach Tamrin di Kabun Sari Amuntai, saya pernah mengalami masa kanak-kanak di kampung itu, bahkan kakek saya bermakam di kampung pinggir sungai yang asri tersebut.
Selisih umur saya dengan Misbach Tamrin 29 tahun. Selisih umur anak saya Echa dengan beliau 60 tahun. Satu rentang usia yang sangat jauh dan di dalamnya mengandung banyak sejarah yang tidak bisa diuraikan oleh film dokumenter berdurasi hanya 1 jam 20 menit.
Film dokumenter Misbach Tahmrin, setidaknya memberikan pelajaran 5 hal penting kepada kami berdua. Pertama; film tersebut menceritakan tentang sejarah Indonesia, yang di dalamnya bukan saja tentang perjuangan kemerdekaan, tapi juga berbagai cerita kelam dengan tragedi kemanusiaan yang sangat kejam. Bila tidak mengerti minimal separuh sejarah Indonesia, maka sulit memahami film dokumenter tersebut. Anak saya bertanya soal apa itu “kiri”, apa itu “kanan”, satu idiologi yang memerlukan pengetahuan dunia, karena sangat terkait dengan pertarungan negara-negara besar, melahirkan perang dingin dari negara-negara yang berbeda idiologinya serta saling meniadakan.
Dia jua bertanya apa itu Lekra? Apa itu PKI, apa itu peristiwa 30 September 1965? Kenapa terjadi pembantaian? Kenapa harus diburu, dihukum, dibunuh, bahkan kenapa sampai ada hukuman tanpa proses pengadilan?. Film ini menjadi jendela untuk melihat sejarah Indonesia yang tidak baik-baik saja, tapi memiliki sisi kelam, pergulatan kemanusiaan yang tidak mungkin dilupakan.
Tanpa memiliki pengetahuan sejarah yang cukup tentang Indonesia, sulit mampu memahami film dokumenter tersebut. Kami dua beranak yang menyaksikan film tersebut dengan hikmat, mengucapkan terimakasih yang tak terhingga, karena film itu menjadi jendela, bahkan pintu dalam melihat sejarah yang lebih panjang.
Kedua; film tersebut bercerita tentang sejarah seorang tokoh – sang maestro seni rupa Indonesia. Bahkan sejarah seorang pemikir, ideolog. Sejarah seorang yang bukan saja pandai melukis, tapi tahu persis akan apa dilukisnya. Mampu menuangkan sejarah hidupnya dalam lukisan, bahkan narasi dalam film tersebut menghunjam penontonnya, “bahwa bila tidak mampu melukiskan sejarah hidup, lebih baik jadi kerbau saja”. Dengan demikian, lukisan yang dibuatnya menceritakan sejarah Indonesia itu sendiri. Seorang yang merintis karirnya dari bawah, dari Kabun Sari di tepi sungai Amuntai, ke Murung Pudak, ke Banjarmasin, ke Yogyakarta, lalu bertarung di Jakarta dan dikenal dunia melalui karya-karya besarnya. Dia setara dengan tokoh-tokoh besar seni rupa lainnya seperti Amrus Natalsya, Kuslan Budiman, Adrianus Gumelar, Isa Hasand, Joko Pekik, dan lain-lain.
Belum pernah ada film dokumenter tentang tokoh di Kalimantan Selatan yang digarap begitu serius dan apik ini.
Sekali pun tentu saja film ini tidak mampu memotret keseluruhan perjalanan hidup dari sang tokoh. Terutama perjalanan masa kecilnya, tentang bakat melukis yang seketika datang kepadanya dan menjadikannya begitu piawai memainkan kuas, memadukan berbagai warna cat, dan bukan itu saja, juga mahir mengerjakan berbagai karya seni rupa lainnya.
Bahkan film ini belum banyak menggambarkan tentang pertarungannya melawan “mati”. Kalau saja saya dalam posisi beliau, dengan segala tragedi ketidak adilan yang dialami, mungkin saya sudah lama “mati”. Tapi dia menolak “mati”, dan terus berkarya, melampaui orang-orang yang bebas dari belenggu serta stigma.
Ketiga; film ini bercerita tentang sejarah seni rupa Kalimantan Selatan dan bahkan seni rupa Indonesia. Sanggar Bumi Tarung yang didirikan Misbach Tamrin, adalah bagian yang tidak bisa diabaikan dalam sejarah seni rupa Indonesia. Dia memperkenalkan tentang satu aliran seni rupa yang dinamakan realisme revolusioner, yang mampu memotret realitas sosial sejarah Indonesia. Suatu sejarah yang berlawan, realita sosial khas indonesia. Bahwa sejarah bukan sekedar romantisme, tapi di dalamnya menyimpan kesewenang-wenangan dan ketidak adilan.
Keempat; film ini sekaligus menggambarkan sejarah pembangunan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Jejak karya Misbach Tamrin diceritakan dalam film ini. Jejak karya tersebut tersebar dari Banjarmasin hingga Barito Utara melalui berbagai kaya relief, tugu, patung, menara, dan karya lainnya yang menghiasi kota-kota sepanjang lebih dari 700 km.
Kota-kota yang di dalamnya berhias karya-karya monumental Misbach Tamrin, harus mengucapkan terimakasih, karena dengan demikian kota tersebut menjadi indah, sebab mendapat sentuhan seni dari seorang maestro ternama.
Kelima; film ini ingin meneruskan spirit dari seorang yang tidak pernah kalah – tidak mengenal kata menyerah, agar Indonesia bisa lebih baik, tumbuh lebih beradab. Untuk apa sejarah panjang berlalu sekian waktu, namun tidak dimaksudkan untuk menata dan membentuk peradaban manusia. Film ini mendorong ke arah itu, sehingga generasi setelahnya mampu belajar, agar segala yang kelam menyangkut hubungan sesama manusia yang begitu tragis, tidak terulang kembali.
Di akhir film, anak saya bertanya, “apakah untuk menjadi maestro harus menjalani perjalanan hidup yang begitu berat seperti Misbach Tamrin?” Saya jawab tidak. Tapi harus sama tekunnya, sama kuat, teguh, dan tegarnya. Sebab bila tidak, hanya akan jadi pecundang.@