DI sudut kamar dengan jendela tua yang terbuka bagian atasnya, Sugianoor (45 tahun) duduk sendiri menggosok intan di ruangan yang terasa remang-remang. Di depannya ada sebuah alat berupa gerinda, pelat besi bundar yang terus berputar yang disebut iskip. Pada alat itulah intan digosok dengan cara ditempelkan pada sisinya menggunkan peralatan dop, berupa kayu ulin yang digenggam dan pada ujungnya ada bulatan besi untuk menempelkan intan yang digosok.

Ketika ia menempelkan dop ke iskip itu, seolah ia tengah hendak memutar lagu pada peralatan musik vinyl. Sudah pasti tak ada suara musik yang keluar, melainkan desing gesekan intan dengan alat pembentuknya hingga nanti menjadi berlian.

Setelah intan digosok, Sugianoor menilik batu mulia kecil yang telah dijepit di ujung alat serupa tang melalui sebuah alat kaca pembesar seukuran jempol atau yang biasa disebut tarupung. Sesaat, ia kembali menempelkan intan yang dipasangkan pada dop ke putaran lempengan iskip. Begitu berulang-ulang. Setiap aktivitas itu dilakukannya dengan teliti. Barangkali juga ia berhati-hati, khawatir bila intan seukuran hanya sedikit lebih besar dari butiran kristal gula itu terlepas dan jatuh ke lantai.

Sugiannor adalah sedikit dari yang tersisa melakukan pekerjaan penggosokan intan di kawasan Pekauman, Martapura. Rumah yang sekaligus tempatnya bekerja merupakan bangunan tua. Khas rumah Banjar dulu, rumah yang tak jelas lagi warnanya itu—hanya memperlihatkan warna kayu yang dimakan usia, berbentuk memanjang dengan banyak jendela, dan berlantai ulin menghitam lantaran mungkin sering dilicinkan dengan minyak.

Tak diragukan lagi, bangunan rumah itu pada masanya adalah termasuk mewah, dan bagian dari lambang kesuksesan pengusaha intan di Pekauman.

Sejak dulu, hingga masa terakhir ramaianya usaha intan pada akhir 1980-an, Pekauman dikenal sebagai sentral penggosokan intan. Ada dua buah “injin”, yakni tempat penggosokan intan dengan pekerja penggosokan yang jumlahnya bisa mencapai ratusan orang. Dapat dibayangkan, di dalam injin ini, selain para pekerja penggosok, sudah pasti juga ramai dengan orang-orang yang berbisnis atau melakukan transaksi intan.

Salah satu pemiliki injin itu adalah Kasypul Anwar (wafat tahun 1995), yang tak lain orangtua Sugianoor. Injin itu berada persis di depan rumah keluarganya yang terletak di kawasan Jalan Martapura Lama, RT 2, Martapura. Saat ini ditulis, bangunan itu hanya menyisakan rangka bagian depan, sementara sisanya telah berubah menjadi kandang ayam.

Sebelum Sugianoor, pekerjaan orangtuanya menggosok intan sempat dilanjutkan oleh kakaknya, H Jauhari (56 tahun). Dan Jauhari ingat betul bagaimana bisnis intan pada era tahun 70-80-an begitu maraknya.

INJIN: H Jauhari menunjuk sisa-sisa bangunan injin, tempat penggosokan intan di Pekauman, Martapura.

“Dulu ramai sekali. Di dalam injin milik abah ini ada sekitar 36 penggosok intan,” ceritanya.

Ia ingat, tiap hari injin selalu ramai dengan pekerja penggosokan dan pedagang intan. Terkadang ia juga menemui ada orang-orang asing, biasanya dari Eropa, yang datang ke injin. Sudah pasti juga melakukan bisnis intan.

Adapun injin terbesar di daerah Pekauman terdapat di Jalan Masjid. Di sini, jumlah pekerja penggosokan intan mencapai ratusan orang.

Injin terbesar lainnya terdapat di kawasan Pesayangan, Martapura. Yakni di Jalan Belahan, dengan jumlah pekerja penggosokan intan 50-an orang. Dan yang terbanyak di Jalan Berlian, dengan jumlah ratusan pekerja penggosokan intan.

Selain Pekauman dan Pesayangan, injin atau tempat penggosokan intan di Martapura pada era 70-80-an juga terdapat di Kampung Jawa dan tempat lainnya, hanya saja jumlah pekerja penggosok intannya lebih sedikit.

“Selain itu, sudah pasti juga ada yang bekerja di rumah sendiri, seperti yang dilakukan Sugianoor saat ini,” ujar H Jauhari.

Sejak tahun 1990-an, seiring semakin sedikitnya hasil dari penambangan intan, terutama di kawasan penambangan terbesar yakni Cempaka, para pekerja penggosokan intan hanya mengerjakan di rumah masing-masing. Injin, yang dulu menjadi pusat penggosokan dengan jumlah pekerja ratusan orang, seperti yang terdapat di Pekauman dan Pesayangan, kini hanya tinggal sejarah dan kenangan.@